loading...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan kini ini keberadaan perempuan tuna susila atau sering disebut PSK ialah fenomena yang tidak abnormal lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, akan tetapi keberadaan tersebut ternyata masih mengakibatkan pro dan kontra dalam masyarakat. Pertanyaan apakah Pekerja Seks Komersial (PSK) termasuk kaum yang tersingkirkan atau kaum yang terhina, hal tersebut mungkin hingga kini belum ada jawabanan yang dirasa sanggup mengakomodasi konsep pekerja seks komersial itu sendiri. Hal ini sebagaian besar disebabkan lantaran mereka tidak sanggup menanggung biaya hidup yang kini ini tiruananya serba mahal.
Prostitusi di sini bukanlah semata-mata ialah tanda-tanda pelanggaran budpekerti tetapi ialah suatu kegiatan perdagangan. Kegiatan prostitusi ini berlangsung cukup lama, hal ini mungkin di sebabkan lantaran dalam prakteknya kegiatan tersebut berlangsung lantaran banyaknya ajakan dari konsumen terhadap jasa pelayanan kegiatan seksual tersebut oleh lantaran itu semakin banyak pula tingkat penawaran yang di tawarkan.
Di negara-negara lain istilah prostitusi dianggap mengandung pengertian yang negatif. Di Indonesia, para pelakunya didiberi sebutan Pekerja Seks Komersial. Ini artinya bahwa para perempuan itu yakni orang yang tidak bermoral lantaran melaksanakan suatu pekerjaan yang berperihalan dengan nilai-nilai kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Karena pandangan semacam ini, para pekerja seks mendapatkan cap jelek (stigma) sebagai orang yang kotor, hina, dan tidak bermartabat. Tetapi orang-orang yang mempekerjakan mereka dan mendapatkan laba besar dari kegiatan ini tidak mendapatkan cap demikian. (6 Maret 2007 dari http://www.pikiran rakyat.com/)
Jika dilihat dari pandangan yang lebih luas. Kita akan mengetahui bahwa sesungguhnya yang dilakukan pekerja seks yakni suatu kegiatan yang melibatkan tidak spesialuntuk si perempuan yang mempersembahkan pelayanan seksual dengan mendapatkan imbalan berupa uang. Tetapi ini yakni suatu kegiatan perdagangan yang melibatkan banyak pihak. Jaenteng perdangan ini juga membentang dalam wilayah yang luas, yang adakala tidak spesialuntuk di dalam satu negara tetapi beberapa negara.
Oleh lantaran itu perlu diakui bahwa eksploitasi seksual, pelacuran dan perdagangan insan tiruananya yakni tindakan kekerasan terhadap perempuan dan karenanya ialah pelanggaran martabat perempuan dan juga ialah pelanggaran berat hak asasi manusia. Jumlah perempuan pekerja seks meningkat secara dramatis di seluruh dunia lantaran sejumlah alasan ekonomis, sosial dan kultural.
Dalam kasus-kasus tertentu perempuan yang terlibat sudah mengalami kekerasan patologis atau kejahatan seksual semenjak masa anak. Lain-lainnya terjeremus ke dalam pelacuran guna menerima nafkah yang mencukupi untuk diri sendiri atau keluarganya. Beberapa mencari sosok ayah atau korelasi cinta dengan seorang pria. Lain-lainnya mencoba melunasi utang yang tak masuk akal. Beberapa meninggalkan keadaan kemiskinan di negeri asalnya, dalam kepercayaan bahwa pekerjaan yang ditawarkan akan mengubah hidup mereka. Jelaslah bahwa eksploitasi perempuan yang meresapi seluruh dunia yakni konsekuensi dari banyak sistem yang tidak adil. Banyak perempuan yang berperan sebagai pekerja seks dalam dunia pertama hadir dari dunia kedua, ketiga dan keempat. Di Indonesia dan di tempat lain banyak dari mereka diperdagangkan dari negeri lain untuk melayani ajakan jumlah pelanggan yang meningkat. (Yangcheng Evening News, 15 Desember 2003 diambil dari http://www.kompas.co.id/).
"Sebaiknya tidak perlu ada aturan yang melarang acara prostitusi lantaran akan ada seseorang dipersalahkan lantaran acara tersebut. Dan ini menjadi tidak adil dalam konteks di mana prostitusi yakni pelibatan dua orang lawan jenis untuk sebuah kesenangan seksual.” (Dr Li Yinhe, sosiolog dan peneliti bidang sikap seksual dari Cina, dikala ia memberikan ceramah berjudul A Criticism of Laws Governing Sexual Behavior in Contemporary China dalam simposium di He Xiangning Art Gallery, Shenzhen, Cina, bulan Desember 2003 kemudian (Yangcheng Evening News, 15 Desember 2003 diambil dari http://www.kompas.co.id/).
Pandangan Dr Li itu mungkin sanggup mengakibatkan perdebatan apabila dilontarkan di Indonesia lantaran masyarakat kita niscaya menolak pandangan menyerupai itu. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan, sekalipun praktik prostitusi secara aturan dan agama tidak boleh di Indonesia, kegiatan prostitusi bawah tanah tetap saja marak di kota-kota besar di Indonesia. Walaupun di Indonesia tidak ada undang-undang yang melarang praktek prostitusi, ada beberapa peraturan perundangan dan regulasi pemerintah yang menyentuh acara seksual atas dasar akad bersama, atau lebih terkenal disebut seks komersial. Sejumlah pemerintah tempat mempunyai peraturan tempat yang melarang pendirian lokalisasi. melaluiataubersamaini dasar aturan ini, acara seksual atas dasar akad bersama di antara dua orang atau lebih dalam sebuah tempat yang bersifat pribadi atau "dipersiapkan" sanggup dikategorikan sebagai tindakan kriminal. Definisi ini bergotong-royong sudah ketinggalan zaman. Ketentuan yang didasarkan pada definisi ini seharusnya sudah dieliminasi. Berdasarkan prinsip universal ihwal hak asasi manusia, bergotong-royong setiap orang cukup umur mempunyai hak melaksanakan apa saja yang dianggap "sangat bahagia" bagi tubuh mereka.
Untuk yang pertama kalinya terjadi, seorang kepala dinas tenaga kerja mengkritisi sebutan pekerja seks komersial bagi para pelacur. Ini diungkapkan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Sukabumi Drs. H. Karmas Supermas, M.M. Karmas merasa keberatan dengan istilah pekerja seks komersial lantaran mengandung sebuah konsekuensi yang berat dilihat dari kacamata ketenagakerjaan. Pasalnya, di satu sisi perempuan yang berprofesi sebagai pelacur disebut "pekerja", tetapi di sisi lain "pekerja" itu tidak pernah menerima perlindungan, bahkan selalu diobrak-abrik. Menurut Karmas, selama ini masalah PSK belum dipandang secara komprehensif, menyeluruh, dan sistematik, terutama dalam penanganannya. Bahkan, sangat ironis dan dilematis, terutama antara masalah yang ada dengan sistem penanganannya. "Kalau kita cermati istilah pekerja seks, di satu sisi disebut sebagai pekerja. Tetapi, di sisi lain tidak boleh melaksanakan pekerjaan tersebut," terang Karmas. Lebih jauh Karmas mengajak masyarakat sekitar untuk bantu-membantu mencermati keterkaitan antara pekerja seks, ketenagakerjaan, gender, moralitas bangsa, dan hak asasi insan dari sudut ketenagakerjaan, sesuai dengan UU No.13 Tahun 2003. Pengertian pekerja atau buruh, terang Karmas, yaitu setiap orang yang bekerja dengan mendapatkan upah atau imbalan dalam bentuk lain. Namun, bukan untuk orang-orang yang berprofesi sebagai pelacur atau pekerja seks komersial. Kata "pekerja" sudah sanggup dipastikan ada hubungannya dengan lapangan pekerjaan serta orang atau tubuh aturan yang mempekerjakan dengan standar upah yang dibayarkan. Kemudian, lapangan pekerjaan yang diperbolehkan harus memenuhi syarat-syarat kerja secara normatif yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, termasuk sistem pengupahan dan keselamatan kesehatan kerja. Untuk selanjutnya, jenis pekerjaan tidak boleh berperihalan dengan moralitas bangsa atau agama yang diakui pemerintah. "Seks, tidak termasuk kelompok suatu jenis jabatan maupun pekerjaan. Jadi, tidak sempurna kalau istilah pekerja seks komersial itu ditujukan bagi para perempuan tuna susila atau pelacur. Istilah pekrja seks tampaknya ialah sebuah pemolesan bahasa yang sanggup berakibat kepada pembenaran terhadap perbuatan amoral tersebut," kata Karmas. Oleh lantaran itu, Karmas mengusulkan kepada pemerintah atau siapa pun orang yang pertama kali mengganti istilah pelacur dengan WTS biar tidak memakai lagi istilah pekerja seks lantaran tidak menutup kemungkinan akan menjadi preseden jelek di kalangan pekerja "asli" atau buruh yang ada di Indonesia, bahkan tidak menutup kemungkinan merusak gambaran pekerja pada umumnya. (6 Maret 2007 dari http://www.pikiran rakyat.com/)
Dalam masyarakat, kehidupan seorang pekerja seks komersial ialah suatu hal yang kurang sanggup diterima. Sampai kini PSK dipandang sebagai mahluk yang menyandang stereotype negatif, dan tidak dianggap pantas menjadi kepingan dari masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, kaum PSK selalu menerima tekanan dari masyarakat, bahkan menjadi materi olokan dan ejekan. Tekanan dan perlakuan negatif dari lingkungan ini biasanya muncul dari sikap masyarakat yang selalu ingin memojokkan mereka.
Pandangan masyarakat ini spesialuntuk dikhususkan kepada para perempuan pekerja seks komersial yang menjalani pekerjaan ini lantaran murni tanggapan tekanan ekonomi. Kesan pertama akan perempuan pekerja seks ini yakni para perempuan jalang yang amoral. Tidak tahu malu, penggoda lelaki. Tidak layak bagi para perempuan pekeja seks untuk dihargai. Kenapa masyarakat sanggup mempunyai kesan menyerupai itu, lantaran semenjak kecil ditanamkan oleh orang-orang bau tanah bahwa perempuan pekerja seks menyebutnya pelacur, yakni perempuan yang tidak benar kelakuannya. Apalagi digambarkan para pekerja seks Komersial (PSK) tersebut kehidupannya glamour tetapi norak. Juga ditunjukkan jenis parfum yang di botolnya bergambar putri duyung, yang namanya minyak si nyong nyong, yang pakai minyak anyir itu yakni para pelacur. Akhirnya tertanamlah di benak masyarakat selama bertahun-tahun bahwa PSK itu memang perempuan jalang. (6 Maret 2007 dari http://www.pikiran rakyat.com/)
Kemudian jikalau melihat sendiri kehidupan positif bahwa banyak dari para pekerja seks itu terpaksa menjalani pekerjaannya sebagai PSK lantaran tekanan ekonomi. Ada yang memang hadir dari keluarga yang miskin, ada yang ditelantarkan suaminya sementara anak-anaknya harus tetap makan, ada yang untuk membiayai pengobatan orang tuanya, ada juga yang terpaksa disetujui suaminya lantaran benar-benar hidup amat miskin. Senada menyerupai ratifikasi beberapa PSK, bahwa bergotong-royong jikalau mereka boleh memilih, mereka tidak ingin jadi PSK, tetapi apa daya, mereka tidak punya kepandaian atau keterampilan.
Seharusnya kita tidak boleh merendahkan para PSK lantaran mereka juga bekerja, menjual jasa dan mereka dibayar untuk jasa mereka. Kita sanggup merasa iba jikalau mendengar kabar para PSK ditangkapi petugas ketertiban. Atau disiksa pelanggannya, atau dijahati germonya. Sebetulnya para PSK akan selalu ada lantaran pemakai jasa mereka juga selalu ada. Meskipun banyak yang tidak menyetujui pilihan pekerjaan mereka, tetapi kita mulai sanggup menghormati bahkan kagum pada para perempuan pekerja seks komersial, lantaran setidaknya mereka itu tetap ialah jagoan bagi keluarganya. melaluiataubersamaini demikian saya asumsikan bahwa mereka yang bekerja sebagai PSK seharusnya tidak mendapatkan asumsi-asumsi jelek terkena diri mereka, padahal mereka rela mengorbankan kesucianya demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Tidak adanya proteksi sosial ini menimbulkan para PSK membentuk kelompok sendiri, yang selanjutnya makin menjauhkan diri mereka dari masyarakat umum menyerupai masuk ke dalam suatu lokalisasi (wadah tempat prostitusi berlanjut). Penolakan atau sikap negatif masyarakat serta label-label yang dilekatkan masyarakat pada PSK sanggup mengakibatkan imbas Self-Fulfilling Phrophecy, Akibatnya komunitas PSK yang mengalami penurunan identitas ini, makin menarikdanunik diri dan mengalami banyak sekali hambatan dalam adaptasi sosial dan pengembangan diri. Kaprikornus sanggup dikatakan bahwa sikap masyarakat ini justru sanggup mengakibatkan masalah psikologis yang gres bagi kaum perempuan tuna susila. Dari sinilah kita mendapatkan suatu gambaran gres bagaimana PSK hidup dibawah tekanan (pressure) dari lingkungan sekitarnya baik dari lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Serta harus mendapatkan banyak sekali macam stereotype negatif yang dialamatkan pada pelacur selama ini dan belum tentu ketiruana yang ditujukan tersebut benar adanya. (2 November 2006 dari http://www.mirifica.com)
PSK yang secara sadar maupun tidak sadar, pribadi maupun tidak pribadi ingin juga diakui sebagai layaknya insan pada umumnya, sehingga sanggup dikatakan mempunyai kebutuhan dasar serta cita-cita mereka dengan insan lain pada umumnya. sepertiyang insan niscaya mempunyai suatu cita-cita untuk hidup bahagia. Meraih kebahagian ialah tujuan hidup insan yang tidak sanggup dipungkiri lagi, sehingga segala apa yang dilakukan insan pada alhasil spesialuntuklah untuk menciptakannya hidup bahagia.
Manusia dalam mencari tujuan hidup, mempunyai suatu kebutuhan yang bersifat unik, spesifik, dan personal, yaitu suatu kebutuhan akan makna hidup. Frankl mengartikan makna hidup sebagai kesadaran akan adanya suatu peluang atau kemungkinan yang dilatarbelakangi oleh realitas atau menyadari apa yang sanggup dilakukan pada situasi tertentu (Frankl, 2004 : 221). Apabila seseorang berhasil makna hidupnya, maka kehidupannya dirasakan penting dan berharga, dengan demikian akan mengakibatkan penghayatan senang (Bastaman, 2000 : 73). Makna hidup berfungsi sebagai anutan terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, sehingga dengan demikian makna hidup seolah-olah menantang (Challengging) dan mengundang (Inviting) seseorang untuk memenuhinya, serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan menjadi terarah. Makna hidup bersifat spesifik dan unik, makna hidup tidak sanggup didiberikan oleh siapapun, melainkan harus dicari dan ditemukan sendiri (Bastaman, 2000 : 73).
Permasalahan PSK tidak ubahnya sama dengan insan pada umumnya, secara garis besar PSK tentunya juga mempunyai suatu Makna Hidup. Sama halnya dengan insan atau individu lainnya. Proses inovasi makna hidup bukanlah ialah suatu perjalanan yang mudah bagi seorang PSK, perjalanan untuk sanggup menemukan apa yang sanggup mereka diberikan dalam hidup mereka, apa saja yang sanggup diambil dari perjalanan mereka selama ini, serta sikap yang bagaimana yang didiberikan terhadap ketentuan atau nasib yang sanggup mereka rubah, yang ketiruanannya itu tak lepas dari hal-hal apa saja yang diinginkan selama menjalani kehidupan, serta hambatan apa saja yang dihadapi oleh mereka dalam mencapai Makna Hidup
Oleh lantaran hal inilah, penelitian yang sifatnya lebih mendalam ihwal Makna Hidup seorang PSK sangat diharapkan untuk memperkaya teori dan mempersembahkan pelengkap pengetahuan. Dalam permasalahan ini, perjuangan yang dilakukan yakni penelitian ihwal Makna Hidup PSK. Penelitian ini lebih berangkat dari fenomena yang unik dimana mereka selama ini sadar akan pandangan negatif yang diperolehnya dari lingkungan sekitar, tetapi mereka tetap sanggup mempertahankan apa yang mereka percayai, dan mereka yakini serta hayati dan menjalankan ketiruananya itu dengan penuh keyakinan tanpa terpengaruh pendapat ataupun opini-opini dari orang-orang yang memandang negatif terhadap dirinya.
1.2 Identifikasi Masalah
PSK sama halnya dengan insan lainnya, dimana mereka mempunyai cita-cita untuk meraih arti hidup dan hal itu tercermin dalam Makna Hidup. Seperti mencicipi kebahagiaan diakung atau diperhatikan orang lain, serta mengasihi orang lain, dihargai menyerupai orang lain pada umumnya, didiberikan peluang yang sama dalam mencapai kesejahteraan di bidang ekonomi yakni hal yang menjadikan seorang PSK secara sadar maupun tidak sadar menemukan Makna Hidup bagi dirinya. Proses inovasi Makna Hidup yakni suatu perjalanan yang tidak mudah bagi siapapun terlebih pada diri sorang PSK. Perjalanan untuk sanggup menemukan apa yang sanggup mereka diberikan dalam hidup mereka, apa saja yang sanggup diambil dari perjalanan mereka selama ini, serta sikap yang bagaimana yang didiberikan terhadap ketentuan atau nasib yang sanggup mereka rubah, yang ketiruanannya itu tak lepas dari hal-hal apa saja yang diinginkan selama menjalani kehidupan, serta hambatan apa saja yang dihadapi PSK dalam mencapai Makna Hidup.
1.3 Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang, penelitian membatasi ruang lingkup penelitian sebagai diberikut:
a. Peneliti ingin mengungkap bagaimana makna hidup pada pekerja seks komersial (PSK). Dalam hal ini lantaran peneliti sering melihat fenomena yang sering terjadi pada kehidupan dan nantinya akan melihat makna hidup bagi seorang PSK, hal apa saja yang diinginkan oleh mereka dalam menjalani kehidupan serta hambatan apa saja yang dihadapi dalam pencapaian Makna Hidup tersebut
b. Sehubungan dengan subyektifitas terhadap makna hidup, maka penelitian ini nantinya akan melihat makna hidup bagi seorang PSK pada rentang usia cukup umur pertama, hal apa saja yang diinginkan oleh mereka dalam menjalani kehidupan sehabis menginjak usia cukup umur pertama, sehingga sanggup mempergampang pengkategorian subyek kedalam penelitian.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah diatas, maka rumusan masalah penelitian ini yakni :
- Bagaimana makna hidup bagi seorang PSK pada rentang usia cukup umur pertama?
1.5 Tujuan Penelitian
melaluiataubersamaini rumusan masalah diatas, maka secara umum tujuan dari penelitian ini yakni :
- Mengetahui apa makna hidup bagi seorang Pekerja Seks Komersial pada rentang usia cukup umur pertama.
1.6 Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini, diharapkan sanggup memdiberi manfaat, baik secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan sanggup mempersembahkan pelengkap pengetahuan dan memperkaya teori terkena Makna Hidup Pekerja Seks Komersial pada rentang usia cukup umur pertama. melaluiataubersamaini pengetahuan ini, diharapkan juga sanggup meningkatkan segala hal yang bekerjasama dengan Makna Pekerja Seks Komersial pada rentang usia cukup umur pertama.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan sanggup memdiberika perubahan yang lebih dalam pada masyarakat terkena masalah makna hidup yang terjadi pada seorang pekerja seks komersial. Perubahan ini selanjutnya diharapkan sanggup mengubah sikap masyarakat yang semata-mata memandang rendah seorang pekerja seks komersial (PSK). melaluiataubersamaini demikian diharapkan dari masyarakat untuk memikirkan langkah apa yang sanggup dilakukan untuk menanggulangi permasalaha prosstitusi yang terjadi selam ini.
Tag :
Psikologi
0 Komentar untuk "Makna Hidup Pada Pekerja Seks Komersial (Psk) (Psik-01)"