Pengaruh Perbedaan Protokol Induksi Berahi Terhadap Usang Berahi Pada Sapi Perah Di Kabupaten Sinjai (Pt-22)

loading...


Kabupaten Sinjai yaitu salah satu Kabupaten yang berusaha membuatkan sapi perah. Besarnya apresiasi dari pihak birokrasi dan masyarakat serta iklim yang mendukung untuk menimbulkan Kabupaten Sinjai menjadi sentrum pengembangan sapi perah. Pengembangan sektor peternakan di Kabupaten Sinjai menerima perhatian dari pemerintah, terbukti dengan diputuskannya Kabupaten Sinjai dalam aktivitas Gerbang Mas sektor  peternakan.  Kabupaten Sinjai mempunyai iklim dan letak geografis yang menguntungkan. Disamping itu potensi lahan yang luas  untuk pengembangan sektor ini masih luas dan tersedianya pakan yang melimpah yaitu salah satu indikator dipilihnya Kabupaten Sinjai dalam pengembangan aktivitas Gerbang Mas di sektor Peternakan.  Salah satu upaya dalam pengembangan ini yaitu pengembangan sapi perah, penggemukan sapi potong, pengembangan kambing Bour. Dalam pengembangan sapi perah, dimulai pada tahun 2002, yang setiap tahunnya populasinya bertambah, pertamanya spesialuntuk 73 buntut sekarang sudah mencapai 199 buntut (Anonim, 2011a).
Faktor keberhasilan sapi perah salah satunya tergantung pada penampilan reproduksi yang bekerjasama dengan efisiensi reproduksi. Penampilan reproduksi yang baik akan mengatakan nilai efisiensi reproduksi yang tinggi, sedangkan produktifitas yang masih rendah sanggup diakibatkan oleh aneka macam faktor terutama yang berkaitan dengan efisiensi reproduksi. Faktor yang kuat menyerupai belum sempurnanya pakan sehingga menimbulkan penurunan kondisi badan yang berdampak pada  susahnya berahi terdeteksi, atau berahi tapi tidak kasatmata (silent heat), atau ada berahi tetapi tidak terjadi ovulasi. Dalam hal ini sapi bisa bunting, tetapi lalu belum sempurnanya pakan, maka kemungkinan besar akan terjadi keguguran (Putro, 2009).

Lamanya berahi bervariasi pada tiap-tiap binatang dan antara individu dalam satu spesies. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh variasi-variasi sewaktu estrus, terutama pada sapi dengan periode berahinya yang terpendek diantara tiruana ternak mamalia. Berhentinya estrus setelah perkawinan yaitu indikasi yang baik bahwa kebuntingan sudah terjadi. (Achyadi, 2009).
Estrus pada sapi biasanya berlangsung selama 12 – 18 jam atau sekitar 12-24 jam (Putro, 2008). Variasi terlihat antar individu selama siklus estrus. Pada sapi-sapi di lingkungan gerah mempunyai periode estrus yang lebih pendek sekitar 10-12 jam.  Selama atau segera setelah periode estrus ini, terjadilah ovulasi. Ini terjadi dengan penurunan tingkat FSH dalam darah dan penaikan tingkat LH. Sesaat sebelum ovulasi, folikel membesar dan turgid serta ovum mengalami pemasakan. Estrus berakhir kira-kira pada saat  pecahnya folikel ovari atau terjadinya ovulasi (Frandson, 1996).
          Rendahnya efisiensi reproduksi sapi perah diduga lantaran deteksi estrus yang kurang optimal yang disebabkan oleh usang berahi yang pendek, bahkan deteksi estrus yang susah ditemukan lantaran ternak sapi perah diikat dalam sangkar sehingga susah untuk melihat gejala berahi primer pada ternak. Oleh lantaran itu penelitian ini dimaksudkan melihat usang berahi ternak sapi perah dengan protokol induksi berahi yang tidak sama.
          Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek perbedaan protokol induksi berahi terhadap usang berahi pada sapi perah di Kabupaten Sinjai. Dengan demikian penelitian ini sanggup mempunyai kegunaan sebagai materi gosip bagi peneliti, peternak, dan masyarakat umum dalam upaya pengembangan ternak sapi perah terutama aspek reproduksi.




Judul : Pengaruh Perbedaan Protokol Induksi Berahi Terhadap Lama Berahi Pada Sapi Perah Di Kabupaten Sinjai (PT-22)



0 Komentar untuk "Pengaruh Perbedaan Protokol Induksi Berahi Terhadap Usang Berahi Pada Sapi Perah Di Kabupaten Sinjai (Pt-22)"

Back To Top