Analisis Efek Dana Perimbangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi & Disparitas Pendapatan Antar Kawasan Pasca Desentralisasi Fiskal Di Indonesia (Ep-01)

loading...
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pembangunan tempat – sebagai bab integral dari pembangunan nasional – pada hakekatnya ialah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan tempat sehingga tercipta suatu kemampuan yang handal dan profesional dalam menjalankan pemerintahan serta mempersembahkan pelayanan prima kepada masyarakat. Pembangunan tempat juga berarti memampukan tempat untuk mengelola sumber daya ekonominya secara berdaya guna dan berhasil guna untuk kemajuan tempat dan kesejahteraan masyarakat.

Pembangunan tempat sanggup dilakukan melalui dua pendekatan, yakni pertama, pendekatan sentralisasi dan kedua, pendekatan desentralisasi. Pendekatan sentralisasi mengandung arti bahwa pelaksanaan pembangunan sepenuhnya ialah wewenang pusat dan dilaksanakan oleh para birokrat di pusat. Sedangkan pendekatan desentralisasi mengandung arti bahwa pembangunan tempat – melalui desentralisasi atau otonomi tempat – mempersembahkan peluang dan peluang bagi terwujudnya pemerintahan yang membersihkan dan baik (good governance) di daerah. Artinya pelaksanaan kiprah pemerintah tempat harus didasarkan atas prinsip efektif, efisien, partisipatif, terbuka (transparency), dan akuntabilitas (accountability).

Kebijakan dan kiprah umum pemerintahan serta implementasi pembangunan di tempat di masa lampau ialah wewenang dan tanggung balasan penuh dari pemerintah pusat, Jakarta. Kewenangan pemerintah pusat yang sangat besar tersebut ternyata tidak spesialuntuk berdampak positif bagi pembangunan, tetapi disadari juga menjadikan imbas negatif antara lain pertumbuhan ekonomi tempat atau produk domestik regional bruto (gross domestic regional product) yang relatif sangat lamban, serta panjangnya birokrasi pelayanan publik alasannya harus menunggu petunjuk dari para pejabat pusat.
Kebijakan dan terseriusnya pembangunan dan pelayanan publik terutama di pulau jawa menjadikan kesentidakboleh perekonomian antar tempat di tanah air. Berbagai infrastruktur cukup memadai di wilayah Jawa. Berbeda dengan wilayah luar Pulau Jawa contohnya Kawasan Timur Indonesia (KTI). Ketimpangan (disparity) pembangunan antara Jawa dan luar Jawa – contohnya – ialah salah satu implikasi negatif dari kebijakan pemerintah yang terpusat (centralized). Oleh alasannya itu, masuk akal jikalau pergerakan ekonomi dan perputaran modal relatif lebih besar dan lebih cepat di Pulau Jawa dibandingkan dengan luar Pulau Jawa.

Jika dikaji dari sisi luas wilayah Indonesia dan cakupan bidang pemerintahan, maka besarnya kekuasaan atau wewenang pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan tempat dari waktu ke waktu cenderung tidak lagi efektif. Tidak sanggup dipungkiri pula bahwa keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki pusat juga mensugesti intensitas penyelenggaraan pelayanan publik dan pembangunan di daerah-daerah.

Otonomi tempat ialah solusi alternatif dalam mengatasi banyak sekali permasalahan di atas. Indonesia memasuki kurun otonomi tempat semenjak tanggal 1 Januari 2001. Pelaksanaan otonomi tempat mengacu pada UU nomor 22 tahun 1999 terkena sumbangan kewenangan dan fungsi (power sharing) antara pemerintah pusat dan tempat dan UU nomor 25 tahun 1999 terkena perimbangan keuangan pusat dan tempat yaitu pengaturan sumbangan sumber-sumber daya keuangan (financial sharing) antara pusat-daerah sebagai konsekuensi dari adanya sumbangan kewenangan tersebut.

Kondisi ini membawa implikasi pada pelimpahan kewenangan antara pusat dan tempat dalam banyak sekali bidang. melaluiataubersamaini adanya otonomi daerah, maka terjadi desentralisasi yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah, perencanaan ekonomi (termasuk menyusun program-program pembangunan daerah) dan perencanaan lainnya yang dilimpahkan dari pusat ke daerah. Pemerintah tempat mempunyai kewenangan yang luas dalam mengatur sumber daya yang ada untuk meningkatkan kemajuan dan kemakmuran masyarakat.

Di kurun otonomi daerah, pemerintah tempat dibutuhkan bisa melaksanakan alokasi sumber daya yang efisien. Kemampuan tempat untuk mengelola sumber daya secara efisien tercermin dari kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tempat selaku perencana, dimana hal ini akan membawa dampak pada keberhasilan ekonomi tempat secara optimal. melaluiataubersamaini adanya otonomi, setiap tempat dibutuhkan bisa menyebarkan potensi baik sumber daya alam, sumber daya manusia, budaya untuk meningkatkan kemakmuran bagi seluruh masyarakat daerah. melaluiataubersamaini kata lain, bahwa otonomi tempat menuntut adanya suatu kemandirian tempat didalam banyak sekali aspek terutama aspek perencanaan, keuangan, dan pelaksanaan.

Desentralisasi fiskal, ialah salah satu komponen utama dari otonomi daerah. Apabila pemerintah tempat melaksanakan fugsinya secara efektif, dan didiberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), pinjaman, maupun dana perimbangan dari pemerintah pusat.

Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia sesuai dengan UU Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 serta UU-APBN, intinya bertujuan untuk :
• Kesinambungan akal fiskal (Fiscal Sustainability) dalam konteks akal ekonomi makro.
• Mengoreksi vertical imbalance, yaitu untuk memperkecil ketimpangan yang terjadi antara keuangan pemerintah pusat dan keuangan tempat yang dilakukan dengan memperbesar taxing power daerah. Sebagai citra menyerupai ditunjukkan dalam Tabel 1.1 dan Gambar 1.1, dimana dalam tahun 2001 taxing power tempat di Indonesia relatif masih rendah yaitu sekitar 5,30% dari konsolidasi APBN dan APBD dibandingkan dengan negara-negara sedang berkembang, negara-negara transisi, dan negara-negara OECD.
Tabel 1.1
Perbandingan Total PAD dan Pengeluaran Pemda Terhadap Konsolidasi APBD dan APBN, Termasuk Perkiraan Pengaruh Dari Transfer PBB, BPHTB Dan PPh Untuk Menjadi Pendapatan Kabupaten/Kota

Negara Persentase terhadap Total Pendapatan Persentase Terhadap Total Pengeluaran
Negara berkembang tahun 1990-an 9,27 13,78
Negara transisi tahun 1990-an 16,59 26,12
Negara-negara OECD tahun 1990-an 19,13 32,41
Republik Indonesia TA 1989/1990 4,69 16,62
Republik Indonesia TA 1994/1995 6,11 22,97
Republik Indonesia TA 2001 5,30 27,78
Republik Indonesia TA 2001 *) 7,96 27,78

*)Berdasarkan pada asumsi efek desentralisasi dari PBB,BPHTB dan PPh
Sumber : Bank Dunia dan Nota Keuangan Pemerintah Indonesia pada banyak sekali tahun.
• Mengkoreksi horizontal imbalance yaitu ketimpangan antar Daerah dalam kemampuan keuangannya, dimana relatif masih sangat bervariasi kemampuan Akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi dalam rangka peningkatan kinerja pemerintah Daerah.
• Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
• Adanya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik (demokratisasi).
Grafik 1.1
Perkembangan Persentase PAD dan Persentase Pengeluaran Pemda Terhadap Konsolidasi APBN + APBD

Untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi, pemerintah sudah menerbitkan empat buah Peraturan Pemerintah pada bulan November 2000. Empat peraturan tersebut ialah :
1. PP Nomor 104 tahun 2000 ihwal dana perimbangan, didukung oleh Keputusan Presiden Nomor 181 tahun 2000 terkena dana alokasi umum tempat propinsi dan tempat kabupaten/kota tahun anggaran 2001.
2. PP Nomor 105 tahun 2000 ihwal pengelolaan dan pertanggungjawabanan keuangan daerah.
3. PP Nomor 106 tahun 2000 ihwal pengelolaan dan pertanggung jawabanan keuangan dalam pelaksanaan deserius dan kiprah pemmenolongan.
4. PP Nomor 107 tahun 2000 ihwal pinjaman daerah.
Dikarenakan uraian diatas penulis beranggapan perlu untuk mereview lebih dalam sejauh mana efek penerapan desentralisasi fiskal secara sempurna terhadap pertumbuhan ekonomi dan disparitas atau ketimpangan pendapatan antar daerah, serta bagaimana arah korelasi tersebut, maka judul yang diajukan penulis ihwal penelitian ini ialah “ ANALISIS PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH PASCA DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA “.

1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan deskripsi yang dituangkan di atas, maka pembahasan skripsi ini akan dibatasi pada beberapa pokok permasalahan sebagai diberikut:
1. Bagaimana efek indikator desentralisasi yaitu dana perimbangan (dana bagi hasil pajak, bagi hasil SDA, DAU, dan DAK) terhadap pertumbuhan ekonomi regional masing-masing propinsi di Indonesia periode 2001 -2003 (sesudah penerapan desentralisasi fiskal).
2. Bagaimana efek indikator desentralisasi yaitu dana perimbangan (dana bagi hasil pajak, bagi hasil SDA, DAU, dan DAK) terhadap disparitas pendapatan masing-masing propinsi di Indonesia periode 2001 -2003 (sesudah penerapan desentralisasi fiskal).

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui efek dana perimbangan (dana bagi hasil pajak, bagi hasil SDA, DAU, dan DAK) terhadap pertumbuhan ekonomi regional masing-masing propinsi di Indonesia periode 2001 -2003 (sesudah penerapan desentralisasi fiskal).
2. Untuk mengetahui efek dana perimbangan (dana bagi hasil pajak, bagi hasil SDA, DAU, dan DAK) terhadap disparitas pendapatan masing-masing propinsi di Indonesia periode 2001 -2003 (sesudah penerapan desentralisasi fiskal).

1.4 Manfaat Penelitian
1. Kegunaan praktis, penelitian ini sanggup menghasilkan implikasi yang lebih bernilai untuk para pembuat kebijakan dalam memecahkan permasalahan perekonomian Indonesia dalam bidang fiskal dan kebijakan publik berkaitan dengan desentralisasi fiskal khususnya perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2. Kegunaan akademis, sebagai tumpuan bagi penelitian yang lebih lanjut dan mendalam.


0 Komentar untuk "Analisis Efek Dana Perimbangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi & Disparitas Pendapatan Antar Kawasan Pasca Desentralisasi Fiskal Di Indonesia (Ep-01)"

Back To Top