loading...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dilihat dari kacamata historis, inspirasi konkrit terkena pemisahan kekuasaan negara di negara-negara barat mulai muncul ke permukaan semenjak paham absolutisme mencuat khususnya oleh Stuart di Inggris dan Louis XIV di Perancis. Sebagai Koreksi atas kekuasaan otoriter raja-raja Stuart, seorang filosof Inggris yang berjulukan John Locke (1632-1711) melalui bukunya Two Treatises on Civil Government (1690) mengemukaan sebuah iman terkena pemisahan kekuasaan. Dan ia dianggap sebagai pencetus pertama iman ini, yang mana mengandung suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan negara sebaiknya tidak diserahkan pada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. melaluiataubersamaini demikian dibutuhkan hak-hak asasi masyarakat negara lebih terjamin. Menurut Locke, kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah satu sama lain yaitu kekuasaan legislatif sebagai pembuat hukum; direktur sebagai pelaksana aturan sekaligus mengadili para pelanggar aturan dan federatif yang berkuasa mengatur perang dan damai, liga dan aliansi, dan tiruana transaksi yang melibatkan komunitas masyarakat di luar negeri.2
Kondisi yang serupa juga terjadi di Perancis di masa pemerintahan Louis XIV (1638-1715). Ia ialah sampel dari sosok penguasa monarki otoriter dengan pernyataannya yang terkenal: ”L`etat c`est moi” (aku ialah negara).3 Sistem monarki yang dibangun oleh Louis XIV ialah denfan melemahkan peranan dewan legislatif dan menyerap seluruh bentuk kekuasaan melalui keputusan eksekutif.4 Dan satu-satunya pemikir di masa ini yang paling vokal menyerukan Koreksi terhadap absolutisme Louis XIV ialah Charles Louis de Secondat de la Brede et de Montesquieu (1689-1755), seorang filosof sekaligus politikus Perancis yang mengemukakan konsep pemisahan kekuasaan melalui bukunya L`Esprit des Lois (Jiwa Hukum) (1748). Menurut Montesquieu, kekuasaan negara terpisah dalam tiga bab diantaranya Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif (Judicial). Legislatif ialah penguasa pemberlaku Undang-Undang yang bersifat sementara atau tetap, mengubah atau menghapus Undang-Undang yang sudah diberlakukan. Eksekutif sebagai penguasa yang tetapkan perang dan damai, mengirim dan mendapatkan duta, menjamin keamanan publik dan menghalau adanya invasi. Serta kekuasaan Yudikatif yang memdiberi eksekusi para penjahat atau tetapkan perselisihan yang timbul antar perorangan.5 Mengenai korelasi antar ketiga forum tersebut, Montesquieu menekankan pada pemisahan secara mutlak satu sama lain,
baik terkena kiprah atau fungsi maupun terkena alat perlengkapan atau organ
yang melakukannya.6
Dalam lapangan simpel sejarah Islam, korelasi antar forum negara secara substansial sudah berlangsung dengan begitu dinamis pada masa Khulafa al-Rasyidin (632-661). Para khalifah tidak tetapkan suatu kasus yang berkaitan dengan pengaturan pemerintahan atau perundang-undangan kecuali dengan bermusyawarah dengan kaum cendikiawan diantara kaum Muslimin.7 Dan meskipun para hakim diangkat berdasar keputusan para Khulafa, namun para hakim itu mempunyai kebebasan dari segala ikatan dan tekanan, kecuali ketakwaan pada Allah swt, ilmu dan nurani mereka. Sehingga mereka memperlakukan khalifah menyerupai salah seorang diantara rakyat awam dan mengadili mereka apabila ada kasus yang dihadapkan melawan mereka.8 Sesudah silamnya masa Khulafa al-Rasyidin, konsep musyawarah tidak lagi dijadikan dasar jalannya pemerintahan. Para penguasa menjauhkan diri dari para hebat ilmu yang berani menyatakan segala yang haq. Dan bila penguasa mengadakan musyawarah, maka akseptor musyawarah bukanlah kaum pemikir yang dipercayai oleh umat keahlian dan keteguhan agamanya, namun spesialuntuk terdiri dari para keluarga kerajaan atau pejabat-pejabat istana.9 Pada masa Umayah(661-743) misalnya, fungsi direktur dan yudikatif menjadi satu dalam diri khalifah sehingga khalifah mempunyai otoritas penuh untuk mengendalikan kekuasaan peradilan.10
Keadaan yang tidak jauh tidak sama terus mewarnai sejarah pemerintahan Islam. Dalam catatan sejarah, bentuk monarki di dunia Islam – dimana peranan direktur mendominasi dengan kuat – berlangsung dari tahun 661 yaitu semenjak masa Dinasti Umayah di Damaskus hingga dengan tahun 1924 sehabis forum khilafah di Turki dihapuskan. Bentuk monarki dalam hal ini ialah monarki otoriter hingga pada tanggal 23 Desember 1876 Turki Usmani merubah sistem monarki otoriter ke monarki konstitusional yang berfungsi untuk membatasi kekuasaan direktur yang absolut. Sebelum itu pada Januari 1861, Tunis juga berkembang menjadi sistem monarki konstitusional. Dua negara inilah yang ialah penggagas hampir seluruh pemerintahan di dunia Islam untuk mempunyai konstitusi pada masa ke-20.11
Pada pertengahan masa ke-20, seorang ulama besar sekaligus politikus dari negeri metamorfosis India-Pakistan, Abul A`la al-Maududi (1903-1979), menyegarkan kembali wacana politik Islam melalui The Islamic Law and Constitution yang meliputi kumpulan aneka macam ceramah beliau; dan al-Khilafah wa al-Mulk yang meliputi tinjauan kritis atas praktek pemerintahan Islam khususnya pada masa Umayah dan Abbasiyah.
Pada penghujung tahun 1930, Muhammad Iqbal (1873-1938) dan Muhammad Ali Jinnah (1876-1948) dari Liga Muslim India menyerukan dukungan India dan pembentukan Pakistan sebagai negara muslim yang terpisah. Disisi lain, Abdul Kalam Azad (1888-1958) dari Partai Kongres dengan gigih mendukung adonan Muslim-Hindu dalam gerakan Nasionalisme India dengan membentuk negara India yang merdeka, bersatu dan sekuler.
Abul A`la al-Maududi menolak dua posisi lebih banyak didominasi ini. Sikap ini berdasar pada keberatan atas bentuk nasionalisme, bahkan terhadap nasionalisme muslim. Karena menurutnya, nasionalisme ialah tanda-tanda dari barat yang berlawanan dengan Islam.12 Walaupun al-Maududi keberatan terhadap pembentukan Pakistan sebagai negara muslim yang terpisah atas dasar nasionalisme muslim, namun Sesudah terbentuknya Pakistan pada tanggal 15 Agustus 1947 dengan Muhammad Ali Jinnah (Quadi Azam) sebagai Gubernur Jenderal dan Liaquat Ali Khan sebagai Perdana Menteri,13 al-Maududi risikonya mendapatkan realitas politik itu dan tetap berada dalam wilayah Pakistan.14
Meskipun ideologi dan lambang-lambang keagamaan sudah dipakai oleh Liga Muslim dalam pembentukan Pakistan, namun tidak ada pemahaman dan aplikasi yang terperinci terkena ideologi Pakistan. Permasalahan ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang teramat sederhana: Apa yang dimaksud dengan pernyataan bahwa Pakistan itu negara Islam modern ataupun negara muslim modern? Bagaimana ciri Islam itu dicerminkan dalam ideologi dan lembaga-lembaga negara?15 Ketika para pemuka negara gres itu berusaha merumuskan ideologi dan system pemerintahan Pakistan, Jamaat Islami (JI) – organisasi yang didirikan dan dipimpin oleh al-Maududi – melaksanakan tekanan untuk terbentuknya negara Islam dan segera maju ke depan dalam perdebatan (1948-1956) terkena perumusan konstitusi Pakistan yang pertama.16
Dalam aneka macam tekanan dan perdebatan itulah al-Maududi menguraikan aneka macam permasalahan penting seputar prinsip-prinsip pembentukan negara Islam yang didalamnya juga disebutkan wacana aneka macam forum negara dan korelasi yang terjalin antar forum tersebut.
Dalam pemikiran beliau, lembaga-lembaga negara dalam suatu negara Islam terdiri dari ahl al-hall wa al-`aqd yang berfungsi sebagai pembuat Undang-Undang, Umara sebagai penegak Undang-Undang, dan Qadha sebagai pemutus kasus atau perselisihan yang terjadi dalam masyarakat.17 Menurut al-Maududi, masing-masing forum negara haruslah terpisah, tetapi tidak secara mutlak. Setiap forum mempunyai fungsi yang – dalam aneka macam kondisi – saling terbuka satu sama lain. Sebagai contoh, berdasarkan al-Maududi, forum yudikatif mempunyai hak untuk membatalkan tiruana aturan dan perundang-undangan yang dibentuk legislatif kalau berperihalan dengan konstitusi yang tertinggi yaitu al-Qur`an as-Sunnah.18 Berbeda dengan Montesquieu yang dengan konsep pemisahan kekuasaan mutlaknya melarang seorang hakim untuk ikut campur dalam kekuasaan legislatif.19
Disini penyusun mengalami kegelisahan akademis yang cukup kuat untuk mengangkat pemikiran kedua tokoh ini. Pelaksanaan fatwa Trias Politika Montes-quieu setidaknya sudah melahirkan tiga macam sistem pemerintahan, antara lain sistem pemerintahan kabinet Presidensiil menyerupai di Amerika Serikat; sistem pemerintahan kabinet Parlementer menyerupai di Inggris; dan sistem Referendum se-perti di Swiss. Ketiga sistem pemerintahan tersebut tiruananya berpedoman pada fatwa Trias Politika Montesquieu, spesialuntuk saja hasil penafsirannya yang berma-cam-macam sesuai dengan keadaan sistem ketatguagaraan negara yang bersang-kutan.20 Disini sanggup kita lihat bahwa pemikiran Montesquieu wacana korelasi an-tar forum negara sudah menjadi acuan utama dan sangat kuat bagi sistem pemerintahan nega-ra-negara barat. Yang kemudian menjadi kegelisahan penyusun ialah bagaima-nakah pemikiran Islam terkena korelasi antar forum negara? Apakah prin-sip Montesquieu wacana problem ini disamping paling terkenal juga ialah yang paling ideal? Lalu bagaimana seharusnya perilaku negara-negara muslim terha-dap sistem pemerintahannya sendiri? Apakah juga harus berupa hasil penafsiran dari pemikiran Montesquieu? Atau dari kerangka dasar Al-Qur`an dan As-Sun-nah? Menurut penyusun, kalau dibandingkan dengan tokoh-tokoh politik Islam lain menyerupai Al-Mawardi, Ibnu Abi Rabi`, Al-Farabi, Ibnu Khaldun, ataupun Ibnu Tai-miyah; maka Abul A`la Al-Maududi ialah tokoh yang paling representatif dalam menampilkan problem korelasi antar forum negara dalam kerangka Islam. Al-Maududi ialah tokoh Islam yang paling detail dan rinci dalam mengulas problem korelasi antar forum negara; disamping dia memandangnya sesuai dengan kondisi umat Islam yang paling bersahabat dengan masa sekarang.
Berangkat dari latar belakang ini sangat menarikdanunik untuk dikaji lebih jauh dan mendalam lagi bagaimana gotong royong pemikiran Montesquieu dan al- Maududi terkena korelasi antar forum negara yang selalu menjadi dinamika tiada henti dan wacana hangat bagi sistem politik negara-negara di aneka macam kepingan dunia.
Tag :
Agama Islam
0 Komentar untuk "Hubungan Antar Forum Negara (Kajian Fatwa Montesquieu Dan Al-Maududi) (Ai-17)"