Relasi Etnik Menjelang Pemilukada Sulawesi Selatan 2013 Di Kota Makassar (Plt-1)

loading...
Indonesia dikenal luas sebagai bangsa yang terdiri dari sekitar 3.000 suku bangsa, setiap suku bangsa mengaku dan diakui mempunyai kawasan territorial sendiri. Pada umumnya, masing-masing suku bangsa mempunyai bahasa yang berlainan dan bisaanya tidak dipahami oleh suku bangsa lain. Dalam antropologi, suku bangsa dikenal dengan isitialh teknis golongan etnis, dan bangsa yang terdiri dari banyak suku bangsa disebut bangsa multietnis. Konsep yang tercakup dalam istilah golongan etnis atau suku bangsa berarti kesatuan-kesatuan insan atau kolektiva-kolektiva yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaan, dan kesadaran-kesadaran iu sering dikuatkan (tetapi tidak selalu) oleh kesatuan bahasa juga.[1]
Kemajemukan Indonesia tergambar dari penduduknya yang berjumlah + 234.893.453 orang dan tersebar di 17.000 pulau, mempunyai karakteristik sebagai negara multietnik yaitu diperkirakan terdapat 931 etnik dengan 731 bahasa. Ada etnis yang besar dan ada yang kecil. Keragaman ini tidak spesialuntuk bentuk fisik melainkan juga sistem religi, hukum, arsitektur, obat-obatan, makanan, dan kesenian orang Indonesia pun tidak sama-beda berdasarkan etnisnya. Indonesia juga ialah sebuah negara yang mempunyai tradisi religi atau agama yang cukup kuat. Ada lima agama besar di Indonesia, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. Dalam beberapa tahun ini, sehabis tahun 1998, Kong Hu Cu juga mulai kembali besar lengan berkuasa di Indonesia. Indonesia menyerupai sebuah taman yang ditumbuhi guaka bunga berwarna-warni.
Berdasarkan ciri-ciri utama biologisnya, umat insan dikelompokkan ke dalam banyak sekali ras. Bila ras tersebut dikaitkan dengan kebudayaan mereka, maka terbentuk kelompok etnik. Oleh sebab itu, dari satu rasa yang sama, sanggup terbentuk banyak sekali etnik. Setiap insan niscaya menjadi masyarakat negara dari salah satu ras dan etnik. Dari latar belakang ras dan etnik pula, suatu masyarakat membentuk tipe kepribadian dasar,  yang selanjutnya menjadi contoh bagi pembentukan kepribadian masyarakatnya.[2]
Menurut Schermerhorn suatu kelompok etnis ialah suatu masyarakat kolektif yang mempunyai atau digambarkan mempunyai kesatuan nenek moyang, mempunyai pengalaman sejarah yang sama di masa lalu, serta mempunyai serius budaya di dalam satu atau beberapa elemen-elemen simbolik yang menyatakan akan keanggotaannya, mirip pola-pola keluarga, ciri-ciri fisik, aliansi agama dan kepercayaan, bentuk-bentuk dialek atau bahasa, afiliasi kesukuan, nasionalitas, atau kombinasi dari sifat-sifat tersebut yang intinya terdapat ikatan antar anggotanya sebagai suatu kelompok.[3]
Kajian tentang etnik sebagai sekelompok insan yang mempunyai kebudayaan sama, berkembang dari ranah biologis menuju ranah kebudayaan dan jadinya bermuara pada ranah politik. Di dalam bangsa atau wilayah yang multi-etnik  akan terjadi pola hubungan  etnik ketika mereka saling kontak atau diberinteraksi. Etnisitas ialah fenomena tersendiri yang muncul dalam interaksi sosial. Etnisitas juga berguaka ragam, tergantung pada jenis kekerabatan yang saling menghipnotis antara individu dan kelompok dengan lingkungan sosial maupun alam mereka.[4]
Lingkungan-lingkungan ini mencakup beberapa aspek kategori etnis dan sistem kekuatan kultur yang mempersembahkan otoritas penting terhadap norma-norma politik, ekonomi, dan sosial. Hal ini tiruana berfungsi dalam hubungan-hubungan etnis, yang pada gilirannya mengarahkan serta membangun norma-norma dan kedudukan, sebagaimana ditentukan atau dihargai oleh para anggota kelompok etnis yang peduli terhadap lingkungan tersebut. Lingkungan-lingkungan tersebut juga memperlihatkan peluang alternatif serta membatasi individu atau kelompok yang berkeinginan untuk mengelola sumberdaya yang tersedia, sekaligus untuk membuat lambang-lambang yang dipakai untuk meraih kedudukan tertentu dalam kekerabatan sosial dan antaretnis.
Suka atau tidak suka, entah dengan alasan teoritis maupun ilmiah, citra tentang perbedaan yang sedang kita alami dalam masyarakat mengungkapkan bahwa insan “dari dasarnya” berasal dari kelompok-kelompok tertentu yang kita sebut kelompok etnik dan kelompok ras. Dari dua kelompok itulah, orang mempunyai sebuah identitas untuk mengemukakan kepada orang lain tentang darimana ia berasal, dari kelompok manakah ras ayah dan ibunya, dari kelompok mana kebudayaan dan peradaban yang sudah membesarkan kehidupan ia sebagai insan sosial.
Indentitas etnik ini yang menggambarkan dan membedakan antara individu atau kelompok dengan individu dan kelompok yang lain, baik secara fisik, karakter, bahasa serta pemikiran. Indentitas ini juga yang menyatukan individu dalam sebuah komunitas etnik. sehingga  kekerabatan etnik dalam kaitannya dengan pemilihan kepala kawasan di suatu tempat akan melahirkan banyak sekali pola kekerabatan diantaranya ialah konflik.  Konflik ialah tanda-tanda sosial yang selalu terdapat di dalam setiap masyarakat dalam kurun waktu. Konflik ialah cuilan yang tidak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat sebab konflik ialah salah satu produk dari kekerabatan sosial (sosial relations). Dalam kekerabatan etnik, konflik lebih ditekankan pada konflik yang berlansung ketika kelompok-kelompok etnik saling kontak. Konflik sanggup diartikan sebagai setiap perperihalan atau perbedaan pendapat antara paling tidak dua orang atau kelompok. Konflik ini dikenal dengan konflik ekspresi atau konflik non-fisik. Bila konflik tersebut tidak sanggup diselesaikan, maka akan meningkat menjadi konflik fisik, yakni dilibatkannya benda-benda fisik dalam perbedaan pendapat.
Masalah konflik antar etnik di indonesia ialah problem yang lebih banyak berafiliasi dengan kebijakan pemerintah, dan bukannya problem sentimen etnik semata antar etnik. Sentimen etnik ini memang simpel ditiup-tiupkan oleh pihak yang hendak mengambil keuntungan, sebab perbedaan etnik relatif menjadi kriteria perbedaan kekuatan ekonomi, dan hingga tingkat tertentu, juga kekuatan politik. Orang atau kelompok yang mempunyai kekuatan politik sanggup mempertukarkan kekuatan politiknya dengan laba ekonomi. Sebaliknya, pihak yang mempunyai kekuatan ekonomi sanggup mempertukarkan kekuatan ekonominya untuk mendapat proteksi dan kegampangan politik. Kerjasama di kalangan kelompok-kelompok dominasi ini terang menguntungkan mereka. Oleh sebab itu etnik  mempunyai tugas yang sangat besar menghipnotis sikap individu.
Dalam konteks ketika ini, demokrasi membuka seluas-luasnya kebebasan untuk berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan berserikat/berorganisasi dan beroposisi, sebab kebebasan ini ialah ialah syarat terselenggaranya pemerintah yang demokratis[5]. Oleh sebab itu, banyak organisasi-organisasi, kelompok-kelompok yang bermunculan di Indonesia baik itu organisasi politik, ekonomi, social, profesi, etnis dan sebagainya.
Kota Makassar sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Selatan ialah kota multi etnik, secara etnik kesukuan ada tiga etnik besar yang mendiami Makassar dan ialah etnis orisinil Sulawesi Selatan yaitu etnik Makassar, etnik Bugis dan Etnik Toraja. Kalau dalam peta Provinsi etnis yang ada di Sulawesi Selatan, terdapat dua etnis besar, yakni etnis Bugis (41.9%) dan etnis Makasar (25.43%). Etnis lain yang cukup menonjol ialah Toraja. Dalam peta geografis, basis tradisional dari etnis Makasar ialah Kabupaten / Kota Makasar, Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, serta Selayar, dan Maros yang campuran.Adapun wilayah orang Bugis di cuilan utara mencakup Kabupaten Bone, Pangkep, Barru, Sinjai, Wajo, Soppeng, Pinrang, Parepare, Bulukumba, serta Enrekang.[6] Selain itu masih banyak kelompok-kelompok etnik lainnya yang disatukan oleh keyakinan, kepercayaan, ideologi, profesi dan lain-lain.
Komunitas atau kelompok-kelompok etnik yang ada di Makassar memperlihatkan kemulti-etnikkan yang ada di kota ini. Setiap komunitas etnik masing-masing memperlihatkan identitas sendiri yang membedakannya dengan komunitas yang lain. Identitas ini baik secara lansung maupun tidak lansung akan mempunyai dampak terhadap sikap individu atau actor dalam politik mirip pemilihan kepala kawasan Sulawesi Selatan.
Salah satu kekerabatan etnik dalam pemilukada Sulawesi Selatan ialah ketika pilkada Sulawesi Selatan tahun 2007 yang kemudian dimana Pegawai Negeri yang beretnis Bugis diarahkan untuk mendukung pasangan calon incumbent Amin Mansyur, sebab Amin Mansyur ialah tokoh Bugis, sebaliknya pegawai beretnis Makassar diarahkan untuk menentukan pasangan Syahrul-Agus.[7] Fenomena  ini  memperlihatkan bahwa identitas etnik itu berperan dalam pemilihan kepala kawasan meskipun ada mobilisasi oleh  masing-masing elit dalam kelompoek etnik tersebut.
Menurut LSI, pemilih di Sulawesi Selatan dalam taraf tertentu masih menempatkan etnisitas sebagai aspek penting. Hal ini dibuktikan dengan hasil survei LSI yang menanyakan Apakah etnis kandidat menjadi pertimbangan pemilih Sulawesi Selatan memperlihatkan bahwa “masyarakat Sulawesi Selatan yang menimbulkan etnik sebagai pertimbangan dalam menentukan kepala kawasan berada pada angka tertinggi yaitu (63,2 %), yang tidak (18,7 %) dan yang tidak tahu berada di posisi terbawah (18,0 %).”[8]
Masyarakat Sulawesi Selatan dalam menentukan pilihan dalam pemilukada yang kemudian juga masih dipengaruhi oleh identitas etnik. Hal  ini terlihat dari peta santunan dari  kandidat gubernur Sulawesi Selatan periode yang lalu,  Amien Syam (Bugis) dan Syahrul Yasin Limpo (Makasar). Di kalangan pemilih etnis Makasar, bunyi untuk Syahrul Yasin Limpo sangat dominan. Sebaliknya, di kalangan pemilih etnis Bugis, bunyi Amien Syam juga mayoritas, meski angka kemenanganya tidak mutlak. Dari hasil rekapitulasi perhitungan bunyi juga terlihat, di kabupaten/kota basis etnis Makasar, umumnya ditandai dengan kemenangan Syahrul Yasin Limpo. Sementara di kabupaten / kota basis etnis Bugis, umumnya ditandai dengan kemenangan Amien Syam.[9] Perbedaan akan santunan ini dipengaruhi oleh lingkungan dan isu-isu etnik.
Saat ini di kota Makassar akan menjelang  pemilihan kepala kawasan tingkat provinsi yaitu pemilukada Sulawesi selatan 2013 menhadir. Pemilukada Sulawesi selatan ini diramaikan oleh putra-putra kawasan Sulawesi selatan. Mereka berasal dari banyak sekali komunitas etnik baik komunitas etnik kesukuan, profesional maupun kepentingan, sehingga masyarakat akan semakin kompleks dalam menentukan santunan dan pilihannya dalam pemilukada Sulawesi Selatan menhadir. Berdasarkan fakta-fakta diatas maka penulis tertarik melaksanakan penelitian terkena “Relasi Etnik Menjelang Pemilukada Sulawesi Selatan 2013 di Kota Makassar

0 Komentar untuk "Relasi Etnik Menjelang Pemilukada Sulawesi Selatan 2013 Di Kota Makassar (Plt-1)"

Back To Top