loading...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai sistem pedoman keagamaan yang lengkap dan tepat memdiberi daerah sekaligus menyatukan unsur kehidupan lahir dan bathin dengan memayunginya di bawah prinsip keseimbangan atau dengan bahasa Afzalur Rahmān mengkombinasikan keduanya secara harmonis.
Jelaslah bahwa Islam bukan pedoman wacana alam abadi saja, yang menyuruh insan spesialuntuk semoga menyelamatkan jiwa mereka untuk alam abadi melalui ritual ibadah belaka, akan tetapi juga kebutuhan fisik harus terpenuhi. Ajaran wacana perlunya keseimbangan ini gotong royong tidak bisa dilepaskan dari tujuan Islam itu sendiri, yaitu memdiberi kebahagiaan di dunia dan akhirat. melaluiataubersamaini adanya keseimbangan ini pula diharapkan insan sanggup mengambil kerahmatan dari Islam. Sistem pedoman yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. yaitu sistem yang membawa senang bagi seluruh umat insan dan memimpinnya kepada kesempurnaan.
Meskipun demikian, suatu kerahmatan intinya yaitu sebuah potensi yang perlu diaktualisasikan. Islam tidak bisa berbagi kemaslahatan atau kerahmatan tanpa diaktualisasikan oleh insan itu sendiri dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam kaitan ini, akan dikaji salah satu aspek kehidupan manusia, yaitu aspek kekerabatan dengan insan yang lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa intinya setiap insan tidak akan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, tanpa adanya menolongan dari yang lain, hal ini disebabkan karena insan itu kodratnya sebagai makhluk sosial.
Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya yang berjudul Asas-asas Hukum Mu'amalat menerangkan bahwa insan sebagai makhluk sosial disadari atau tidak selalu bekerjasama satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pergaulan hidup daerah setiap orang melaksanakan pergaulan perbuatan dalam hubungannya dengan orang lain, dalam agama Islam disebut dengan istilah mu'amalat. Masalah mu'amalat senantiasa berkembang di dalam kehidupan masyarakat, tetapi dalam perkembangannya perlu sekali adanya perhatian dan pengawasan, sehingga tidak menjadikan kesusahan (mudarāt), ketidakadilan, dan penindasan atau pemaksaan dari pihak-pihak tertentu sehingga prinsip-prinsip dalam bermu'amalat sanggup dijalankan.
Sejarah sudah membuktikan, bahwa karena perdagangan kekayaan dan kemakmuran, bangsa Quraisy terus berkembang. Perdagangan ialah induk keberuntungan. Ia berkedudukan lebih tinggi dibanding pertanian, industri, dan jasa. Perdagangan ialah membuktikan baik dan kesejahteraan yang akan menjadi tulang punggung untuk memperoleh kekayaan.
Dunia perdagangan yang lengkap dengan seluk beluk di dalamnya, memungkinkan untuk memperluas wawasan pergaulan dan gerakan geografis menjelajahi dunia serta persaingan ketat sehingga mempersembahkan dorongan untuk tidak menyerah. Perdagangan ialah jalan yang masuk akal dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ia yaitu jalan penuh liku yang menghendaki keuletan dan kepandaian untuk memperoleh keuntungan membersihkan dari pokok pembelian. Oleh karena itu ia memberlakukan kepintaran atau ilmu, balasannya ia sama sekali tidak merampas hak-hak milik orang lain, melainkan dilakukan secara timbal balik antara masing-masing pihak. Seorang penjual berhak mendapat keuntungan dari usaspesialuntuk, sedang seorang pembeli berkewajiban untuk mempersembahkan konpensasi bagi jasa yang sudah ia terima dari penjual. Dalam keuntungan yang wajar, tidak saja dimaksudkan untuk kebutuhan konsumtifnya saja tetapi juga ia bisa mengembangkan usaspesialuntuk (produktif).
Yūsuf al-Qaradawi dalam bukunya Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam mengemukakan bahwa ekonomi Islam ialah ekonomi Ilahiyyah, karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya untuk mencari ridha Allah, dan cara-caranya tidak berperihalan dengan syari’at-Nya. Kegiatan ekonomi baik produksi, konsumsi, penukaran, dan distribusi diikatkan pada prinsip Ilahiyyah dan pada tujuan Ilahi.
Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad saw. ialah sumber pedoman Islam. Sebagai sumber pedoman yang kedua setelah al-Qur'an, kebenaran hadis disamping sudah mewarnai masyarakat dalam banyak sekali bidang kehidupan juga menjadi bahasan kajian yang menarikdanunik dan tiada henti-hentinya. Dilihat dari periwayatannya, hadis Nabi tidak sama dengan al-Qur'an. Al-Qur'an, tiruana periwayatan ayatnya berlangsung secara mutawātir, sedang hadis Nabi, sebagian periwayatannya berlangsung secara āhād.
Oleh karena itu, al-Qur'an memiliki kedudukan sebagai qat'i al wurūd, sedangkan hadis Nabi sebagian ada yang qat'i dan sebagian lagi bahkan sebagian besar berkedudukan sebagai zanni al-wurūd. melaluiataubersamaini demikian, diihat dari periwayatannya al-Qur'an tidak perlu dilakukan penelitian wacana orisinilitasnya. Sedangkan hadis Nabi dalam hal ini yang berkategori āhād dibutuhkan penelitian. melaluiataubersamaini penelitian itu akan diketahui apakah hadis yang bersangkutan sanggup dipertanggungjawabankan periwayatannya berasal dari Nabi ataukah tidak. Karena begitu pentingnya dilakukan penelititan baik dari segi sanad maupun matan hadis, maka kemungkinan besar penulis akan mendapat hasil penelitian yang seterbaik mungkin baik dari segi kualitas hadis itu sendiri maupun diterima atau tidaknya hadis tersebut di kalangan masyarakat. Sebab bagaimanapun juga suatu matan hadis itu adakalanya memerlukan pemahaman secara tekstual ataupun kontekstual. Tetapi ada juga hadis yang memerlukan pemahaman secara tekstual sekaligus kontekstual. melaluiataubersamaini memahami hadis secara tekstual dan kontekstual, maka menjadi jelaslah bahwa dalam Islam, ada pedoman yang bersifat universal, temporal dan lokal.
Al-Qur'an maupun hadis sudah terbentuk di masa Nabi, dengan demikian tidak sanggup dimodifikasi dengan penambahan atau pengurangan. Sementara kehidupan yang dijalani dan dihadapi umat pasca Nabi mengalami perkembangan dalam banyak sekali bidang. Hal ini berdasarkan pembiasaan dengan dan dari al-Qur'an maupun hadis. Penyesuaian ini dilakukan dengan mengkaji ulang keduanya demi mendapat pedoman yang sejati, orisinal dan sālih likulli zamān wa makān.
Pengkajian terhadap al-Qur'an lebih banyak dilakukan oleh para ulama melalui gagasan-gagasan dan pemikiran mereka yang tertuang dalam kitab-kitab tafsir, sejarah dan lain-lain. Berbeda dengan hadis, para ulama lebih mengendalikan diri dan lebih mengutamakan perilaku reserve (segan) untuk melaksanakan telaah ulang dan pengembangan pemikiran hadis secara apresiatif, karena khawatir adanya anggapan ingkar al-Sunnah.
Mengingat hadis sebagai sumber tasyri' kedua, maka pengkajian ulang serta pengembangan pemikiran terhadap hadis perlu dilakukan dengan pemaknaan kembali terhadap hadis. Hal ini menjadi kebutuhan mendesak saat wacana-wacana keislaman banyak mengutip literatur-literatur hadis yang pada gilirannya mempengaruhi teladan pikir dan tingkah laris umat Islam itu sendiri. Di samping itu juga sanggup mempersembahkan informasi, apakah kandungan hadis termasuk kategori temporal, lokal, atau universal sekaligus tekstual atau kontekstual.
Salah satu hadis Nabi yang perlu dikaji yaitu hadis yang secara tekstual kaitannya dengan pernyataan wacana keuntungan dalam jual beli, hadis tersebut sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imām Bukhāri, sebagai diberikut:
عن عروة البارقى أنّ النّبىّ صلّى الله عليه وسلّم أعطاه دينارا يشترى له به شاة فاشترى له به شاتين فباع إحداهما بديناروجاءه بدينار وشاة فدعاله بالبركة فى بيعه وكان لو اشترى التّرابَ لربح فيه 15
Artinya : Dari ‘Urwah al-Bāriqi . "Bahwasannya Nabi saw. memdiberinya uang satu dinar untuk dibelikan kambing. Maka dibelikannya dua ujung kambing dengan uang satu dinar tersebut, kemudian dijualnya yang seujung dengan harga satu dinar. Sesudah itu ia hadir kepada Nabi saw. dengan membawa satu dinar dan seujung kambing. Kemudian dia mendo'akan semoga jual belinya mendapat berkah. Dan seandainya uang itu dibelikan tanah, pasti mendapat keuntungan pula"
Hadis di atas seringkali dijadikan patokan oleh para pedagang untuk mengambil keuntungan yang sebanyak-banyaknya, dengan meminimalkan modal yang dikeluarkan, sehingga tujuan dari perdagangan yaitu untuk memperoleh keuntungan seterbaik mungkin sanggup cepat terwujud.
Berdasarkan latar belakang inilah, penulis menganggap bahwa hadis wacana keuntungan jual beli perlu dikaji untuk mendapat jawabanan wacana bagaimana pemaknaan hadis tersebut dan bagaimana relevansinya pada masa sekarang. Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis memakai pendekatan Ma’āni al-Hadisׂyang dipandang penting sebagai upaya klarifikasi terperinci akademik dalam memahami hadis secara kontekstual dan kekinian.
Tag :
Agama Islam
0 Komentar untuk "Hadis-Hadis Ihwal Laba Jual Beli ( Studi Ma’Āni Al-Hadisׂ) (Ai-4)"