Analisis Faktor-Faktor Yang Menghipnotis Pendapatan Tenaga Kerja Perempuan Di Sektor Informal Kota Makassar (Ilk-1)

loading...
Negara berkembang ibarat Indonesia, dimana peranan sektor informal sangat besar, dibutuhkan sebuah pemahaman gres terhadap situasi ketenagakerjaan, bahwa masalahnya bukanlah orang bekerja atau tidak bekerja, melainkan kesejahteraan pekerja yang sanggup dilihat dari tingkat pendapatan yang mereka peroleh (Priyono, 2002). Selanjutnya, terkait dengan sektor informal, Survei Tenaga Kerja Nasional (SAKERNAS) menurut jenis kelabuin di tahun 2006,  74,28 % pekerja informal ialah wanita, dan bertahan hingga  tahun 2007, pada tahun 2008 menurun sampai 73, 54%, akan tetapi penurunan persentase tersebut tidak merubah proporsi bahwa pekerja wanitalah yang mendominasi sektor ini yang  juga menegaskan bahwa perempuan ialah tenaga produktif dalam perekonomian dimana  perempuan juga terlibat dalam proses pemenuhan kebutuhan (produksi) terutama yang berjarak paling erat dalam unit sosial yang terkecil yaitu rumah tangga.
Kondisi ibarat ini mengambarkan bahwa keterlibatan perempuan dalam perekonomian bukanlah hal baru. Motif bekerja perempuan di sektor informal terbagi atas dua yaitu motif perempuan untuk bekerja dan motif perempuan untuk menentukan sektor informal. Motif perempuan untuk bekerja ditengah  kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi  ketika ini sangatlah banyak. Sederhananya sanggup digolongkan dalam tiga motif, yaitu "mencari nafkah", "menambah penghasilan keluarga", dan "mengisi waktu luang" (Sajogyo,1983).  Sementara itu, motif perempuan untuk menentukan sektor informal sebagai tempat pencarian nafkah salah satunya dikarenakan sumberdaya yang dimiliki perempuan ibarat tingkat pendidikan, modal kapital, maupun ketrampilan yang relatif lebih rendah,  juga sebab sifat sektor ini yang lebih fleksibel dan praktis bagi sumberdaya yang minim tersebut. Hal ini sanggup dilihat dari kasus buta karakter yang lebih tinggi dikalangan perempuan yakni 64%  (Kompas, 2009) menjadikan setengah dari jumlah penduduk yang ialah kaum perempuan susah memasuki sektor formal oleh sebab ketatnya persyaratan yang ditentukan untuk sanggup memasuki sektor tersebut. Selain faktor pendidikan, faktor usia pun menjadi persyaratan yang kuat dalam perembesan tenaga kerja perempuan disektor formal, adapun usia yang dianggap produktif biasanya berada sekita 18 – 30 tahun dimana sebagian besar perempuan pada usia tersebut tidak seluruhnya memenuhi atau mempunyai syarat yang memadai untuk memasuki sektor formal.

Selain latar belakang sumberdaya yang dimiliki wanita, faktor struktur sosial, budaya, ekonomi, dan politik juga mensugesti sekaligus membedakan kiprah pria dan perempuan (Gender differens). Dalam perspektif gender, ada keyakinan bahwa hubungan-hubungan gender (Gender relation) terbentuk bukan sebagai proses biologis ibarat perbedaan jenis kelabuin tetapi melalui proses konstruksi sosial budaya, oleh sebab itu kekerabatan kiprah pria dan perempuan tidak bersifat alami ibarat anggapan selama ini (Mosse,2007).
Di Indonesia, hubungan-hubungan gender ini sanggup dilihat dari berlakunya Struktur masyarakat yang pada umumnya masih bersifat patriarkal, dan forum utama dari sistem ini ialah keluarga. Sistem Patriarkal ialah struktur yang mengabsahkan bentuk struktur kekuasaan dimana lelaki mendominasi wanita. Dominasi ini terjadi sebab posisi irit perempuan lebih lemah dari lelaki (Arief Budiman: 1985,60) sehingga perempuan dalam pemenuhan kebutuhan materialnya sangat tergantung pada lelaki.
Kondisi ini ialah implikasi dari sistem patriarkal yang memisahkan kiprah utama antara lelaki dan perempuan dalam keluarga, lelaki berperan sebagai kepala keluarga, terutama bertugas di sektor publik sebagai pencari nafkah, memdiberi peluang bagi lelaki untuk memperoleh uang dari pekerjaannya, sedang perempuan bertugas di sektor domestik sebagai pendidik anak dan pengatur rumah tangga yang tidak memperoleh bayaran.
Untuk pemenuhan kebutuhan materialnya perempuan tergantung kepada lelaki sebagai pencari nafkah. Pembagian kiprah di sektor publik untuk lelaki dan di sektor domestik untuk perempuan ini terutama terlihat terang di lingkungan keluarga ekonomi menengah ke atas, sedangkan pada keluarga ekonomi rendah/bawah dikotomi dukungan kiprah kerja menurut sistem patriarkal mengalami perubahan.
 Kesusahan ekonomi memaksa mereka kaum perempuan dari kelas ekonomi rendah untuk ikut berperan dalam  meningkatkan pendapatan keluarganya dengan bekerja di luar sektor domestik. melaluiataubersamaini bekerjanya perempuan diluar sektor domestik biasanya disertai prosedur yang disebut kiprah ganda yang berarti melaksanakan dua fungsi keluarga sekaligus, (fungsi produksi dan fungsi reproduksi). Peran ganda dialami juga baik pria ataupun wanita, akan tetapi beban kerja ganda yang lebih faktual dan lebih berat terbukti lebih banyak dipikul oleh perempuan (Sajogyo,1983), terutama bagi perempuan yang sudah berkeluarga & mempunyai tanggungan, serta perempuan yang menjadi single parent atau kepala keluarga.
 Kota Makassar sebagai ibu kota propinsi Sulawesi Selatan ialah salah satu wilayah di Indonesia yang  mempunyai kiprah untuk meningkatkan taraf hidup penduduknya baik pria maupun perempuan guna mencapai pembangunan ekonomi yang lebih baik, yang juga merujuk pada aktivitas engendering development yang dihasilkan dari perjanjian internasional oleh majelis umum PBB tentang pembatalan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) yang sudah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia melalui UU No. 7/1984. Seperti pada umumnya disetiap tempat di Indonesia, Pemberdayaan perempuan yang dilaksanakan selama ini dinilai memdiberi dampak positif bagi taraf hidup perempuan di tempat ini. Hal ini sanggup dilihat dari Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Wanita (TPAK) khusunya kota Makassar sebagai kota yang mempunyai jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari pada jumlah penduduk laki-laki, mencerminkan peningkatan dan  kesetabilan yang cukup dari tahun ke tahun meskipun tetap mempunyai proporsi yang lebih rendah dari laki-laki.


            Secara Umum, TPAK perempuan di kota Makassar jauh lebih rendah dibandingkan TPAK laki-laki. Meskipun demikian, kalau dilihat dari jumlah angkatan kerja, selama periode 2008-2009  peningkatan jumlah angkatan kerja perempuan di kota Makassar jauh lebih besar dibanding angkatan kerja pria dimana peningkatannya berkisar 20.653 jiwa, sedangkan angkatan kerja pria mengalami peningkatan 13.853 jiwa. Pada periode 2009-2010, angkatan kerja perempuan mengalami penurunan 2.476 jiwa, sedangkan angkatan kerja pria mengalami penurunan yang cukup besar sekitar 10.951 jiwa.
Dari data diatas sanggup dicermikan bahwa upaya  perempuan pemberdayaan khususnya kota Makassar masih banyak mengalami kendala oleh sebab hasil yang dicapai belum sesuai dengan cita-cita dengan belum terwujudnya kemitrasejajaran yang serasi antara pria dan wanita.


Dalam literatur teoris dan empiris, kajian ibarat ini bukan ialah hal yang baru, namun sekiranya masih tetap menarikdanunik dan relevan untuk dicermati kembali. melaluiataubersamaini aneka macam literatur yang mendukung, dan dengan bermacam-macam faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga penelitian ini diarahkan dengan judul “Analisis faktor-faktor yang mensugesti pendapatan tenaga kerja perempuan di sektor informal kota Makassar”.

0 Komentar untuk "Analisis Faktor-Faktor Yang Menghipnotis Pendapatan Tenaga Kerja Perempuan Di Sektor Informal Kota Makassar (Ilk-1)"

Back To Top