Intervensi Amerika Serikat (As) Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Insan (Ham) Di China (Studi Kasus: Tibet) (Is-28)

loading...


Kebebasan individu dan kemerdekaan sudah menjadi belahan dari Hak Asasi Manusia (HAM). Penindasan, dalam bentuk apa pun, ialah pelanggaran atas nilai-nilai universal HAM. Kesadaran politik masyarakat dunia juga sudah semakin mengglobal. Isu dan usaha penegakan HAM sudah tidak lagi bersifat personal atau khusus tetapi menjadi usaha bersama, usaha internasional dunia. Banyak perkara pelanggaran HAM yang terjadi di dunia, terlebih lagi pada wilayah konflik. Bukan spesialuntuk militer yang berjuang dan menjadi korban, bahkan masyarakat sipil, wanita, dan anak-anak, yang tidak berdosa ikut menjadi korban nyawa. Salah satunya yaitu pelanggaran HAM oleh China terhadap masyarakat Tibet. Tibet bekerjsama ialah wilayah yang begitu indah dan banyak diminati wisatawan, tetapi eksistensi kejadian ini membuat Tibet kehilangan keindahan tersebut. Daerah dengan suhu rendah itu justru memanas alasannya yaitu pemberontakan yang berlangsung puluhan tahun.
Peristiwa ini berpertama ketika jatuhnya Dinasti Qing tahun 1912, bersamaan dengan itu, Dalai Lama ke-13, Pemimpin Spiritual Tibet, mendeklarasikan kemerdekaan Tibet. Namun, kemerdekaan tersebut tidak bertahan usang karena direbut oleh China pada masa Pemerintahan Mao Tse Dong tahun 1949. Militer China melancarkan invasi ke Lasha, Ibu Kota Tibet. Tindakan China itu tidak membuat Tibet mengalah begitu saja. Meski mencicipi dampak kemajuan ekonomi di wilayah mereka, pemberontakan tetap terjadi.

Pemberontakan terhadap Pemerintah China di wilayah Tibet terjadi pada 10 Maret 1959, tapi dilarang oleh China dalam beberapa pekan, hingga memaksa Dalai Lama untuk melarikan diri ke pengasingan, India. Keberlangsungan hidup rakyat Tibet berada di bawah rezim Beijing. Sejak itu pula, dimulai pembatasan beragama, penindasan, penyiksaan, pelecehan, dan segala bentuk pelanggaran HAM oleh aparat militer China terhadap gerakan perlawanan Tibet. Ribuan jiwa menjadi korban nyawa dalam banyak sekali serbuan, serangan, serta tindakan militer lainnya bagi para pembangkang. Demonstrasi para pemberontak itu kembali terjadi tahun 2008, meluas dalam beberapa hari, sehingga menjadi kerusuhan di seluruh Tibet dan wilayah-wilayah yang berdekatan dengan penduduk etnis Tibet.[1] Sperling Elliot, penulis buku “Tibet Since 1950’s: Silent, Prison, or Exile”, mempersembahkan pernyataan pada Komite Senat Hubungan Luar Negeri Asia Timur dan Pasifik, ia menjelaskan bahwa Tibet telah lebih dari satu dekade, menjadi tempat terjadinya pelanggaran HAM paling nyata dan mengerikan yang dilakukan oleh China.[2]
Human Rights Watch (HRW), sejak tahun 1987, sudah memantau dan melaporkan secara ekstensif pelanggaran yang terjadi di Tibet. Secara umum, dengan adanya pendataan terhadap perkara ini, perhatian yang lebih besar dilimpahkan oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk Tibet. Misalnya, pelanggaran HAM Tibet sudah dibahas signifikan dalam tinjauan tahunan Departemen Luar Negeri Internasional.
Salah satu keprihatinan besar, yaitu pelanggaran kebebasan beragama dan pelaksanaan ibadah oleh Pemerintah China. Kebijakan yang ditujukan untuk menundukkan praktek keagamaan bukan spesialuntuk persoalan propaganda dan persuasi. Sebaliknya, kebijakan ini melanggar kebebasan individu Tibet untuk mengekspresikan iman agama mereka yang diterapkan melalui pemaksaan, represi kekerasan, dan penjara. Salah satu yang terlihat adalah kampanye yang sedang berlangsung berupa "pendidikan patriotik", yang bertujuan merusak dan menghilangkan imbas Dalai Lama di Tibet. Selain itu, ada pula yang tertekan oleh otoritas China, mereka adalah biara-biara dan menempatkan kuil di bawah sekuler dalam rangka mengimplementasikan kontrol pemerintah yang lebih besar dari agama Tibet.
Tashi Tsering, seorang masyarakat Tibet ditangkap di Lhasa, Ibukota Tibet pada bulan Agustus 1999, saat mencoba mengangkat bendera Tibet di sebuah lapangan umum. Ia sempat dipukuli sebelum karenanya dibawa pergi oleh petugas keamanan umum. Pada bulan Maret 2000, ia dilaporkan sudah bunuh diri di penjara sebulan sebelumnya. Pada bulan April 2000, laporan kematian terus bertambah. Sonam Rinchen, seorang petani dari sebuah kota bersahabat Lhasa, dia sudah ditangkap dengan dua orang lainnya pada tahun 1992 saat membentangkan bendera Tibet selama protes dan dijatuhi eksekusi lima belas tahun penjara.[3] Sebuah studi oleh Tibet Information Network menawarkan jumlah janjkematian tahanan di penjara Drapchi Lhasa pada tahun 1998-1999 sekitar 1 dari 24 jiwa.[4] Beberapa diantaranya dilaporkan sebagai perkara bunuh diri. Tindakan keras Pemerintah China sudah termasuk upaya menutup negara itu dari dunia luar, menutup akses keluar, juga kontrol atas media, termasuk media internet dan situs yang dipakai untuk menampilkan rekaman gambar yang terjadi sebenarnya. 
China ketika ini tidak lagi sama dengan puluhan tahun lalu. China sudah mempunyai perekonomian yang khusus, negara dengan penduduk padat ini sudah mendominasi pasar internasional. Keberhasilan ekonomi mengakibatkan negara matahari terbit sebagai negara besar, meskipun masih berada di bawah pemerintahan komunis. Pemerintahan Hu Jintao yang berlangsung semenjak Maret 2003 sampai ketika ini, masih dianggap sebagai penentu masa depan Tibet, eksistensi China di dunia internasional, dan juga kekerabatan antara China dan AS. Sejarah menceritakan bahwa antara AS dan China ialah dua kubu yang sangat tidak sama, liberalisme yang berkembang di AS, komunisme yang dipertahankan China. Dahulu mungkin AS tidak khawatir dengan perbedaan tersebut, namun perkembangan China sepuluh tahun belakangan ini cukup drastis, sehingga membuat AS perlu mengamati lebih arah kepentingan nasional China.
AS yang populer dengan keterlibatannya dalam beberapa konflik internal negara, dari konflik Israel-Palestina sampai Libya. Tindakan AS sudah mendapat respon pro dan kontra dari para pengamat dan masyarakat internasional. AS terkesan bahagia mencampuri urusan dalam negeri negara lain, termasuk dalam perkara pelanggaran HAM di Tibet. Tanggal 18 November 1964, Dalai Lama mengirimkan surat pada Presiden AS ketika itu, Lyndon B. Johnson, isinya adalaha ajakan untuk memmenolong usaha rakyat Tibet dan mengharapkan menolongannya dalam mengangkat isu Tibet dalam perbincangan internasional, biar usaha Rakyat Tibet menerima perhatian dunia[5]. Johnson membalas surat tersebut dengan menyatakan kesediaan AS untuk memmenolong Tibet.
Penulis sudah membaca beberapa artikel, serta diberita-diberita terkena pertemuan Dalai Lama dengan para Presiden AS, menyerupai pertemuan 16 Oktober 2007 di Gedung Putih[6] sampai beberapa pertemuan antara Presiden AS dengan Presiden China mengulas khusus wacana Tibet. Misalnya pertemuan G.W.Bush dengan Hu Jintao, 26 Maret 2008 di Washington[7]. Pertemuan antara kepala negara tentu mengundang banyak pertanyaan, apalagi dilakukan oleh kedua negara besar dan berlawanan dalam hal ideologi pemerintahan. Apakah ini bentuk intervensi atau ada kepentingan khusus yang menjadi tujuan dari kedua negara tersebut? INI alasan sehingga penulis tertarik untuk mengangkat judul “Intervensi Amerika Serikat terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia di China (Studi Kasus : Tibet)


0 Komentar untuk "Intervensi Amerika Serikat (As) Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Insan (Ham) Di China (Studi Kasus: Tibet) (Is-28)"

Back To Top