Upaya Memilih Ukuran Bisnis Antara Pabrik Gula Dan Petani Melalui Perhitungan Rendemen Dengan Metode Faktor Rendemen, Faktor Overall Recovery Dan Faktor Kristal (Prt-1)

loading...
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Gula ialah salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. melaluiataubersamaini luas areal sekitar 350 ribu ha pada periode 2000-2005, industri gula berbasis tebu ialah salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja eksklusif yang terlibat mencapai sekitar 1,3 juta orang. Gula juga ialah salah satu kebutuhan pokok masyarakat dan sumber kalori yang relatif murah. Oleh lantaran itu, maka dinamika harga gula dalam industri gula nasional akan besar lengan berkuasa eksklusif terhadap laju inflasi, peluang kerja dalam distribusi pendapatan serta alokasi sumber daya lahan yang makin kompetitif. Sejarah pernah menunjukkan bahwa Indonesia mengalami kurun kejayaan industri gula pada tahun 1930-an, produktivitas habluh 14,8 ton/ha dan rendemen mencapai 11% - 13,8%. melaluiataubersamaini produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton, ekspor gula pernah mencapai sekitar 2,4 juta ton. Kini, Indonesia ialah salah satu importir gula terbesar di dunia dengan volume impor rata-rata sekitar 1,5 juta ton pada dekade terakhir, (Susila dan Supriono, 2006).

Program akselerasi peningkatan produktivitas gula nasional tahun 2002-2007, diharapkan produksi gula ditargetkan meningkat rata-rata 9,6% per tahun sehingga pada tahun 2007, Indonesia bisa menghasilkan 3,0 juta ton gula (Rini S., 2006).
Penurunan produksi berjalan semenjak diberlakukannya Inpres no. 9 tahun 1975 dan diperparah dengan deregulasi bidang pertanian berupa UU no. 5 tahun 1992 serta Demonopoli BULOG pada tahun 1998, perlu dicegah dengan meningkatkan keunggulan daya saing industri gula (Anonim, 2004).

Produksi gula nasional, luas areal produktivitas lahan, inefisiensi on-farm dan off-farm, pergeseran areal ke lahan marginal, kebijakan pergulaan nasional dan perdagangan pasar inernasional yang sangat distorsif ialah kemelut permasalahan industri gula di Indonesia. Berbagai alternatif solusi bersifat komprehensif dan menyeluruh yang sanggup melindungi tiruana pihak, terasa masih jauh dari impian padahal kurun liberalisasi perdagangan sungguh mustahil ditolak. Kalangan fabrikan dan petani tebu bukannya tidak menyadari kalau kunci utama penyelesaian kemelut itu yakni peningkatkan produktivitas, harga pokok produksi (HPP) rendah tanpa batas. Persoalannya, mengapa produktivitas yang berdaya saing tidak kunjung terjawaban, lamban, cenderung jalan di tempat? (Adig Suwandi, 2003).

Peningkatan produktivitas gula sanggup dilaksanakan dengan meningkatkan hasil bobot tebu dan meningkatkan rendemen. Diantara kedua metode tersebut, meningkatkan rendemen memiliki nilai keunggulan lantaran tidak perlu meningkatkan kapasitas giling, dan efisiensi biaya tebas angkut serta biaya prosesing gula (Anonymous, 2004).

Sesuai Surat Edaran (SE) Meneg BUMN wacana Gerakan Peningkatan Rendemen Tebu, diilustrasikan bila rendemen berhasil naik 1% saja di tahun 2006, produksi gula nasional akan mengalami kenaikan 310.000 ton. Artinya jikalau produksi gula nasional ketika ini 2,24 juta ton ditambah 310.000 maka jumlah produksi gula nasional sudah mencapai 2,55 ton. Industri gula nasional sudah berdiri (Agus Pakpahan, 2006).

Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 45 tahun 2006 wacana Petunjuk Teknis Peningkatan Rendemen Tebu di Jawa Timur, ialah langkah lanjutan atas keberhasilan jadwal akselerasi peningkatan produktivitas gula di Jawa Timur yang sudah bisa meningkatkan areal, produksi namun belum diikuti peningkatan rendemen yang memadai.

Paradigma petani tebu rakyat, bobot sudah usang menjadi orientasi dan tolok ukur pendapatan produksi. Transfer teknologi budidaya terhambat jawaban tidak dirasakan adanya perbedaan nilai tambah secara signifikan dari penerapan teknologi budidaya yang benar. Bisnis pembelian tebu serta bobot pada petani daun semakin rindang mengakibatkan orientasi pemeliharaan dengan terbaikisasi pemupukan Nitrogen.

Salah satu kendala ketidakpercayaan petani kepada pabrik gula yakni perhitungan rendemen atas pasok tebu rakyat. Belajar dari pengalaman hancurnya banyak perjuangan bisnis disebabkan lantaran tidak adanya keyakinan (trust); kehormatan (respect), kebenaran menyatakan apa adanya (candor), maka kesentidakboleh hubungan petani tebu dan pabrik gula atas evaluasi rendemen harus menerima perhatian fokus (Anonymous, 2004).

Agar jadwal peningkatan rendemen sanggup terlaksana, maka diharapkan perubahan sistem yang menghargai prestasi petani secara individual maupun pabrik gula. Untuk itu perlu dikaji formula yang sanggup menilai mutu (rendemen) materi baku tebu dan efisiensi pabrik secara lebih akurat, sehingga hubungan bisnis dan kemitraan petani - pabrik gula terjalin dengan aman (Anonymous, 2004)

Beberapa metode perhitungan rendemen tebu antara lain memakai faktor rendemen, Faktor Overal Recovery, dan Factor Eksternal. Saat ini yang umum dilakukan yakni memakai faktor rendemen.

Rendemen ialah tema tertinggi dalam produktivitas dan berskala ekonomi bagi pelaku bisnis industri gula, maka ketepatan perhitungan rendemen sesuatu hal yang mendesak, sehingga keyakinan antara pabrik gula dan petani sebagai kawan bisnis terbangun. Dari metode-metode perhitungan rendemen tersebut, apakah didapatkan hasil rendemen yang tidak sama?. Dan metode manakah yang lebih bisa diterima oleh tiruana pelaku bisnis tebu (stakeholder) dipandang dari skala bisnis?


Tag : Pertanian
0 Komentar untuk "Upaya Memilih Ukuran Bisnis Antara Pabrik Gula Dan Petani Melalui Perhitungan Rendemen Dengan Metode Faktor Rendemen, Faktor Overall Recovery Dan Faktor Kristal (Prt-1)"

Back To Top