Dampak Pembangunan Ekonomi Terhadap Upaya Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia Era 1980-2010 (Ep-20)

loading...


Menjelaskan wacana pembangunan ekonomi Indonesia ialah hal yang kompleks dan menarikdanunik alasannya di dalamnya terdiri dari banyak dinamika baik itu secara mikro maupun makro. Suatu negara dikatakan sukses dalam pembangunan ekonomi jikalau sudah menuntaskan tiga duduk kasus inti dalam pembangunan. Ketiga duduk kasus tersebut ialah angka kemiskinan yang terus meningkat, distribusi pendapatan yang semakin memburuk dan lapangan pekerjaan yang tidak variatif sehingga tidak bisa menyerap pencari kerja. Untuk itu melaksanakan analisis wacana pembangunan ekonomi Indonesia ialah hal menarikdanunik guna melihat sejauh mana negara ini bisa melaksanakan pembangunan ekonomi secara komprehensif. Dalam menuntaskan duduk kasus tersebut banyak sekali pendekatan dilakukan termasuk pendekatan pertumbuhan ekonomi dipakai untuk menuntaskan duduk kasus pembangunan ini.
Pasca krisis tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami ekspansi, meskipun belum bisa menyamai pertumbuhan ekonomi pada masa pemerintahan Orde Baru. Saat ini ekonomi Indonesia secara meyakinkan terus mengalami pertumbuhan dengan bemasukan diatas 5% rata-rata per tahun. Ini menarikdanunik perhatian beberapa forum rating dan forum penelitian internasional yang melaksanakan prediksi wacana masa depan ekonomi Indonesia. Bank Dunia dalam laporan The New global Economy, forum rating G-Sachs dan Standard Chartered Bank untuk Indonesia 2050 menciptakan analisis, bahwa diperkirakan Indonesia akan masuk dalam salah satu negara sentra pertumbuhan ekonomi dunia (growth pool) pada tahun 2025. Dalam laporan tersebut, juga diperkiran pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 13% pada tahun 2025, dengan syarat pertumbuhan ekonomi riil Indonesia harus berada antara 7-9% pertahun dan berkelanjutan. Selain itu berbagai forum riset terkemuka termasuk The Economist edisi bulan Desember 2010 menyatakan bahwa Indonesia akan bangun sebagai kekuatan ekonomi gres (new emerging economy).
 Badan Pusat Statistik 2011 melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai angka 6,1%. Angka yang cukup tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang spesialuntuk sekitar 4,6%. Perkembangan pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung meningkat tiap tahunya yaitu 6,3% pada tahun 2007, 6,0% pada tahun 2008, 4,6% pada tahun 2009 kemudian naik pada tahun 2010 sebesar 6,1%. Pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil dan konsisten tersebut memasukkan Indonesia sejajar dengan beberapa negara maju menyerupai Cina, Jepang dan beberapa negara maju lainya.

Namun nampaknya diskursus yang hingga dikala ini terus berlangsung dan fakta-fakta yang tidak sanggup ditolak lagi melahirkan paradoks dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Laporan Bank Dunia menjadi somasi untuk beberapa negara yang mempunyai pertumbuhan yang tinggi namun penduduknya masih tergolong miskin termasuk Indonesia. Dalam teori pertumbuhan ekonomi klasik digambarkan pertumbuhan ekonomi yang tidak lain ialah pertumbuhan output nasional yang ialah fungsi dari faktor produksi dan fungsi produksi. Semakin cepat laju pertumbuhan ekonomi maka merepresentasikan distribusi pendapatan kepada rumah tangga faktor produksi mengalami perbaikan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ialah citra terhadap kesejahteraan faktor produksi yang turut serta membuat “kue nasional” tersebut. Artinya semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi maka semakin tinggi pula produktivitas faktor produksi dan semakin tinggi pula upah yang diterima oleh para pekerja.
Namun sepertinya teori tersebut digugat oleh laporan Bank Dunia wacana kesentidakboleh antara pertumbuhan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Dalam laporanya dengan tema World Development Report: Sustainable Development In A Dinamic world: Transforming Institutions ,growth, and quality of life pada tahun 2003 melaporkan bahwa ditemukan fakta diberbagai belahan dunia, tiruana negara sudah mencatat laju pertumbuhan ekonomi yang mengesankan dan bahkan berlangsung secara konsisten selama dua dekade, namun tidak diimbangi dengan penurunan angka kemiskinan (pendapatan dibawah 2$). Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa sekitar tiga milyar penduduk dunia masih berada dalam kemiskinan padahal disatu sisi pertumbuhan terus meningkat secara konsisten (Agussalim, 2009).







Tabel 1.1
Data pertumbuhan ekonomi dan jumlah orang miskin
Tahun
Pertumbuhan PDB (%)
Jumlah Orang miskin (juta orang)
1980
9.9
42,300,000
1981
7.9
40,400,000
1982
2.2
23,000,000
1983
4.2
37,000,000
1984
5.8
35,000,000
1985
2.5
33,000,000
1986
3.2
31,000,000
1987
3.6
30,000,000
1988
1.9
28,500,000
1989
1.4
26,000,000
1990
7.1
27,200,000
1991
6.6
26,100,000
1992
6.3
26,567,000
1993
2.2
25,900,000
1994
7.5
23,500,000
1995
8.2
34,500,000
1996
7.8
36,000,000
1997
4.9
34,000,000
1998
-13.13
49,500,000
1999
0.79
47,970,000
2000
4.92
38,700,000
2001
3.45
37,900,000
2002
4.31
38,400,000
2003
4.78
37,300,000
2004
5.03
36,100,000
2005
5.69
35,100,000
2006
5.51
39,300,000
2007
6.32
37,170,000
2008
6.01
34,960,000
2009
4.35
32,520,000
2010
5.8
31,020,000

Dataa diatas menyampaikan ada beberapa tahun tertentu dimana kenaikan pertumbuhan ekonomi tidak diikuti turunya angka kemiskinan, contohnya ditahun 1983, 1990, 1995, 2002 dan beberapa tahun tahun tertentu juga menyampaikan pertumbuhan ekonomi yang menurun namun kemiskinan juga mengalami penurunan. Kegagalan pertumbuhan ekonomi meretas kemiskinan cenderung disebabkan oleh gagalnya pemerintah dalam mengelolah laju pertumbuhan ekonomi. Kegagalan pemerintah dalam mengatur sistem pemdiberian upah kepada para pekerja menjadi salah satu pendorong gagalnya pertumbuhan ekonomi meretas kemiskinan. Pekerja di Indonesia mengalami apa yang disebut “u pah besi”, diamana para pekerja didiberikan upah sesuai dengan kontrak kerja yang sudah diputuskan bersama antara pengusaha dan pekerja (buruh). Namun upah yang didiberikan ternyata secara riil nilainya sangat rendah meskipun secara nominal angkanya mungkin cukup tinggi. Penetapan upah minimum yang dilakukan oleh pemerintah secara tidak sadar sudah membuat para pekerja berada dalam kondisi yang susah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (primer) yang semakin hari mengalami fluktuasi harga (inflasi). Dampak dari upah besi juga berdampak pada penjatahan pekerjaan oleh pengusaha. Ini dikemukakan oleh Charles Brown (1998). Ia menyampaikan bahwa penentuan upah besi akan berdampak pada penjatahan pekerjaan yang akan berdampak pada semakin banyaknya pengangguran. Meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun jikalau terjadi penentuan upah besi maka kesejahteraan lantaran pertumbuhan ekonomi tidak akan pernah terwujud. Seharusnya upah ditentukan berdaskan prosuktivitas marginal tenga kerja dengan tetap mempertimbangkan inflasi.
Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu syarat tercapainya pembangunan ekonomi, namun yang perlu diperhatikan tidak spesialuntuk angka statistik yang menggambarkan laju pertumbuhan, namun lebih kepada siapa yang membuat pertumbuhan ekonomi tersebut, apakah spesialuntuk segelintir orang atau sebagian besar masyarakat. Jika spesialuntuk segelintir orang yang menikimati maka pertumbuhan ekonomi tidak bisa mereduksi kemiskinan dan memperkecil ketimpangan, sebaliknya jikalau sebagian besar turut berpartisipasi dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi maka kemiskinan sanggup direduksi dan gap antara orang kaya dan orang miskin sanggup diperkecil (Todaro dan Stephen C. Smith, 2006).
Tabel 1.2
Data rasio gini dan jumlah orang miskin

Tahun
Rasio Gini (%)
Angka Kemiskinan (Juta Orang)
1980
0.34
42,300,000
1981
0.33
40,400,000
1982
0.3
23,000,000
1983
0.31
37,000,000
1984
0.32
35,000,000
1985
0.364
33,000,000
1986
0.33
31,000,000
1987
0.32
30,000,000
1988
0.32
28,500,000
1989
0.33
26,000,000
1990
0.34
27,200,000
1991
0.33
26,100,000
1992
0.33
26,567,000
1993
0.36
25,900,000
1994
0.34
23,500,000
1995
0.34
34,500,000
1996
0.36
36,000,000
1997
0.37
34,000,000
1998
0.32
49,500,000
1999
0.311
47,970,000
2000
0.32
38,700,000
2001
0.3
37,900,000
2002
0.329
38,400,000
2003
0.32
37,300,000
2004
0.32
36,100,000
2005
0.343
35,100,000
2006
0.357
39,300,000
2007
0.376
37,170,000
2008
0.368
34,960,000
2009
0.357
32,520,000
2010
0.331
31,020,000
                                    Sumber: Badan Pusat statistik
Kondisi ini mengharuskan pemerintah untuk melaksanakan koreksi terhadap kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika tidak, maka kemiskinan dan ketimpangan pendapatan akan tetap menjadi duduk kasus pembangunan ekonomi dimasa depan.
Beberapa kecenderungan menyampaikan bahwa kenaikan pertumbuhan ekonomi tidak mempersembahkan dampak yang signifikan terhadap perbaikan taraf hidup masyarakat miskin dijelaskan oleh banyak sekali literatur dan hasil penelitian. Faisal Basri dan Haris Munandar (2006) dan Ahmad Erani Yustika (2010) misalnya memasukkan duduk kasus ini menjadi salah satu duduk kasus struktural dalam perekonomian Indonesia yang selama ini tidak disadari oleh pemerintah dan ialah ancaman yang berbahaya bagi perekonomian Indonesia. Mereka mengemukakan bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia belum bisa menekan angka kemiskinan, lantaran yang menjadi leading sektor dalam pertumbuhan ekonomi tersebut ialah sektor non tradable yang padat modal. Sektor tersier (non tradable) yang mempersembahkan kontrbusi besar dalam pertumbuhan ekonomi ternyata spesialuntuk bisa menyerap sedikit dari sekian banyak tenaga kerja yang ada di Indonesia. Setiap tahunya angkatan kerja meningkat sekitar rata-rata 80 juta angkatan kerja dari tahun 1989-1999, sementara orang yang mencari pekerjaan sektar 40 juta jiwa dari tahun yang sama. Pencari kerja yang terus meningkat simultan dengan pertumbuhan ekonomi yang mengalami ketimpangan. Secara perlahan namun konsisten, sektor industri dan jasa mulai menggantikan tugas sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kontribusi sektor non tradable dalam struktur PDB Indonesia membesar seiring proses perekembangan Indonesia sebagai negara yang berkembang dan ingin melalui masa transisi menuju negara maju (pra kondisi menuju lepas landas). Secara perlahan namun konsisten, donasi sektor non tradable (sektor perdagangan, hotel dan restoran) mulai meningkat dan menggantikan tugas sektor pertanian dan industri. Secara teoritis pergeseran struktur ekonomi menjadi syarat suatu negara dikatakan negara maju ketika sektor jasa berkontribusi besar terhadap PDB. Namun jikalau tidak sanggup dikelola dengan baik maka perubahan struktur ekonomi akan berdampak pada munculnya duduk kasus gres menyerupai pengangguran dan distribusi pendapatan yang timpang serta memburuknya angka kemiskinan.

Perkembangan sektor tersier dalam perekonomian Indonesia menyampaikan kontraproduktif dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Peran sektor tersier dalam perekonomian Indonesia spesialuntuk menyerap sebagian kecil dari angkatan kerja di Indonesia lantaran basis dari sektor tersebut spesialuntuk didorong oleh sub sektor jasa yang padat modal. Seharusnya  yang mengalami pertumbuhan dikala ini ialah sektor yang padat tenaga kerja.
Lewis dalam Todaro (2006) menandakan perubahan struktur ekonomi dengan mengasumsikan bahwa sektor pertanian yang padat tenaga kerja mengalami over employment dan MPL=0 (Marginal Productivity of Labor). Untuk memanfaatkan tenaga kerja yang berada pada sektor pertanian maka sektor perkotaan (industri) harus ditingkatkan dan mempersembahkan penghasilan yang paling tinggi 30% diatas rata-rata penghasilan pada sektor pedesaan. Namun Koreksian untuk teori ini muncul, menyampaikan bahwa teori Lewis melaksanakan penyederhanaan sehingga tidak realistis dalam pencapaiannya. Tidak praktis memindahkan masyarakat desa ke kota yang sudah terbiasa bekerja pada sektor tradisional. Banyak pertimbangan (budaya, keluarga dsb) yang membuat mereka harus bertahan di desa dan tetap bekerja pada sektor tradisional sehingga memindahkan mereka ialah hal yang susah dan memerlukan banyak biaya.
Perkembangan sektor tersier dalam perekonomian Indonesia menjadikan banyak pertanyaan. Jika sektor padat tenaga kerja yang diharapkan mengapa yang berkembang pesat justru sektor yang padat modal (Faisal Basri, 2006) . Ini berkaitan dengan hambatan yang dihadapi oleh sektor padat tenaga kerja. Sektor ini sering menemui hambatan umum contohnya dalam proses produksi sering kalah bersaing oleh sektor yang padat modal yang mempunyai teknologi canggih. Selain itu berdasarkan Faisal Basri (2006) sektor tersier bisa berkembang lebih cepat lantaran pada umumnya pelaku perjuangan tidak mengalami hambatan berat akhir ketebatasan supply maupun kualitas infrastruktur. Sektor jasa juga terhindar dari carut-marut kepabeanan, buruknya pelayanan pelabuhan, pungutan dijalan raya dan praktik ekonomi biaya tinggi lainya. Disebabkan tiruana laba yang diperoleh oleh sektor tersier secara umum disebabkan lantaran sektor tersebut bisa menghindar dari beberapa hambatan yang tidak bisa dihindari oleh sektor primer.
Pergemasukan struktur ekonomi tersebut mengharuskan terjadinya proses industrialisasi. Proses industrialisasi yang cepat juga menjadi pemicu matinya sektor pedesaan yang menyerap hampir 50% orang miskin. Namun berdasarkan Oshima (1989) kegagalan beberapa negara berkembang untuk memperbaiki ketimpangan dan menurunkan tingkat kemiskinan tidak disebabakan oleh kegagalan teori trickle down effect tapi lantaran kegagalan pemerintah yang tidak bisa melanjutkan proses industrialisasi. Proses ini yang nantinya akan meyebarkan kesejahteraan ditiap kawasan dalam satu negara.
Namun hingga dikala ini paradigma pemerintah nampaknya masih berorientasi pada pertumbuhan, meskipun kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia belum bisa mengentaskan kemiskinan dan justru memperbesar gap antara kaum miskin dan kaya. Ini sanggup dilihat dari taktik pembangunan yang dipakai pemerintah yaitu triple track strategy. Triple track strrategy lebih mengedapankan pertumbuhan (pro growth) diatas lapangan pekerjaan dan kemiskinan (pro job dan pro poor). Ini mempersembahkan indikasi bahwa pemerintah masih mempercayai efektifitas pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu variabel yang sanggup menekan angka pengangguran dan kemiskinan serta memperbaiki distribusi pendapatan. Dalam lima belas jadwal prioritas yang disebutkan dalam Nota Keuangan tahun 2010 salah satunya ialah pertumbuhan ekonomi yang akan terus dtingkatkan hingga mencapai minimal 7 % sehingga kesejahteraan rakyat juga lebih meningkat, termasuk untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Masalah lain yang menarikdanunik perhatian dalam pembangunan ekonomi Indonesia ialah pengeluaran pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Dari tahun ke tahun pemerintah sudah mengeluarkan banyak anggaran untuk menekan angka kemiskinan (pendapatan dibawah 2$/hari). Namun jikalau dilihat lebih teliti anggaran yang meningkat begitu besar spesialuntuk bisa menurunkan angka kemiskinan sebesar paling besar 1%.
Tabel 1.4
Pengeluaran pemerintah dan kemiskinan

Tahun
Pengeluaran Pemerintah
Angka Kemiskinan
1980
1,501,600,000,000
42,300,000
1981
6,399,200,000,000
40,400,000
1982
8,605,800,000,000
23,000,000
1983
9,290,250,000,000
37,000,000
1984
10,459,300,000,000
35,000,000
1985
10,647,000,000,000
33,000,000
1986
8,296,000,000,000
31,000,000
1987
7,756,600,000,000
30,000,000
1988
8,897,600,000,000
28,500,000
1989
12,480,200,000,000
26,000,000
1990
16,225,000,000,000
27,200,000
1991
19,997,700,000,000
26,100,000
1992
22,912,000,000,000
26,567,000
1993
25,227,200,000,000
25,900,000
1994
27,398,300,000,000
23,500,000
1995
30,783,500,000,000
34,500,000
1996
34,502,700,000,000
36,000,000
1997
28,880,800,000,000
34,000,000
1998
49,391,700,000,000
49,500,000
1999
82,448,300,000,000
47,970,000
2000
41,605,700,000,000
38,700,000
2001
52,299,100,000,000
37,900,000
2002
52,299,100,000,000
38,400,000
2003
66,146,100,000,000.00
37,300,000
2004
18,000,000,000,000
36,100,000
2005
23,000,000,000,000
35,100,000
2006
42,000,000,000,000
39,300,000
2007
56,000,000,000,000
37,170,000
2008
62,000,000,000,000
34,960,000
2009
66,200,000,000,000
32,520,000
2010
94,000,000,000,000
31,020,000
                        Sumber: Nota Keuangan dan BAPPENAS
Kondisi ini mempersembahkan indikasi bahwa sebagian besar anggaran pemerintah yang dijadikan jadwal belum bisa menuntaskan duduk kasus kemiskinan. Bahwa belanja untuk jadwal kemiskinan terus bertambah belum menjadi ukuran prestasi. Lagi pula tingkat kemiskinan terendah pada masa pasca krisis masih cukup jauh jikalau dibandngkan dengan tingkat kemiskinan terendah pada masa sebelum krisis (Faisal Basri, 2006). Hal ini juga diakui oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), bahwa meskipun angka kemiskinan menurun tapi penurunannya mengalami pelambatan jikalau dibandingkan pada masa sebelum krisis dan tidak sesuai jikalau dibandingkan dengan kenaikan jumlah anggaran yang sudah dikeluarkan (Vivi Yulaswati, 2009)



Gambar1.1b
Perkembangan jumlah orang miskin


 








        Sumber: Presentase Bappenas pada dikala Rakornas II TKPK Provinsi Jakarta, 2 Desember2009
Program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah menemui banyak sekali hambatan yang fundamental dan sangat penting guna ketercapaian tujuan jadwal tersebut. Ada banyak sekali jadwal pengentasan kemiskinan yang terangkum dalam Program Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM). Dalam menyusun jadwal pengentasan kemiskinan, pemerintah mengalami kesusahan dalam meterbaikkan tugas masyarakat untuk melaksanakan penyusunan jadwal pengentasan kemiskinan. Meskipun secara konseptual, diberlakukan Musrembang (musyawarah perencanaan pembangunan) ditiap tingkatan masyarakat, namun dari sisi realisasi belum terbaik. Program partisipasi masyarakat yang diklaim pemerintah sudah berhasil ternyata belum sanggup mempersembahkan hasil yang memuaskan.
Selain faktor tersebut, ada jadwal yang memang spesialuntuk bersifat jangka pendek. Program ini pada prinsipnya spesialuntuk mengangkat orang miskin dari posisi miskin menjadi hampir miskin. Ini dipertegas dengan temuan Afrizal. Berdasrkan penelitian yang dilakukan ia menemukan bahwa Raskin dikatakan sebagai menolongan-batuan habis sesaat. BLT/SLT pada umumnya spesialuntuk dipakai untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari dan tidak membuat mereka sanggup menyimpan lantaran adanya menolongan tersebut. Hal ini disebabkan oleh lantaran menolongan tersebut terlalu kecil, sedangkan pendapatan mereka tidak bisa menutupi kebutuhan dasarnya.  
Untuk itu beberapa duduk kasus pembangunan yang tidak kunjung simpulan harus didiberikan solusi guna memecahkan duduk kasus pembangunan yang mulai asimetris dengan indikator keberhasilan pembangunan. Maka dari itu berdasarkan pemaparan latar belakang duduk kasus tersebut maka judul penelitian Dampak Pembangunan Ekonomi Terhadap Upaya Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia Periode 1980-2010 mempersembahkan analisis wacana beberapa duduk kasus yang terjadi dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
0 Komentar untuk "Dampak Pembangunan Ekonomi Terhadap Upaya Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia Era 1980-2010 (Ep-20)"

Back To Top