Partisipasi Dharma Perempuan Dalam Proses Pembuatan Peraturan Daerah Mengenai Penanggulangan Musibah Di Kota … Dan Kabupaten …(Ipm-30)

loading...


Dewasa ini Indonesia menjadi salah satu Negara dengan dinamika sosial politik yang sangat dinamis. Sesudah pergantian rezim yang terjadi pasca kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, kondisi sosial politik Indonesia mengalami eforia pada aneka macam aspek kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut disebabkan oleh ruang-ruang kiprah aktif masyarakat menjadi sangat terbuka.
Keterlibatan masyarakat dalam ranah sosial politik menimbulkan sistem politik Indonesia menjadi sangat dinamis. Berbagai sub-sistem politik yang sebelumnya cenderung tealienasi oleh sifat sentralistik Negara, kemudian menjadi pelaku-pelaku aktif dalam ranah interaksi antar sub-sistem dengan Negara. Kondisi ini tentu saja mempersembahkan situasi yang cenderung positif bagi pertumbuhan dan konsolidasi sub-sistem yang ada dalam sistem politik Indonesia secara keseluruhan.
Kekuatan-kekuatan menyerupai partai politik, organisasi keagamaan, dan organisasi sosial lainnya seolah mendapat kekuatan untuk memegang peranan lebih besar dalam dinamika sosial politik Negara. Jika pada rezim sebelumnya, dinamika politik sangat sentralistis dengan penguasaan direktur dalam hal ini presiden sangat besar. Maka dikala ini, keberadaan  kekuatan-kekuatan subsistem kemudian ikut kuat pada aneka macam dinamika yang terjadi dalam Negara. Hal ini juga terjadi dalam proses pembuatan kebijakan.
Saat ini, proses pembuatan kebijakaan menjadi ruang bagi terlibatnya aneka macam kekuatan sosial politik masyarakat. Selain partai politik, kelompok-kelompok kepentingan juga turut memainkan perannya. Hal tersebut diatas secara ideal cenderung dianggap sebagai penggalan dari upaya memperjuangkan kepentingan masyarakat. Akan tetapi pada sisi lain, kelompok-kelompok kepentingan dianggap spesialuntuk memperjuangkan kepentingan tertentu kelompoknya dengan mengatasnamakan masyarakat. Hal ini cenderung menjadi praktik-praktik yang meluas dikalangan masyarakat pada setiap level proses kebijakan, baik pusat maupun di daerah. melaluiataubersamaini demikian, keterlibatan kelompok-kelompok kepentingan yang ada disekitar proses pembuatan kebijakan tidak sanggup dinafikan, termasuk keberadaan institusi Dharma Wanita.

Berbagai kenyataan tersebut diatas tidak bias dipisahkan dengan kebijakan pembangunan orde baru. Politik gender orde gres dengan tegas menempatkan perempuan bukan sebagai subyek yang berdikari untuk terlibat dalam proses politik formal. Perempuan ditempatkan dalam posisi domestic sementara untuk ranah publik ialah tempat bagi laki-laki. Kebijakan tersebut secara formal terdapat dalam panca Dharma Wanita serta kebijakan penyatuan organisasi-organisasi perempuan dalam satu payung, menyerupai istri Pegawai Negeri disatukan dalam Dharma Wanita, istri Tentara Nasional Indonesia (TNI) disatukan dalam Dharma Pertiwi, sedangkan perempuan (khususnya istri) dari tingkat kelurahan atau RT/RW hingga pusat diarahkan untuk masuk dalam PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga).[1]
Sebagai sebuah institusi yang meliputi para istri pegawai negeri sipil (PNS), selama ini keberadaan Dharma Wanita spesialuntuk dipandang sebagai organisasi tempat para perempuan untuk menawarkan eksistensinya. Dalam hal ini secara stigamatik, esksitensinya spesialuntuk diseputar pemdiberian kegiatan-kegiatan kepada para istri PNS tersebut pada bidang-bidang sosial. Dharma Wanita seolah spesialuntuk  menjadi institusi “kumpul-kumpul” bagi para istri PNS yang jauh dari keterlibatannya secara signifikan pada proses-proses kebijakan. Dharma perempuan cenderung dilekatkan pada kegiatan non-politis menyerupai penpenghasilanan, peresmian, arisan dan kegiatan-kegiatan lainnya. melaluiataubersamaini stigma demikian, keberadaan Dharma Wanita pada setiap jenjang organisasi pemerintahan pusat maupun tempat spesialuntuk dianggap institusi komplemen bagi keberadaan pegawai Negara. Secara umum kondisi tersebut menawarkan perspektif masyarakat terhadap keberadaan perempuan dalam ranah politik.  Perempuan cederung dianggap belum sanggup memdiberi imbas signifikan pada proses-proses kebijakan. Pandangan tersebut juga dilekatkan pada keberadaan Dharma Wanita.   
Dalam periode reformasi, posisi dan kiprah Dharma Wanita cenderung mengalami pergeseran. Posisi institusi yang selama ini spesialuntuk dianggap sebagai organisasi yang non-politis ternyata pada beberapa hal cenderung menawarkan hal yang tidak sama.
Dewasa ini, kiprah perempuan Indonesia sudah berkembang jauh dari masa lampau. Para perempuan Indonesia dikala ini sudah banyak berpartisipasi dalam bidang-bidang yang ada di masyarakat. Bukan spesialuntuk sebagai penunjang atau kelas dua namun banyak dari perempuan ini sudah mempunyai kiprah penuh dalam menjalankan roda-roda baik itu politik, ekonomi dan lainnya. Selain hadir sebagai pemikir, mereka juga bisa membaur dari segi teknis pelaksanaan. Pada titik ini, perempuan Indonesia termasuk Dharma Wanita mempunyai potensi untuk mempersembahkan imbas signifikan bagi bergeraknya dinamika politik termasuk pada level pemerintah daerah.
Hal ini sanggup kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, terdapat kecenderungan bahwa Dharma Wanita nampaknya mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan politis termasuk dalam proses kebijakan. Posisi institusi ini nampaknya mempersembahkan ruang yang potensial bagi keterlibatan mereka dalam mempengaruhi proses kebijakan. Dalam hal ini Dharma perempuan kemudian seolah bertransformasi menjadi salah satu kekuatan potensial yang kuat pada proses kebijakan. Gambaran tersebut nampaknya cukup relevan dalam pengamatan pada dinamika politik di daerah.
Selama ini kecenderungan menawarkan bahwa kiprah isteri PNS termasuk para pejabat tempat cenderung spesialuntuk menurut kertas kerja yang membaginya dalam dua kelompok besar yakni peranan kedalam dan peranan keluar. Hal tersebut di atas dinilai menurut posisinya baik di rumah tangga, anggota masyarakat Indonesia di daerah, sebagai anggota Dharma Wanita maupun anggota kelompok isteri para pejabat yang berada di tempat tempat para suami mereka ditugaskan.
Peranan kedalam yang dimaksudkan di sini ialah kiprah isteri baik yang berkaitan dengan kiprahnya di rumah tangga, anggota masyarakat setempat maupun posisinya sebagai anggota Dharma Wanita di tempat setempat. Sedang kiprah keluar yang dimaksudkan ialah kiprah yang dijalankan sebagai mana keberadaan kelompok ini dalam masyarakat menyerupai politik sosial dan ekonomi.
Layaknya ibu rumah tangga pada umumnya, maka dalam upaya membina keluarga, seorang isteri juga menghadapi aneka macam kiprah pokok yang berkaitan dengan urusan keluarga. Tugas tersebut antara lain mengelola dan mengatur segala hal yang bekerjasama dengan keperluan keluarga yang tentu saja non-politis.
sepertiyang fenomena yang biasa dilihat dari perbedaan ihwal bagaimana Hillary Clinton dan Tien Soeharto berbagi kekuasaan. Ada perbedaan radikal dalam cara keduanya mempengaruhi proses kebijakan pemerintahan baik direktur maupun legislatif di tempat maupun di pusat meskipun waktu itu ia ialah istri presiden Amerika Serikat. Salah satu caraagar Hillary sanggup mempengaruhi  sektor publik , yaitu ua harus masuk secara pribadi dan terlibat didalamnya. Sebaliknya, Tien Soeharto yang dalam perspektif barat dipandang sebagai perempuan yang lebih tidak terdidik, tertindas, tidak modern, tidak sejajar dengan suaminya yang dikala itu menjadi presiden RI, spesialuntuk dengan satu kalimat saja ia bias memilih atau mengubah kebijakan pemerintah. Rumor lain yang berkembang selain pembangunan TMII ialah suatu ketika Tien Soeharto mendampingi Presiden Soeharto meninjau candi Prambanan di Yogyakarta. Di lokasi candi Tien Soeharto terpeleset. Saat itu ia kemudian berucap, “Tempat ini bila dibentuk taman niscaya bagus.” Setahun kemudian pembangunan Taman Candi Prambanan dilakukan melalui rapat APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) di DPRD sebagai tubuh legislatif. Fenomena ini menawarkan betapa besar imbas Tien Soeharto terhadap kebijakan pemerintah (badan Eksekutif) tanpa melalui mekanisme formal (dengan persetujuan tubuh legislatif).[2]
Indikasi-indikasi yang timbul seperti  di atas diasumsikan ada dalam beberapa kebijakan tempat menyerupai kebijakan terkena pengelolaan kegiatan penaggulangan musibah yang menyangkut kepentingan anggota kelompok ini, Disini Dharma Wanita berupaya mempengaruhi proses kebijakan tempat yang sedang atau akan dibentuk oleh tempat tersebut diatas.
melaluiataubersamaini kata lain, Dharma Wanita Kota Palopo dan Kabupaten Luwu dikala ini cenderung sanggup dianggap sebagai salah satu kekuatan yang bisa memdiberi imbas secara signifikan pada proses kebijakan. Dharma Wanita nampaknya berubah menjadi menjadi suatu kelompok kepentingan yang juga memainkan kiprah dalam proses kebijakan. Kondisi tersebut tentu saja menarikdanunik untuk dicermati, yaitu kecenderungan adanya pergeseran Dhama Wanita dari organisasi perempuan non-politis menjadi salah satu kekuatan.
Memperhatikan hal yang sudah dipaparkan sebelumnya, maka penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian terkena hal tersebut. Penelitian yang akan dilakukan ialah “Partisipasi Dharma Wanita dalam proses pembuatan Peraturan Daerah Mengenai Penanggulangan Bencana Alam Di Kota Palopo dan Kabupaten Luwu.”

0 Komentar untuk "Partisipasi Dharma Perempuan Dalam Proses Pembuatan Peraturan Daerah Mengenai Penanggulangan Musibah Di Kota … Dan Kabupaten …(Ipm-30)"

Back To Top