Analisis Tugas Pemerintah Kota Terhadap Perkelahian Antar Kelompok Di Kota… (Ipm-18)

loading...


Zaman kala masyarakat senantiasa tidaklah stagnan pada kondisi keseharian yang dimiliki, menjadikannya sebuah fenomena pantas untuk dikaji. Dinamika yang berkembang tersebut seringkali tidak terlepas dari peranan struktur makro yang mengatur sebuah masyarakat tertentu. Pemerintah dan aparatur penyokongnya ialah salah satu faktor makro tersebut yang wajib ditekankan sebagai salah satu faktor penyokong bergeraknya arus dinamika tersebut. Sejak terbukanya sejarah terkena pemerintahan satu persatu teori terkena fungsi dan kiprah pemerintah berjejal, dinamikanya berlangsung dengan mobilitas yang cepat. Masalah yang mendera juga satu per satu hadir pasca kehadiran sistem pemerintahan. Sontak sistem tersebut mendapat tekanan sebagai institusi berwenang menuntaskan setiap persoalan.
Salah satu wacana mengemuka terkena kota Makassar ialah terkena beberapa insiden yang menarikdanunik pandangan nasional hingga internasional ialah kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok yang kerap terjadi. Mencoba berasumsi penulis memposisikan masyarakat Indonesia kini beranggapan  bahwa kekerasan di kota Makassar sudah menjadi hal yang lazim terjadi. Ada guakdot sehari-hari yang menyampaikan bahwa kekerasan massa yang kerap terjadi di kota ini sudah tergambar dari nama kota Makassar itu sendiri.
Menurut Budi Hardiman sebuah masyarakat yang tidak mempersoalkan kekerasan sudah kehilangan keberadabannya[1]. Karena itu, pertanyaan terkena mengapa perkelahian antar kelompok itu terjadi sangat penting untuk dilontarkan dan dijawaban.

Kita ingat kembali katalog kekerasan massa di kota ini: kerusuhan April 1996 di kampus Universitas Muslim Indonesia yang menewaskan mahasiswa, kerusuhan dengan sasaran etnis China dalam kurun waktu 1997-1998[2], Bentrokan berkali-kali antara pegawapemerintah keamanan dan mahasiswa yang  tak sedikit menjadikan korban dalam kurun waktu 2007-hingga sekarang. Dalam pertarungan politik  kecemasan akan kekerasan massa tak juga sanggup terhindarkan. Ingat saja masalah pengrusakan show room milik mantan wakil Presiden Jusuf Kalla dalam momentum PILGUB Sulawesi Selatan. Hingga maraknya penghakiman massa maupun perkelahian antar kelompok masyarakat membuat kota ini kemudian termasyhur dengan konflik fisik yang melibatkan banyak individu yang tergabung dalam beberapa kelompok atau yang biasa disebut dengan kekerasan massa.
Yang ganjil dalam sikap massa ialah ciri psikologis yang ditimbulkan, para pelaku mengalami penumpulan rasa salah atas tindakan kekerasan mereka. Akal sehat disingkirkan dan digantikan dengan moralitas lemah yang menjauhi konteks budaya dimana moralitas tersebut dibangun. Berjarak dari insiden itu, beberapa analis yang hebat dalam bidang ini maupun masyarakat biasa pemerhati duduk kasus sosial kemudian menyampaikan bahwa individu terseret oleh desakan kebersamaan mereka sehingga tak bisa lain kecuali melaksanakan menyerupai yang dilakukan orang yang lain. Seperti kesadaran in group yang diungkapkan oleh sosiolog sekelas Soerjono Soekanto maupun Selo Soemardjan Individu yang terlibat dalam kekerasan massa secara massif dipindahkan dari ruang kontak sehari-hari ke dalam suatu ruang peleburan kolektif yang mengisap ciri-ciri personalnya sebagai seorang individu. Penulis menyebutnya “ruang kolektif’ alasannya ialah ruang ini diproduksi oleh kebersamaan dan menjadi tempat bergeraknya tindakan-tindakan kolektif walaupun dalam beberapa analisis ada juga yang menyebutnya sebagai ruang massa.
Ada kecenderungan yang kemudian terjadi, bahwa perkelahian antar kelompok dalam beberapa penelitian ternyata tidak terlepas dari heterogennya sebuah masyarakat. Masyarakat perkotaan menyerupai di kota Makassar pun mempunyai kecenderungan tingkat kekerasan massa yang tinggi ketimbang dengan tempat lain yang belum begitu terjejal arus modernisasi.
Kehidupan perkotaan yang lebih bersahabat dengan kebijakan pemerintah sentra kemudian akan sangat praktis terciptanya arus balik dari masyarakat di dalamnya. Tanggapan dari masyarakat akan lebih cepat timbul belum lagi ketika kita meminjam teori Johan Galtung[3] terkena korelasi antara kekerasan itu sendiri dengan kekerasan struktural, dalam teorinya dikatakan bahwa kekerasan yang selama ini terjadi di masyarakat khususnya masyarakat kota tak terlepas dari wujud kekerasan rezim penguasa setempat terhadap rakyatnya, Kemarahan rakyat pun terlontar dalam bentuk beragam, dimulai dengan aksi protes hingga bentuk-bentuk destruktif berupa pengrusakan yang dilakukan oleh massa[4].
Beberapa pengamat kekerasan massa hingga budayawan menganggap bahwa siklus kekerasan yang terjadi di makassar tidak terlepas dari mental masyarakat Makassar itu sendiri yang dibangun dari konsep siri’dan pacce[5]. Budaya ini kemudian oleh sebagian orang dijadikan sebagai pembenar maraknya tindak kekerasan di kota ini. Pada tahun 2008 dari tiruana jenis konflik kekerasan yang melibatkan massa, di Negeri ini terjadi sebanyak 1136 masalah kekerasan yang sempat terdata. Sulawesi Selatan ternyata berada di peringkat kedua setelah Jawa Barat yang spesialuntuk berselisih satu kasus. 124 jumlah masalah yang terjadi di Sulawesi Selatan pada tahun 2008 itu, ternyata diramaikan jumlahnya oleh masalah tawuran yang begitu banyak melebihi konfik kekerasan agama, politik, pengeroyokan hingga penghakiman massa[6].
Ternyata dari data tersebut, 85% dari tiruana masalah kekerasan di Sulawesi Selatan terjadi di kota Makassar sebagai Ibukota provinsi. Dari tiruana narasi tersebut, penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian wacana faktor-faktor apa yang mengakibatkan maraknya kekerasan itu menghiasi keseharian masyarakat di kota ini. Benarkah bahwa ritus kekerasan tersebut ialah produk kebudayaan masyarakat Makassar ataukah bentuk aksi sebagaimana yang diutarakan oleh Erich Fromm[7] jawaban kekerasan struktural pemerintah sebagaimana yang disampaikan oleh Johan Galtung[8].
Pemerintah kota Makassar sebagai institusi kuasa yang berada di kota ini seharusnya menyadari duduk kasus krusial ini, kiprah pemerintah yang seharusnya mempersembahkan jaminan keamanan bagi setiap masyarakat negara seyogyanya diperankan dengan terbaik. Sebenarnya pemerintah kota Makassar sudah melaksanakan banyak upaya penanggulangan maraknya terjadinya kekerasan massa. Dalam aktivitas Makassar Great Expectation[9], masalah kekerasan yang kerap terjadi di jalanan ketika terjadi aksi unjuk rasa menjadi titik perhatian mengingat, bahwa kejadian tersebut bisa merusak wajah Makassar sebagai pintu gerbang di Indonesia penggalan timur.
Fokus pada penelitian ini hasilnya mengambil salah satu bentuk kekerasan massa yang cukup meresahkan. Perkelahian antar kelompok ialah penyakit masyarakat yang sering menjadi materi omongan di kota ini. Tak jarang dengan memakai senjata tajam yang berujung pada timbulnya korban jiwa. Perkelahian antar kelompok pun mengalir dengan banyak sekali motif dari pelakunya. Sebagian besar dari pelakunya didominasi oleh kaum remaja.
Berbagai penelitian sosial menganalisa sikap keterlibatan sampaumur dalam perkelahian antar kelompok. Namun perkelahian ini juga tak bisa dilepas oleh mereka yang sudah melewati masa remaja. Maraknya perkelahian antar kelompok yang melibatkan masyarakat miskin atau mereka yang berkemampuan ekonomi menengah ke bawah, menjadi salah satu indikasi bahwa perkelahian antar kelompok sebagai salah satu bentuk kekerasan massa diakibatkan oleh adanya kesentidakboleh yang jawaban pembangunan tidak diberimbang di sebuah kota besar.
Ada pula beberapa contoh masalah yang mempersembahkan bantahan terhadap “postulat” pelaku perkelahian antar kelompok diatas[10]. Masuknya perkelahian tersebut ke ranah institusi pendidikan menyerupai kampus dan sekolah mempersembahkan contoh yang setidaknya mendobrak pernyataan terkena tingkat pendidikan yang menjadi salah satu pemicu terjadinya tindak kekerasan.
Dalam banyak masalah kekerasan yang terjadi, banyak pertanyaan yang timbul dalam diri penulis terkena apakah bahwasanya kiprah pemerintah yang seharusnya mempersembahkan jaminan keamanan bagi masyarakatnya. Untuk itu diharapkan korelasi antara apa yang menjadi faktor antar kelompok yang kerap terjadi dengan peran-peran yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulanginya.
Ketertarikan penulis mengulas duduk kasus ini, dengan cita-cita tidak ada lagi sikap menduga-duga dari masyarakat pada umumnya terkena apakah pemerintah kota mengambil sikap dan berperan menanggulangi masalah yang terjadi. Lemahnya kiprah institusi pemerintah dalam mengambil langkah dalam beberapa penyelesaian masalah perkelahian terus berulang terlontar ketika kecelakaan sosial ini kembali muncul dipermukaaan. Perkelahian antar kelompok setiap ketika bisa saja terjadi dengan banyak sekali potensi yang diredam untuk beberapa ketika saja. Ketika keran penyebab perkelahian itu terbuka, sontak massa pun kembali mengambil posisi dalam menuntaskan duduk kasus yang sudah tidak bisa lagi diselesaikan dengan bahasa verbal.
Adanya disparitas antara penyelesaian masalah kekerasan dengan faktor penyebabnya cenderung membuat perkelahian tersebut spesialuntuk selesai pada permukaan dan tidak menyentuh akar persoalan. Perkelahian antar kelompok sanggup ditanggulangi ketika akar penyebab kekerasan itu terjadi sudah diketahui, banyak acuan yang bisa dijadikan teladan dalam menelaah akar kekerasan menyerupai ini yang kerap terjadi sebagai suatu produk sosial masyarakat kota.
Pemerintah kota yang melaksanakan banyak sekali upaya penanggulangan akan diteliti kiprahnya oleh penulis sebagai salah satu bentuk upaya pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Penelitian ini membuka duduk kasus yang sudah dibahas sebelumnya dengan memseriuskan penelitian pada tahun 2010 dalam judul:

Analisis Peran pemkot
terhadap Perkelahian antar Kelompok di Kota Makassar




[1] Dikutip dari artikel Memahami akar-akar kekerasan massa, 28 Juli 2008
[2] Perseteruan antara pribumi dan etnis tionghoa ditandai dalam insiden Toko LA, pada insiden tersebut terjadi pembantaian dan pembakaran terhadap pemukiman etnis tionghoa di Makassar. Peristiwa yang melibatkan etnis tionghoa berlanjut ketika terjadi pembunuhan terhadap seorang anak kecil oleh salah satu keturunan tionghoa yang diindikasikan menderita gangguan jiwa. Lebih lengkap lihat di, Sukriansyah S.Latif dan Tomi Lebang,  Amuk Makassar, Institute studi arus informasi, Makassar, 1998 hal. 35 dan 127.
[3] Johan Galtung membagi tiga bentuk kekerasan: kekerasan itu sendiri, kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Lihat di Sunardi, Keselamatan kapitalisme dan kekerasan, LKIS, Yogyakarta, 1996 hal 165
[4] Lebih lengkap baca di  Froom, Akar Kekerasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008 hal 137. Kemarahan ialah dorongan psikologis yang berbentuk aksi darip tekanan yang dialami, lebih lengkap dalam buku tersebut banyak diceritakan terkena dorongan psikologis untuk melaksanakan tindak kekerasan. Buku tersebut diantaranya mengambil pedoman Freud dan Lorenz.
[5] Siri’ dan pacce ialah ikatan budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang mengatur tata pergaulan, lebih lengkapnya akan dijelaskan pada BAB III.
[6] Data didapat dari hasil penelitian Warta Titian Damai, Februari 2009
[7] Lebih lengkap baca di  Froom, Akar Kekerasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008. Banyak bentuk-bentuk aksi yang dijelaskan lengkap dalam buku ini.
[8] Lihat Sunardi, Keselamatan kapitalisme dan kekerasan, LKIS, Yogyakarta, 1996 hal 165
[9] Makassar Great Expectation ialah nama aktivitas pemerintah kota untuk menjadikan kota Makassar menuju kota dunia dalam jargon ini pemerintah kota Makassar mengikutkan banyak aktivitas termasuk pembangunan fisik, nilai dalam masyarakat dan yang terpenting dalam sektor budaya. Lebih jelas, silahkan kunjungi situs resmi pemerintah kota Makassar (www.makassarkota.go.id).
[10] Pencantuman tanda kutip pada kata postulat bahwa makna dari kata tersebut tidak lagi sebagaimana artinya sebagai sebuah kesimpulan teori. Banyak warta berkembang terkena perkelahian yang sering terjadi di kampus, mengindikasikan terbentunya anggapan masyarakat bahwa tingkat pendidikan bukanlah faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan. Lebih terang baca di, Sukriansyah S.Latif dan Tomi Lebang,  Amuk Makassar, Institute studi arus informasi, Makassar, 1998 hal. 35 dan 127. 
0 Komentar untuk "Analisis Tugas Pemerintah Kota Terhadap Perkelahian Antar Kelompok Di Kota… (Ipm-18)"

Back To Top