Konsep Otentitas Wahyu Dewa Dalam Hermeneutika Hassan Hanafi (Ai-23)

loading...
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Telah menjadi kesepakatan tak tertulis oleh para intelektual (‘ulama>’) se-dunia, bahwa al-Qur’an diturunkan sekitar lima belas era kemudian di tanah Arab Makkah dari Tuhannya Nabi Muhammad saw. Ia (al-Qur’an) terbukukan (al-tadwi>n) menjadi sebuah kitab resmi umat Islam sekitar tahun 30-an Hijriyyah pada masa Khalifah Usman bin Affan. Dari doloe hingga sekarang, kaum muslimin masih tetap meyakini bahwa al-Qur’an ialah himpunan wahyu Tuhan yang senantiasa memdiberi petunjuk moral. Ia (al-Qur’an) ialah dokumen umat manusia, sekaligus diturunkan dalam konteks kesejarahan dan kebudayaan tertentu. Oleh alasannya itulah, ia dianggap sebagai dokumen historis sekaligus dokumen keagamaan yang suci. Sebagai dokumen historis, lantaran al-Qur’an -dalam setiap pernyataannya- mengacu pada kejadian faktual sesuai dengan konteks sejarahnya dikala ia diturunkan, dan sekaligus pesan yang dikandungnya bersifat transedental -dalam arti- melampui zaman. Sedangkan sebagai dokumen keagamaan, lantaran al-Qur’an senantiasa sanggup memdiberi bimbingan kepada insan dalam hidup dan kehidupan umat. melaluiataubersamaini kata lain, al-Qur’an ialah sumber makna dan nilai hidup. Ia (al-Qur’an) –oleh alasannya itu- selain ialah sumber pemikiran moral, sumber aturan Islam, dan hudan bagi manusia, juga ialah inspirator, pemandu, sekaligus pemadu gerakan dan dinamika umat Islam sepanjang kurang lebih 14 era yang lalu.


Pemahaman terkena kitab al-Qur’an begitu juga dengan kitab lainnya semisal Injil, Taurat, Kitab Perjanjian Lama, dan Kitab Perjanjian Baru, menjadi sangat penting dikala kitab-kitab tersebut -dalam perjalanan sejarah- tidak spesialuntuk menjadi suri tauladan, petunjuk, dan pijakan aturan an sich, namun lebih dari itu wahyu Tuhan juga sudah menjadi inspirator, pemandu, dan sekaligus pemadu terhadap umat di dalam sebuah kehidupan. Pemahaman pertama baik terkena al-Qur’an, Injil, Taurat, Kitab Perjanjian Lama, maupun Kitab Perjanjian Baru –paling tidak- yakni bahwa tiruanannya (wahyu Tuhan yang ada tersebut) –pada pertamanya- dibawa oleh seorang mediator (rasul/nabi).
Rasul maupun nabi –dalam hal ini- berfungsi sebagai mediator pertama yakni mediator yang berada pada tingkat pertama. Posisi tingkatan seorang rasul maupun nabi dalam proses transformasi sebuah wahyu Tuhan ini, menjadi penting lantaran nabi maupun rasul ialah dijadikannya sebagai pelantara komunikasi pertama murni tanpa ada campur tangan dari banyak sekali pihak.

Akan tetapi, keaslian wahyu Tuhan baik yang sudah terdokumentasikan di dalam al-Qur’an, Taurat, Injil, Kitab Perjanjian Lama, maupun Kitab Perjanjian Baru, menjadi disangsikan atau diragukan –dalam perjalanan sejarahnya- dikala banyak dari pelbagai kata yang ada dalam kitab-kitab suci tersebut ada yang hilang. Adanya pelbagi kata yang hilang ini menimbulkan keraguan terhadap keaslian kitab suci. Disangsikan dan diragukan keaslian dari kitab suci inilah nantinya -tak pelak- akan merembet diragukannya hasil dari penafsiran kitab-kitab suci tersebut.

Problem diragukannya keaslian kitab suci ini –ternyata- sudah mengasumsikan terhadap pemahaman terkena kitab suci, yakni bahwa kitab suci yang ada selama ini ternyata mengalami cacat total. Kecacatan ini –dalam pengamatan sejarah- sudah ditemukan dalam kumpulan kitab-kitab suci yang ada remaja ini. Artinya, bila hal ini terjadi, maka keaslian atau otentitas dari sebuah kitab suci sangat disangsikan. Begitu juga wahyu Tuhan yang sudah terdokumentasikan dalam kitab-kitab suci di atas menjadi diragukan dikala teks yang ada dalam wahyu Tuhan (teks yang diturunkan dalam situasi dan budaya tertentu) tidak sama dengan bahasa penutur aslinya. Hal ini dikarenakan sudah terjadi pengalihan dan abolisi yang terjadi di beberapa kitab suci.

Menjadikan referensi dan sumber aturan terhadap kitab-kitab suci tersebut, akan menjadi berbahaya dikala ternyata dalam kitab suci yang ada ditemukan adanya kerancuhan dan banyak sekali kesalahan. Bahaya ini pun akan berdampak pada wilayah penafsiran sebagaimana dikatakan di atas. Artinya, penafsiran yang ada terhadap kitab suci apapun baik al-Qur’an, Taurat, Injil, Kitab Perjanjian Lama, maupun Kitab Perjanjian Baru, akan menjadi sia-sia dikala wilayah wahyu Tuhan yang sudah ditafsirkan, ditemukan adanya beberapa redaksi teks kitab suci yang tiruan.

melaluiataubersamaini adanya ketidakaslian dari wahyu Tuhan yang diakibatkan oleh banyak sekali fajtor sejarah inilah, maka hal tersebut, akan menjadi kendala besar pada wilayah penafsiran selanjutnya. Artinya, bila sudah terperinci ditemukan beberapa indikasi bahwa dalam wahyu Tuhan yang tertulis di dalam beberapa kitab suci agama (al-Qur’an, Taurat, Injil, Kitab Perjanjian Lama dan Baru) ada yang tidak orisinil dan dirancukan dari sejarahnya, maka hasil penafsiran yang sudah ada ialah bentuk penafsiran wacana hal-hal yang tidak orisinil juga.

Ini artinya -konsekuensi dari mengkonsumsi penafsiran-penafsiran yang sudah ada- sangat terperinci akan merugikan banyak umat. Konsekuensinya, dengan mengkonsumsi hasil tafsiran dan pemahaman dari kitab suci yang sudah tidak orisinil tersebut, generasi umat insan dikuatirkan akan terjerumus pada wilayah kesalahan fatal yang begitu dalam.

Oleh lantaran perkiraan inilah, Hassan Hanafi dalam kerangka penafsiran kitab suci menyampaikan bahwa untuk melaksanakan tindakan penafsiran sebuah kitab suci+ perlu (pada mulanya) mengetahui keotentikan sebuah kitab suci terlebih lampau. Hal ini disebabkan lantaran –bagi Hanafi- langkah memahami makna sebuah pesan Tuhan yang terdokumentasikan dalam kitab suci tidak spesialuntuk harus berkutat –sebagaimana remaja ini terjadi- pada wilayah pemaknaan teks redaksinya (Koreksi eidetik) an sich, namun –bagi Hanafi- tindakan memahami pesan Tuhan tersebut perlu disertai dengan adanya tindakan pemahaman mengetahui keotentikan redaksi kitab suci terlebih lampau (yang dalam hal ini disebut oleh Hanafi sebagai Koreksi sejarah, Koreksi historis).

Hal inilah yang menimbulkan penulis -tanpa bermaksud mengupas tuntas mencari jawabanan- berkeinginan untuk mereview dan mengkajinya. Setidaknya hal ini (dalam rangka) berupaya memahami pesan Tuhan secara sempurna sebagaimana yang ditawarkan Hanafi selain mengetahui klarifikasi terkena keaslian sebuah kitab suci.
Tag : Agama Islam
0 Komentar untuk "Konsep Otentitas Wahyu Dewa Dalam Hermeneutika Hassan Hanafi (Ai-23)"

Back To Top