loading...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Demokrasi Terpimpin ( guided democracy ) ialah suatu fase politik dan realitas ketatguagaraan dalam perjalanan sejarah negeri ini. Sebuah eksperimentasi sistem politik yang pernah dilakukan oleh tokoh dan pemimpin bangsa ini. Terlaksana secara formal antara tahun 1959-1965, atau tepatnya semenjak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga gagalnya perebutan kekuasaan 30 September ( G 30 S ) 1965. Suatu masa yang tidak lebih usang dari masa Demokrasi Parlementer yang sebelumnya pernah dijalankan di Indonesia.
Demokrasi Terpimpin muncul alasannya ketidaksenangan sebagian dari masyarakat politik di Indonesia terhadap sistem demokrasi parlementer. Adalah Soekarno yang menggagas Demokrasi Terpimpin. Seorang presiden yang spesialuntuk berposisi sebagai kepala negara, sebuah jabatan simbolik dan seremonial, di masa demokrasi parlementer.
Ia mengemukakan gagasannya ini dengan mengajak untuk menguburkan partai-partai politik pada 28 Oktober 1956. Sistem kepartaian yang dianut di Indonesia dikala itu dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan, sehingga tidak bisa menuntaskan duduk masalah nasional. “Demokrasi Liberal”, demikianlah Soekarno menyebutnya, mengizinkan pemaksaan lebih banyak didominasi oleh minoritas, dan itu tidak sesuai dengan sifat orang Indonesia.
melaluiataubersamaini terinspirasi oleh model pengambilan keputusan di pedesaan, di mana setiap ada pihak yang belum yakin terhadap satu usul, maka musyawarah tetap akan dijalankan hingga dicapai kata mufakat. Tidak ada pemaksaan, tidak ada vooting. Keputusan-keputusan diambil setelah pertimbangan-pertimbangan yang usang dan cermat dengan seorang pimpinan. Tata cara musyawarah mufakat yang khas Indonesia ini bersama dengan kepemimpinan, memungkinkan tiruana pendapat dipertimbangkan dengan menenggang perasaan minoritas ; dan ini seharusnya menjadi model untuk bangsa Indonesia. Demokrasi liberal didasarkan kepada perperihalan – tata kerja musyawarah-untuk-mufakat meningkatkan kerukunan.
Dalam prakteknya, Soekarno menginginkan terbentuknya Kabinet Gotong-Royong yang terdiri dari empat partai besar pemenang pemilu yang dianggapnya sebagai manifestasi dewan legislatif . Empat partai dimaksud ialah PNI, mewakili golongan nasionalis, NU, mewakili muslim tradisionalis, Masyumi, mewakili muslim modernis, dan PKI, mewakili kaum komunis. Selain itu, perlu dibuat suatu forum yang disebut Dewan Nasional yang terdiri dari wakil-wakil golongan karya, ibarat buruh, petani, ulama dan sebagainya yang dipimpin oleh Soekarno yang bertugas menyusun arah kebijakan politik negara. Dewan ini dalam pandangan Soekarno ialah cerminan dari seluruh rakyat Indonesia
Gagasan ini disampaikan Soekarno seiring situasi politik nasional yang mulai memanas. Kabinet yang dikala itu sedang menjalankan pemerintahan ialah kabinet Ali Sastroamijoyo II. Masalah terbesar yang mereka hadapi ialah semakin berkembangnya krisis politik di aneka macam daerah. Ketidakpuasan beberapa tempat di luar Jawa atas aneka macam kebijakan politik pemerintah sentra sudah dirasakan semenjak pertama tahun 1950-an dan jadinya mencapai puncaknya pada 1956.
Aksi Kudeta di Sumatera menjadi penyebab timbulnya perpecahan dalam Kabinet Ali. NU dan PNI menentang segala bentuk perubahan dalam pemerintahan, sedangkan Masyumi dan Perti, dua partai yang banyak mempunyai pengikut di Sumatera, mendukung pembentukan kabinet gres di bawah pimpinan Hatta. Masyumi dan Perti secara berturut-turut memutuskan untuk mengundurkan diri dari tiruana jabatan menteri pada tanggal 9 dan 15 Januari 1957. Pada tahun 1958 beberapa tokoh Masyumi dan PSI terlibat dengan panglima-panglima militer tempat dalam pendirian PRRI/ Parmesta. Tak ayal lagi ini ialah pemberontakan yang terjadi di tengah carut-marut pertikaian politik.
Terjadinya krisis dalam kabinet dan kekecewaan masyarakat yang semakin mendalam terhadap partai-partai politik semakin meningkatkan sumbangan terhadap mereka yang mengusulkan dilakukan perubahan politik secara menyeluruh untuk mengatasi aneka macam duduk masalah nasional. Reformasi politik secara menyeluruh inilah yang diajukan oleh Soekarno dan militer. Meskipun terdapat perbedaan fundamental antara Soekarno dan militer, namun keduanya sama-sama menginginkan semoga kekuatan dialihkan dari tangan partai-partai politik dan dewan legislatif ke forum eksekutif. Usulan yang mereka ejekan ini terang bertujuan untuk memperluas kiprah politik mereka sendiri.
Akhirnya setelah aneka macam dinamika yang terjadi, kekuatan pendukung sistem gres ini terkonsolidasikan dengan baik dan mendapatkan kemenangan dengan “peresmiannya” dalam satu dekrit. Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 menandai kemenangan perebutan kekuasaan ini oleh koalisi Soekarno-Militer. Dekrit ini berhasil pula “menyelesaikan” beberapa duduk masalah yang selama ini melanda. (Pertama),*menyelesaikan perdebatan alot dan melelahkan terkena dasar negara dengan “kembali ke Undang-Undang Dasar 1945” yang berarti Indonesia bukan negara agama, (kedua) mengalihkan kekuasaan dari dewan legislatif kepada direktur yang berarti mempersembahkan legitimasi pada kekuasaan Soekarno, dan (ketiga) membubarkan Majelis Konstituante. Konstelasi politik pun berubah: Partai-partai politik sudah kehilangan kekuatan yang pernah mereka miliki semasa demokrasi parlementer.
Penguasa melanjutkan gebrakannya dengan melaksanakan penyederhanaan partai politik dan pembubaran dewan legislatif usang hasil pemilu dan pembentukan dewan legislatif gres (DPR-GR) dengan cara penunjukan atau pengangkatan. Parlemen tidak lagi punya hak interpelasi, pers diberangus, tokoh-tokoh politik oposisi dipenjarakan, tulisan-tulisan kritis dihentikan beredar, dan sebagainya. Sebuah cara yang tidak demokratis bagi sistem politik yang menyebut diri Demokrasi. Tetapi, alasan yang dikemukakan ialah bahwa Demokrasi Terpimpin ialah demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Segala bentuk demokrasi liberal kemudian digusur, dicap Barat dan dimusuhi hingga menjadi tidak terkenal dan partai-partai tak bisa berbuat banyak.
Hanya dua hal yang menjadi pilihan bagi partai-partai politik dikala itu: mendapatkan Demokrasi Terpimpin dan mau bekerja sama dengan elemen-elemen di dalamnya atau menolak dan terlempar dari percaturan politik secara menyakitkan. PNI, NU, (apalagi) PKI dan beberapa partai kecil lainnya menentukan yang pertama sehingga mereka “diperbolehkan” terus terlibat di arena politik. Sementara pimpinan Masyumi dan PSI menolaknya dan mereka harus mendapatkan kenyataan partainya dibubarkan dan banyak di antara anggotanya yang ditangkap.
NU yang diketuai Idham mendapatkan Demokrasi Terpimpin terutama alasannya alasan politis, yakni mempertahankan posisi NU di tengah percaturan politik nasional. Para pemimpin NU di masa ini menganggap politik ialah masukana utama untuk mewujudkan kepentingan keagamaan dan melayani ummat. Kehilangan tempat di peta politik berarti NU tak bisa mencapai tujuannya, baik sebagai organisasi keagamaan maupun partai politik. Selama masa transisi hingga pelaksanaan Demokrasi Terpimpin partai ini banyak memakai politik kemudahan sebagai strategi.
Selain alasannya pertimbangan-pertimbangan politis, para pemimpin NU menyatakan kewajiban amr ma’ruf nahi mungkar lebih mungkin dilakukan bila berada di dalam sistem. Kesempatan untuk menghipnotis kebijakan pemerintah lebih besar jikalau NU masih diperhitungkan sebagai sebuah kekuatan politik.
Pertimbangan keagamaan lainnya berasal dari Idham Chalid. Dia menyatakan bahwa Demokrasi Terpimpin yang menonjolkan musyawarah mufakat sejalan dengan syu>ra dalam Islam. Idham beropini bahwa “perperihalan” di antara partai-partai politik yang sangat khas di periode Parlementer tidak diajarkan dalam Islam. Islam tidak mengajarkan perperihalan melainkan mengatakan syu>ra (musyawarah) untuk memecahkan masalah. Kata syu>ra sendiri berarti musyawarah atau dengar pendapat. Seorang pemimpin harus selalu bermusyawarah dengan para mahir (ahl hall wa al aqd) sebelum mengambil keputusan. Di dalam syu>ra yang diperlukan ialah munculnya pendapat-pendapat yang lebih sempurna untuk menuntaskan masalah. Selain itu, diperlukan munculnya solidaritas dari masyarakat yang mencerminkan rasa tanggung balasan bersama. melaluiataubersamaini demikian tidak akan terjadi perdebatan untuk saling mengalahkan. Lagi pula, jikalau pendapat yang beredar dianggap tidak tepat, seorang pemimpin boleh saja memutuskan lain asalkan tindakannya itu dilandasi rasa tanggung jawaban.
Pemikiran Idham ini tidak sama dengan rekan-rekannya dari Partai Masyumi. Mereka menolak gagasan Demokrasi Terpimpin alasannya menganggapnya sebagai sistem yang tidak demokratis. Hamka, seorang tokoh Masyumi misalnya, menyatakan bahwa Demokrasi Terpimpin spesialuntuklah namanya pada lahirnya. Adapun hakikatnya ialah demokrasi funksionil dengan tujuan membulatkan kekuasaan kepada Presiden. “Dalam cara berfikir yang logis, apabila kekuasaan seluruhnya sudah berkumpul ke dalam satu tangan, atau total ke dalam satu tangan bernamalah beliau “totaliter”, ujarnya.
Sejalan dengan aliran tersebut, Hatta juga mengKoreksi keras tindakan-tindakan Soekarno sebagai “tidak konstitusional” bahkan ialah “coup d’etat”. “Demokrasi Terpimpin Soekarno”, ujar mantan wakil presiden itu, “mendjadi suatu DIKTATUR jang didukung oleh golongan-golongan tertentu.”
Pemikiran Idham wacana syu>ra yang dianggapnya sejalan dengan Demokrasi Terpimpin inilah yang menarikdanunik untuk dicermati. Bukan saja alasannya fungsi legitimasinya, tetapi terutama alasannya sebelumnya belum ada yang membicarakan syu>ra dalam konteks ibarat ini. Bila sebelumnya kaum intelektual muslim membicarakan syu>ra dalam persinggungannya dengan konsep demokrasi Barat (baca: liberal), maka Idham menelaahnya dalam konteks Demokrasi Terpimpin yang khas Indonesia. Artinya, realitas politik Indonesia periode Demokrasi Terpimpin sudah membuat Idham memahami konsep syu>ra dari sisi yang lain dari biasanya.
Tag :
Agama Islam
0 Komentar untuk "Diskursus Aliran Politik Islam Di Indonesia: Studi Aliran M. Natsir Dan Abdurrahman Wahid Ihwal Korelasi Islam Dan Negara (Ai-15)"