Konsep Kafaah Berdasarkan Kgpaa Mangkunegara Iv (Ai-20)

loading...
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam Islam, problem nikah ialah salah satu problem penting yang diatur dalam aneka macam ajarannya. Al-Qur’an dan As-Sunah, dua sumber utama anutan islam, banyak berbicara wacana problem ini. Secara lebih sistematis dan komprehensif, tema ini dipaparkan di dalam kitab-kitab fiqih dari aneka macam mazhab. Dan dalam pandangan Jawa, kekerabatan seks juga sangat ditabukan dan spesialuntuk boleh dilakukan dikala dalam forum perkawinan. Hal ini dianut dan menjadi pandangan umum masyarakat Jawa.


Salah satu problem yang terkait dengan problem nikah ialah problem kafa’ah, yakni kesejajaran, kesetaraan, kesepadanan, atau kesederajatan antara pihak calon suami dan pihak istri dalam faktor-faktor tertentu. Persoalan kafa’ah ini menjadi penting di dalam pembahasan wacana nikah, alasannya ialah fuqaha sudah setuju bahwa kafa’ah ialah hak bagi calon istri dan walinya. Maksudnya, calon istri berhak menolak atau menggagalkan janji nikah yang akan atau sudah dilakukan oleh walinya, apabila dia menilai calon suami yang dipilihkan oleh walinya tidak sekufu’ dengannya. Demikian pula sebaliknya, wali berhak menolak atau menggagalkan janji nikah yang akan atau sudah dilangsungkan di hadapan wali hakim oleh calon istri apabila calon suami dinilainya tidak sekufu’ dengan perempuan yang berada di bawah perwaliannya itu.

Di kalangan fuqaha, terdapat perbedaan pendapat terkena konsep kafa’ah ini, terutama wacana faktor-faktor yang diperhitungkan dalam menentukan kesekufu’an seseorang. Menurut Mazhab Hanafi, faktor keberagamaan, keturunan, profesi dan kemerdekaan menentukan kesepadanan itu, sementara berdasarkan Mazhab Maliki, spesialuntuk faktor keberagamaan yang diperhitungkan dalam menentukan konsep kesepadanan. Dalam pandangan Mazhab Syafi’i faktor keberagamaan, profesi, dan kekayaan menjadi faktor yang diperhitungkan dalam menentukan kesepadanan seseorang. Adapun berdasarkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Buku I. Hukum perkawinan Bab IV Pasal 23 Ayat (1) dan (2), apabila wali nasab enggan atau tidask bewrsedia menjadi wali, maka wali hakim bisa bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan dari Peradilan Agama. Dan pada Bab X pasal 61 ditetapkan bahwa tidak sekufu’ tidak sanggup dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu’ alasannya ialah perbedaan agama (ikhtilaf ad-din).

Dalam pandangan masyarakat Jawa sendiri, kekerabatan seks sangat ditabukan dan spesialuntuk bisa dilakukan dalam forum perkawinan. Itulah mengapa perkawinan menjadi sangat penting bagi fase kehidupan masyarakat Jawa. Perkawinan ditempatkan sebagai fase penting sama dengan sebuah kelahiran dan kematian. Adagium yang menyampaikan bahwa hidup itu ialah lahir, kawin dan mati begitu populer dalam masyarakat Jawa.
Dalam memahami pandangan hidup suatu masyarakat, kita bisa mempelajarinya melalui catatan-catatan yang ditinggalkan oleh masyarakat tersebut pada jaman lampau. Catatan itu bisa bersifat goresan pena atau pun dari tradisi yang berkembang pada masyarakat. Jawa era 19 juga menemukan sebuah cara perlawanan terhadap penjajahan yang betul-betul lahir dari pandangan hidup dan filsafat orang jawa yang kemudian membentuk sosok “Jawa” yang orisinil, yaitu melalui perhelatan perkawinan kerajaan.
Sementara itu, literatur-literatur sastra jawa tidak banyak yang mengulas masalah nikah secara umum dan kafa’ah secara khusus. Hal ini sesuai dengan tipologi kepustakaan yang berkembang di Jawa yaitu perpustakaan islam kejawen, di mana di samping memakai bahasa Jawa, juga sangat sedikit mengungkapkan aspek syari’at atau bahkan kurang menghargai aspek syari’at, dalam arti yang berkaitan dengan hukum-hukum lahir agama islam.

Dari yang sedikit ini, sanggup dikemukakan salah satunya ialah Serat Piwulang Warni-warni karya KGPAA Mangkunegara IV. Serat Piwulang tersebut ialah salah satu genre sastra klasik yang mengandung nilai didaktis pedagogis. Dari segi tahunnya, Serat Piwulang termasuk ke dalam jaman Madya. Piwulang diubah menjadi sebagian pendidikan dan penerapan waktu senggang kepada para pangeran keluarga sentana (keluarga kerajaan). Dari sisi pengarangnya, Serat Piwulang Warni-Warni dikarang oleh Mangkunegara IV yang mempunyai keahlian dalam aneka macam segi. Diantaranya ialah keahliannya dalam segi militer, ekonomi, sastra budaya, dan keagamaan. Keahliannya memerintah wilayah Mangkunegaran, menimbulkan kerajaan tersebut bisa beradaptasi dengan keadaan gres pada masa kekuasaan kerajaan Belanda dan ialah satu-satunya istana yang tradisi militer aristokrat Jawa masih tetap hidup meskipun di bawah kekuasaan Belanda. Dalam bidang ilmu keagamaan, ia pernah berguru ilmu agama secara fokus pada seorang ulama alasannya ialah kegelisahan hatinya mengingat kepada kehidupan setelah mati. Dan berhentinya ia dari menuntut ilmu agama tersebut lebih dikarenakan tuntutan panggilan kiprah kerajaan, di mana pada waktu tesebut ia dalam posisi yang sangat bimbang antara meneruskan menuntut ilmu ataukah mengikuti panggilan kerajaan.
Dalam salah satu Serat Piwulang Warni-Warni tepatnya pada Serat Warayagnya pupuh dhandhanggula disebutkan :

“Mula nora praktis wong arabi, kudu milih wanadya kang utama, ginawe rewang uripe, masukana ngudi tuwuh, myang ngupaya sandang bukti, wewilanggua ana, catur upayeku, yogygua kawikana, dhingin bobot, pindho bebet, katri bibit, kaping pat tatariman”.

Terjamah:
Karena itu tidak praktis orang berkeluarga, harus menentukan sesorang yang sanggup diajak berhubungan dalam suka maupun duka, dengan mengupayakan apa yang menjadi ciri utama yang terdiri dari keempat ciri yang sebaiknya diperhatikan pertama berkarakter baik, kedua berdarah mulia, ketiga sanggup berketurunan, keempat bersifat menerima.

Dan dalam bait selanjutnya ia mengatakan:
“Papat iku iya uga kanti, dhingin warna kapindhone brana, kaping tri kawibawgua, catur pambekanipun, endi kang sira senengi, aja ngawang, menawa kaduwung, karana milih wanadya, datan kena den mupakataken sasami, wuruk neng karsanira”.

Terjemah:
Keempat itu juga harus ada, pertama kecantikannya, kedua hartanya, ketiga kewibawaanya dan keempat prilakunya. Mana-mana yang engkau senangi, tidakboleh hingga salah pilih, alasannya ialah akan menyesal. Karena menentukan seorang perempuan itu tanpa dimusyawarahkan, tergantung pada kehendakmu.

Dari kedua bait tersebut sanggup diambil dasar menentukan pasangan hidup yaitu bobot (berkarakter baik), bebet (berdarah mulia), bibit (dari keturunan yang baik) , tatariman (bersifat menerima), warna (kecantikan), brana (harta), wibawa (kewibawaan), dan pambeka (prilaku). Hal tersebut menunjukan bahwa proses janji nikah sudah jauh hari harus diperhitungkan oleh seseorang yang akan berkeluarga, mulai dari proses memilah dan menentukan pasangan hidupnya. Sedangkan dalam Islam Nabi SAW sudah pernah bersabda:
تنكح المرأ ة لأربع : لمالها ولحسبها ولجمالها ولد ينها فاظفر بذا ت الدين تربت يدا ك


Addin diletakkan sebagai prasyarat utama dalam Islam sebelum menginjak pada prasyarat yang lain. Sedangkan dalam Serat Warayagnya tidak disebutkan secara eksplisit dan berbarengan dengan sarat yang lain. Dilihat dari pernyataan-pernyataan di atas, sepertinya penulis mempunyai kecenderungan untuk mendasarkan kafa’ah pada latar belakang dan status sosial.

Tag : Agama Islam
0 Komentar untuk "Konsep Kafaah Berdasarkan Kgpaa Mangkunegara Iv (Ai-20)"

Back To Top