Budaya Politik Santri Pada Pondok Pesantren Darul Arqam … (Plt-6)

loading...


Dalam dunia ilmu sosial, kebudayaan umumnya diperlakukan sebagai suatu variabel independen dan kontekstual yang berkhasiat untuk menunjukan variasi-variasi sikap diantara kelompok-kelompok masyarakat. Hubungan ilmu politik dari pendekatan ini terdapat pada karya tulis Gabriel Almond dan Sidney Verba, The Civic Culture, sebuah analisis komparatif lima negara terkena relasi antara sikap rakyat terhadap politik dan demokrasi yang stabil. Pendekatan ini diterapkan kepada Dunia Ketiga dan amat besar lengan berkuasa di dalam buku Lucian Pye dan Sidney Verba yaitu, Political Culture and Political Development. Pye menulis: Pandangan budaya politik ialah sikap, sentimen, dan kesadaran yang memdiberi informasi serta mengatur sikap politik di dalam setiap kelompok masyarakat ialah bukan spesialuntuk kumpulan sembarangan, tetapi mewakili pola-pola yang koheren, yang sama-sama sesuai dan saling memperkuat.[1]
Budaya politik ialah bab dari kehidupan politik, walaupun sementara pihak seringkali memandang budaya politik tak lebih spesialuntuk sebagai kondisi-kondisi yang mewarnai corak kehidupan masyarakat, tanpa mempunyai relasi baik dengan sistem politik maupun struktur politik. Budaya politik tidak diperhitungkan sama sekali dalam proses-proses politik. Asumsi itu banyak digunakan sebelum berkembangnya pendekatan yang mendasarkan diri pada budaya politik.

Budaya politik ialah fenomena dalam masyarakat, yang mempunyai dampak terhadap struktur dan sistem politik. Sehingga Rusadi, dalam mengulas budaya politik menyamakan dengan struktur politik, alasannya ialah bekerjasama dengan fungsi konversi (conversion function), dan kapabilitas (capabilities). Dalam mengulas keterkaitan antara budaya politik dengan sistem politik, budaya politik perlu dikedepankan alasannya ialah menyangkut disiplin ilmu sosial yang berkaitan dengan fenomena masyarakat. Terlebih lagi sistem politik sanggup ditinjau sebagai bab dari ilmu sosial (social system) yang hidup dalam sociosphere yang ialah bidang telaah baik sosiologi, antropologi maupun geografi.[2]
Budaya politik tertentu selalu inheren (melekat) pada setiap masyarakat yang terdiri atas sejumlah individu yang hidup baik dalam sistem politik tradisional, transisional maupun modern. melaluiataubersamaini mereview budaya politik kita akan mengenal atribut dan ciri-ciri yang terpokok untuk menguji proses yang berlanjut maupun yang berubah seirama dengan proses perkembangan, perubahan atau mutasi sosial.
sepertiyang dikemukakan ilmuwan politik menyerupai Immanuel H. Beer dan Adam B. Ulam atau oleh Gilbert Abcarian dan George S. Masanat, bahwa salah satu variabel sistem politik ialah kebudayaan politik. Bahkan oleh sementara ilmuwan politik dikatakan bahwa kebudayaan politik (political culture) ialah salah satu variabel penting dalam sistem politik, alasannya ialah variabel ini lebih mencerminkan faktor-faktor subyektif dibanding dengan variabel-variabel lainnya. Dalam hal ini, kebudayaan politik lebih dimaksudkan sebagai keseluruhan pandangan politik menyerupai norma-norma, pola-pola orientasi terhadap politik, legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan budi pemerintah, kegiatan partai-partai politik, prilaku aparatur pemerintah serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah, dan bahkan dianggap sebagai pandangan hidup insan pada umumnya.[3]
Dalam studi-studi politik Indonesia, penerapan yang paling dikenal dari pandangan relasi antara budaya dan politik, ialah buku Benedict Anderson The Idea of Power in Javguase Culture. Secara singkat Anderson memperkenalkan empat sifat dari apa yang beliau percaya menjadi konsepsi kekuatan tradisional Jawa, yaitu kekonkretan, homogenitas, kuantitas yang tetap dan amoralitas yang kontras secara tajam dengan wangsit kekuasaaan barat, konsep ini sebagaimana Anderson memahaminya. Lau beliau mencoba mengatakan kebaikan pikiran-pikiran Jawa sebagai piranti analisis dengan mempergunakannya untuk menafsirkan banyak sekali keputusan-keputusan budi Presiden Sukarno dan Presiden Suharto.[4]
Bila dibandingkan pendekatan dari Anderson dengan konsepsi Robert Bellah terkena budaya politik Amerika di dalam bukunya, Habits of the Heart: Dari masa-masa pertamanya, orang Amerika sudah melihat maksud dan tujuan bangsa sebagai upaya merealisasikan harapan Injili usang wacana suatu masyarakat adil yang penuh kasih, sebagian berjuang membina semangat hidupnya dan undang-undang bangsa sesuai dengan keinginan kewargguagaraan dan partisipasi republikan. Masih ada yang lainnya, yaitu yang mengemukakan mimpi-mimpi nyata terkena nasib baik dan kemenangan nasional. Dan selalu ada para pendukung, yang sering kali bergairah, bahwa kebebasan berarti semangat wiraswasta dan adanya hak menimbun kekayaan serta kekuasaan untuk pribadi.[5] Buku Bellah selanjutnya menguji bagaimana banyak sekali sub budaya ini: harapan Injili, republikan, nasionalis dan individualis diberinteraksi sekarang.
Tidak adanya piranti-piranti analisis dengan mana memahami bagaimana budaya-budaya berubah atau dipertahankan dari masa ke masa. Kita perlu untuk menyelidiki nilai-nilai, kepercayaan dan adat, bukan saja sebagai pikiran-pikiran, tetapi ketika nilai, kepercayaan dan adat itu bekerjasama dengan proses-proses dan lembaga-lembaga internasional dan domestik yang konkret, naik turunnya gerakan kelompok-kelompok dan arus-arus sosial dan politik. Dan hal ini sangat dipengaruhi oleh sistem politik yang ada di suatu negara.
Kehidupan insan di dalam masyarakat, mempunyai peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan diberinteraksi dengan insan lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup insan tidak cukup yang bersifat dasar, menyerupai makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup beberapa aspek kebutuhan akan legalisasi eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemdiberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.
Setiap masyarakat negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik mudah baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya sanggup terjadi secara eksklusif atau tidak eksklusif dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau diberita-diberita wacana kejadian politik yang terjadi. Dan jikalau secara langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam kejadian politik tertentu.
Kehidupan politik yang ialah bab dari keseharian dalam interaksi antar masyarakat negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), sudah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan wacana praktik-praktik sikap politik dalam tiruana sistem politik. Oleh alasannya ialah itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap masyarakat negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain.
Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. melaluiataubersamaini demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan memilih keputusan nasional yang menyangkut referensi pengalokasian sumber-sumber masyarakat.
Dalam dunia keagamaan dan dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan, relasi antara agama dan politik terang mempunyai suatu keterkaitan, namun tetap harus dibedakan. Di satu pihak, masyarakat agama mempunyai kepentingan fundamental supaya agama tidak dikotori oleh kepentingan politik, alasannya ialah bila agama berada dalam dominasi politik, maka agama akan sangat mudah diselewengkan. Akibatnya agama tidak lagi menjadi kekuatan pembebas atas banyak sekali bentuk penindasan dan ketidakadilan, sebaliknya agama akan berubah menjadi kekuatan yang menindas dan kejam.
Di pihak lain, ialah kewajiban moral agama untuk ikut mengarahkan politik supaya tidak berkembang berdasarkan seleranya sendiri yang bisa membahayakan kehidupan. Agar agama sanggup menjalankan tugas moral tersebut, maka agama harus sanggup mengatasi politik, bukan terlibat eksklusif ke dalam politik praktis. Karena bila agama berada di dalam kooptasi politik, maka agama akan kehilangan kekuatan moralnya yang bisa mengarahkan politik supaya tidak berubah menjadi kekuatan yang menekan kehidupan dan menyimpang dari batas-batas moral dan etika agama, masyarakat, dan hukum.
Dalam agama Islam Paradigma pemikiran yang berkembang seputar relasi antara politik dan agama, selalu diwakili dua kutub pemikiran yang bertolak belakang. Qaradhawi mengistilahkannya dengan kelompok sekuler dan kelompok Islamis. Masing-masing kelompok ini intens menyebarkan premis-premis yang mendukung pendapatnya dalam banyak sekali tulisan, buku, dan wacana.[6]
Perspektif kaum sekuler dan materialis selalu menganggap bahwa agama tidak lebih spesialuntuk sebatas relasi vertikal antara seorang individu dengan Tuhannya. Bahkan mereka mengklaim bahwa agama dan politik ialah suatu hal yang tidak mungkin untuk dipertemukan. Agama bersumber dari Tuhan, karakteristiknya pun selalu identik dengan nilai-nilai kesucian, dan tujuan jangka panjangnya ialah kehidupan akhirat. Sementara politik ialah kreatifitas dan rekaan nalar manusia, karakteristiknya pun selalu kotor dan penuh tipu daya, dan tujuan balasannya tidak lebih spesialuntuk pemuas kehidupan dunia. Pemikiran ini berkembang di dunia barat, namun cukup banyak juga pemikir Arab dan dunia Islam yang berpikiran sama, semisal Ali Abdul Raziq dan Mustafa Kemal Pasha.
Berbeda dengan tokoh-tokoh menyerupai Khairuddin At-Tunisy, Muhammad Abduh, Hasan Al-Banna, Syakib Arselan, dan Al-Maududi. Mereka melihat bahwa Islam, disamping sebagai akidah, juga ialah syariah, peraturan, serta perundangan yang mengatur seluruh dimensi kehidupan. Islam sebagai iman dan syariah, dakwah dan negara, serta agama dan politik. Pemikiran mereka secara spesifik berangkat dari tiga perspektif:[7]
Pertama, Islam sebagai agama yang komprehensif mengatur seluruh dimensi kehidupan. Baik dimensi materil ataupun spirituil, baik secara individu maupun kolektif dalam konteks kehidupan bernegara. Bahkan seluruh gerak individu muslim tidak lepas dari aturan (wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah). Barangkali apa yang sudah Allah firmankan dalam surat An-Nahl ayat 89: “...Dan kami turunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menunjukan segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat, serta kabar besar hati bagi orang yang berserah diri," ialah justifikasi nilai-nilai Islam sebagai agama yang komprehensif.
Kedua, Islam sangat mengecam sikap parsial dalam pelaksanaan dan pengamalan nilai-nilainya, alasannya ialah seluruh aturan dan dogma yang ada di dalamnya ialah suatu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan. Seorang muslim tidak spesialuntuk harus menerjemahkan kemuslimannya di mesjid, mushalla, kesepakatan pernikahan, dan sebagainya. Akan tetapi ia harus tetap menjadi seorang muslim ketika bergelut di dunia bisnis, berorasi politik dalam sebuah pesta demokrasi, bahkan dalam berperang pun, ia harus tetap menjaga etika yang sudah diajarkan Islam dalam peperangan. Firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang diberiman masuklah kedalam Islam secara keseluruhan, dan tidakbolehlah engkau ikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqarah: 208), ”dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memdiberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan ialah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. As-Sajadah: 24).
Ketiga, Sejak lampau kala sampai ketika ini, peradaban dan kebudayaan dimanapun sadar bahwa sebuah institusi negara atau kekuatan politik ialah salah satu masukana terpenting untuk menjalankan seluruh aktifitas penerapan hukum, perundangan, pengajaran, dan proteksi terhadap segala bentuk kerusakan secara internal, maupun serangan dari kekuatan luar yang berniat untuk merampas ataupun menjajah. Bukan spesialuntuk itu, realitas dunia modern ketika ini justru lebih menuntut seluruh komponen umat merambah tiruana sektor riil dan peluang serta potensi yang ada untuk mengambil peran. Integrasi antara kekuatan sekuler dan kekuatan religius mestinya ialah representasi ideal dalam kepemimpinan nasional. Kekuatan kelompok sekuler sanggup dipercaya dalam kapabilitas; sedangkan kekuatan religius sanggup mengimbanginya dengan moralitas. Namun harapan ini agaknya masih jauh dari kenyataan.
Di Indonesia kita mengenal salah satu kelompok sosial-religius yaitu santri. Para sarjana yang berminat terhadap telaah terkena suku Jawa selalu mengenal dengan baik istilah santri yang khas itu. Istilah dan konsep santri sudah populer dekat dan sering digunakan dalam karya-karya para sarjana wacana sejarah , politik dan masyarakat Jawa. Di samping para penulis dari Indonesia, Clifford Geertz andal antropologi asal Amerika Serikat yang terkemuka, memakai istilah tersebut secara luas dalam karyanya, The Religion of Java (1960). Telaah terhadap golongan santri memang penting, khususnya untuk orang yang hendak menyelidiki dengan seksama perkembangan Islam di Jawa.
Dalam setiap pemilu, kaum santri ialah kekuatan sosial dan politik yang selalu diperhitungkan. Pertautan elit dan santri itu akan membekali legitimasi bagi seorang calon presiden. SBY pun tak mau kehilangan peluang meraih kaum santri ini. Disinilah, konvergensi kepentingan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menghadiri program Jambore Santri Nusantara di Jatinangor, Jawa Barat. Jambore yang berlangsung 15-20 Juni 2009 kemudian ini diikuti oleh 6.000 santri dari 800 pesantren se-Indonesia.[8]
SBY dan kaum santri yang acaranya berlangsung meriah ini juga dimaksudkan untuk menjalin tali silaturahmi para santri, sekaligus sebagai upaya elit untuk mengkooptasi para santri ini. Dalam jambore ini, juga diisi dengan perlombaan yang menampilkan kreativitas para santri. Diperkirakan, ratusan kiai hadir dalam program tersebut, dengan menggelar pertemuan bersama para santri, terang suatu kekuatan sosial sudah diserap oleh SBY untuk menopang kontribusi bagi pencalonannya. melaluiataubersamaini cara itu, SBY ingin mengatakan komitmennya pula bagi kaum santri yang tersebar di negeri ini. Dukungan kaum santri bagi SBY sangat bermakna secara politik maupun ideologi.
SBY terang berkepentingan supaya tidak ada oposisi dari kaum santri. Bagaimanapun, SBY sadar bahwa tumbuhnya oposisi santri, yakni sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dilancarkan kalangan santri, baik dari kalangan NU maupun Muhammadiyah dan lainnya, ialah ancaman bagi legitimasi pemerintah. SBY berkeinginan menyerap aspirasi kaum santri secara simbolik, meski setelah itu, menyerupai biasanya, kaum santri kemudian spesialuntuk menjadi penonton di luar panggung teater negara.
Dari doloe, sebagai modal sosial, kaum santri spesialuntuk menjadi obyek politik alasannya ialah lemah dari segi modal ekonomi. “Namun demikian, pesantren tetap menjadi basis sosial yang diperhitungkan, berdasarkan pengamat politik Unair Prof. Kacung Maridjan. SBY yang didera isu neoliberalisme, terang sangat paham bahwa oposisi santri otomatis senantiasa berjalan, alasannya ialah kritisisme mereka terhadap banyak sekali kebijakan negara sudah menjadi perintah iman dan keyakinan. Kritisisme itu ialah akhir logis dari anutan Islam yang senantiasa menekankan prinsip amar ma`ruf nahi munkar.[9] melaluiataubersamaini titik temu SBY dan kaum santri itu, oposisionis santri bisa dikurangi, jikalau pun tak bisa diredam sama sekali. Di sisi lain, tiruana berharap santri sanggup berkembang dan mendapat posisi strategis dalam kehidupan ekonomi dan berkebangsaan.
Hal di atas berlaku juga untuk Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah, Makassar. Pondok pesantren ini berdiri ketika ulama Muhammadiyah berpandangan bahwa Pendidikan Tarjih Muhammadiyah yang diselenggarakan di jalan Bandang No. 7 Makassar khususnya di Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bontoala tidak lagi relevan dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam rangka pelatihan pondok pesantren, maka pada Musyawarah Wilayah Muhammadiyah di pare-pare menetapkan supaya Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah menjadi proyek pengkaderan Muhammadiyah.
sepertiyang dikemukakan Haedar Nashir, relasi Muhammadiyah dan politik sanggup di ketahui dari dua variabel. Variabel pertama ialah aspek teologis atau pemikiran-pemikiran keagamaan yang dianut Muhammadiyah dan mempunyai persentuhan dengan dunia politik, yang memdiberi citra terkena pandangan Muhammadiyah wacana politik. Variabel kedua ialah aspek sosio-historis atau sosiologis, yang melukiskan kenyataan sejarah dan pengalaman sosiologis dalam politik yang dialami Muhammadiyah semenjak organisasi ini berdiri pada tahun 1912.[10]
Dalam bab sejarahnya Muhammadiyah sering terlibat dalam percaturan politik, bahkan pernah menjadi Anggota Istimewa Partai Islam Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Kendati diakui pula  bahwa keterlibatannya dalam politik sepertinya tidak sejauh Nahdhatul Ulama (NU) yang pernah menjadi partai politik. Keterlibatan Muhammadiyah dalam politik dengan tidak pernah menjadi partai politik menjadi kekuatan tersendiri. Muhammadiyah menjadi tampak lebih mempunyai dampak sebagai moral force dan political force yang memainkan fungsi sebagai kelompok kepentingan (interest group) yang kuat alasannya ialah didukung oleh massa yang relatif besar terutama dari masyarakat kelas menengah kota.
Haedar Nashir juga mengemukakan bahwa, Muhammadiyah pada bab umum sejarah yang dilaluinya mengatakan sikap dan prilaku politik yang akomodatif, artinya relatif elastis dalam menghadapi perkembangan politik dan kebijakan pemerintah tanpa harus terpisah dari prinsip-prinsip dan idealisasi sebagai gerakan Islam amar ma’ruf nahi munkar. Sikap dan prilaku yang cenderung akomodatif ini ternyata tidaklah berwarna hitam-putih, alasannya ialah dalam bagian-bagian lain dari sejarah yang dialaminya juga berani mengambil sikap kritis dan tegas dalam menyikapi perkembangan politik dan kebijakan pemerintah yang dianggap berperihalan dengan misi gerakan dan kepentingan masyarakat pada umumnya.[11]   
Hal ini dibuktikan dengan relasi Muhammadiyah dengan dunia politik yang bersifat personal dan tidak langsung, ditandai oleh keterlibatan aktif tokoh-tokoh puncak Muhammadiyah yang memperoleh kontribusi luas dari anggota Muhammadiyah dalam membidani kelahiran dan mendukung eksistensi partai politik tertentu. Pola relasi ini dikatakan bersifat tidak eksklusif alasannya ialah tidak mempunyai kaitan formal dan organisatoris eksklusif dengan Muhammadiyah. Dalam konteks organisasi Muhammadiyah sering pula disebut dengan relasi yang bersifat moral dan sosiologis, atau relasi ideologis.
Hal ini sanggup terlihat dari pembentukan Partai Amanat Nasional pada tahun 1998. Kelahiran PAN yang dipimpin oleh Prof. Dr. H. M. Amien Rais ialah fenomena menarikdanunik alasannya ialah dianggap sebagai eksperimen politik tokoh santri dalam membangun partai politik gres yang bersifat beragam di tengah suasana gres yaitu kurun reformasi. Secara formal dan eksklusif Muhammadiyah tidak mempunyai kaitan organisatoris dengan partai yang didirikan pada 23 Agustus 1998 di Jakarta itu.[12]
Sebagai proyek pengkaderan Muhammadiyah Pondok Pesantren Darul Arqam juga mempunyai relasi yang bersifat personal dan tidak eksklusif dengan dunia politik. Hal ini sanggup terlihat oleh keterlibatan aktif alumni pondok pesantren dengan politik yang memperoleh kontribusi dari pondok pesantren, menyerupai Anis Matta (Sekjen PKS), Ridwan Hamsah (anggota DPRD Kota Makassar), Syamsi Ali (Ketua KPU Bulukumba), dan Wakil Ketua DPRD Jeneponto. Walaupun secara kelembagaan mereka tidak mempunyai kaitan yang formal dengan pondok pesantren. sepertiyang juga dikemukakan Ust. Ridwan salah seorang pengajar bahwa PAN mendapat kontribusi dari sebagian besar elemen pondok pesantren.


0 Komentar untuk "Budaya Politik Santri Pada Pondok Pesantren Darul Arqam … (Plt-6)"

Back To Top