Pembelajaran Kitab Kuning Dengan Arab Pegon (Ai-61)

loading...
Arab pegon, bersama-sama spesialuntuk ialah ungkapan yang digunakan oleh orang Jawa, sedangkan untuk kawasan Sumatera disebut dengan huruf Arab-Melayu6. Jadi, huruf Arab pegon atau disebut dengan huruf Arab-Melayu ini ialah goresan pena dengan huruf Arab tapi memakai bahasa lokal. Dikatakan bahasa lokal lantaran ternyata goresan pena Arab pegon itu tidak spesialuntuk memakai Bahasa Jawa saja tapi juga digunakan di kawasan Jawa barat dengan memakai Bahasa Sunda, di Sulawesi memakai Bahasa Bugis, dan di wilayah Sumatera memakai Bahasa Melayu.

Keberadaan Arab pegon di Nusantara sangat erat kaitannya dengan syi’ar Agama Islam, diduga ialah salah satu cara yang dilakukan oleh para ulama sebagai upaya membuatkan Agama Islam7. Selain itu huruf Arab ini juga digunakan dalam kesusasteraan Indonesia. Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat, dalam kesusasteraan Jawa ada juga yang ditulis dengan goresan pena pegon atau gundhil, penerapan huruf ini terutama untuk kesusasteraan Jawa yang bersifat agama Islam,8 huruf Arab yang digunakan dalam Bahasa Jawa disebut dengan huruf Pegon.9Bukan spesialuntuk kesusasteraan Jawa saja tapi ternyata mencakup beberapa aspek Nusantara lantaran berdasarkan Drs. Juwairiyah Dahlan, bagi mereka yang mempelajari kesusasteraan Indonesia seringkali memakai huruf Arab ini, bahkan di Malaysia disebut dengan huruf Jawi.

melaluiataubersamaini huruf Arab ini, sudah ditulis dan dikarang ratusan buku terkena ibadah, hikayat, tasawuf, sejarah nabi-nabi dan rosul serta buku-buku roman sejarah.  Pada zaman penjajahan Belanda, sebelum goresan pena latin diajarkan di sekolah-sekolah, seringkali huruf Arab dipergunakan dalam surat menyurat, bahkan dikampung-kampung pada umumnya hingga zaman permulaan kemerdekaan, aneka macam orang yang masih buta huruf latin tetapi tidak buta huruf Arab, lantaran mereka sekurang-kurangnya sanggup membaca huruf Arab, baik untuk membaca Al-Qur’an maupun menulis surat dalam bahasa kawasan dengan huruf Arab.10Menurut Prof. Dr. Denys Lombard, menjelang tahun 1880 huruf Arab masih digunakan luas untuk menuliskan Bahasa Melayu dan beberapa bahasa setempat (seperti Bahasa Aceh atau Minangkabau) 11


Beragam perjuangan untuk mempertahankan penerapan huruf Arab ini, salah satunya di kawasan Sulawesi Selatan tepatnya di kawasan Buton. Menurut Laode Zaedi,12  huruf Arab dengan Bahasa Bugis/Walio dianggap sebagai salah satu khasanah kebudayaan kawasan dan kini sedang digalakkan pelestariannya, salah satu caranya yaitu dengan mengajarkan kepada anakdidik-anakdidik sekolah dasar (SD), SMP (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga perguruan tinggi tinggi sebagai salah satu pilihan dalam kurikulum muatan lokal.  

Selain itu, keberadaan penerapan Arab pegon di pondok pesantren terutama yang masih besar lengan berkuasa kultur masyarakatnya13sampai dikala ini masih tetap dipertahankan. Karena selama ini pesantren masih dianggap banyak membawa keberhasilan dalam pencapaian berhasilnya pelajaran dan pengajaran Bahasa Arab. Penerapan penerjemahan kitab kuning dengan memakai Arab pegon dalam pengajarannya biasa disebut dengan Ngabsahi14atau Ngalogat15 dalam menerjemahkan dan memdiberi makna pada Kitab Kuning.

Pengertian umum yang beredar di kalangan pemerhati duduk kasus pesantren yaitu bahwa kitab kuning selalu dipandang sebagai kitab-kitab keagamaan berbahasa arab, atau berhuruf arab, sebagai produk pemikiran ulama masa lampau (as-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum kala ke-17-an M. Dalam rumusan yang lebih rinci, definisi kitab kuning yaitu kitab-kitab yang, ( a) ditulis oleh ulama-ulama “asing”, tetapi secara bebuyutan menjadi reference yang dipedomani oleh para ulama indonesia, (b) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang “independen”, dan c) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama “asing”.

Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di timur tengah, dikenal dua istilah yang menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Katagori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qodimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab modern (al-kutub al-ashriyyah). Perbedaan pertama dari yang kedua dicirikan, antaara lain,  cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik, dan tanpa syakl (baca: sandangan- fatkhah, dhommah, kasroh). Dan sebutan kitab kuning intinya mengacu pada katagori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qodimah).

Spesifikasi kitab kuning secara umum terletak pada formatnya (lay-out), yang terdiri dari dua bagian: matn, teks asal (inti), dan syarh (komentar, teks penjelas atas matn). Dalam pemberian semacam ini, matn selalu di letakkan di bab pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarh-karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matn-diletakkan di bab tengah setiap halaman kitab kuning. Ukuran panjang-lebar kertas yang digunakan kitab kuning pada umumnya kira-kira 26 cm (quarto). Ciri khas lainnya terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid menyerupai buku. Ia spesialuntuk dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 2 halaman) yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kitab kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkn salah satu atau beberapa korasan itu dibawa secara terpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis penpenghasilanan, santri spesialuntuk membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kiai-ulama.

Hal yang membedakan kitab kuning dari yang lainnya yaitu metode mempelajarinya. Sudah dikenal bahwa ada dua metode yang berkembang di lingkungan pesantren untuk mempelajari kitab kuning: yaitu metode sorogan dan metode bandongan. Pada cara pertama, santri membacakan kitab kuning dihadapan kiai-ulama yang pribadi menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna maupun bahasa (nahw dan sharf). Sementara itu, pada cara kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan klarifikasi sang kiai-ulama sambil masing-masing mempersembahkan catatan pada kitabnya. Catatan itu bisa berupa syakl atau makna mufrodhat atau klarifikasi (keterangan tambahan). Penting ditegaskan bahwa  di kalangan pesantren, terutama yang klasik (salafi), mempunyai cara membaca tersendiri yang dikenal dengan cara utawi-iki-iku, sebuah cara membaca dengan pendekatan tata bahasa (nahw dan sharf) yang ketat.

Selain kedua metode diatas, sejalan dengan perjuangan kontekstualisasi kajian kitab kuning, di lingkungan pesantren, pandai balig cukup akal ini sudah berkembang  metode jalsah (diskusi kelompok) dan halaqoh (seminar). Kedua metode ini lebih sering digunakan ditingkat kiai-ulama atau pengasuh pesantren, namun kini pun sudah sering dilakukan oleh santri. Guna mengulas isu-isu kontemporer dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari kitab kuning.16    

Ilustrasi diberikut ini sanggup mempersembahkan suatu citra yang terperinci bagaimana metode ini dilaksanakan dalam praktik:

                الحمد لله الدي فضل بني ادم بالعلم والعمل على جميع العالم    




Teks tersebut diatas diambil dari kitab Ta’lim al Muta’lim. Huruf-huruf besar syang horisontal yaitu teks orisinil Bahasa Arab, sedangkan huruf-huruf kecil di antara goresan pena horisontal yang ditulis miring kebawah yaitu terjemahannya dalam bahasa Jawa. Teks orisinil dalam Bahasa Arab ditulis dengan vowels (dalam bahasa Jawa disebut nganggo sandangan) atau Arab Pegon. Murid-anakdidik harus berguru dari kitab-kitab gundul yang ditulis tanpa huruf hidup atau tanpa syakal. Ilustrasi tersebut menawarkan bagaimana cara penerjemahan teks Arab ke dalam Bahasa Jawa. Perkataan Arab Al-Hamdu lillahi diterjemahkan utawi sekabehgua puji iku keduwe Alloh, yang berarti ”Segala puji yaitu kepunyaan Alloh”. Perkataan Al hamdu yang dilampaui oleh al dan diakhiri dengan huruf hidup U (dzamah U) dan dalam Bahasa Jawa dilampaui dengan kata utawi dimaksudkan untuk menawarkan bahwa perkataan tersebut yaitu mubtda’ atau pokok kalimat. Hal ini sangat penting untuk diketahui oleh anakdidik-anakdidik, alasannya yaitu kitab-kitab yang diajarkan dalam metode sorogan dan bandongan ditulis tanpa syakal, sehingga untuk sanggup membacanya dengan benar dan cocok  para anakdidik harus menguasai tatabahasa Arab.17

Tulisan sebagai lambang tertulis dari suatu bahasa berfungsi sebagai alat untuk dibaca biar dipahami maksud yang terkandung didalamnya. Kemampuan membaca digunakan untuk memahami maksud goresan pena sehingga membaca untuk menjadi paham. Pemakaian Bahasa Jawa dalam penulisan Arab Pegon sebagai sistem yang diterapkan di Pondok Pesantren ialah salah satu simbol masuk dan bercampurnya Budaya Jawa sebagai perjuangan untuk lebih sanggup memahami isi kitab kuning yang didalamnya memakai Bahasa Arab.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu upaya dalam pengembangan keilmuan yang mengkaji wacana permasalahan tradisi Arab pegon di pondok pesantren, dengan impian sanggup memmenolong mendudukkan pada proporsinya. Mengingat keterbatasan waktu dan pengetahuan, skripsi ini sengaja membatasi kajiannya pada proses penerjemahan kitab kuning dengan memakai Arab pegon saja. 

Pada peluang ini penulis mengambil studi masalah di Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta. Alasan pemilihan tempat ialah salah satu hal yang sangat diperhatikan, selain lantaran secara geografis bersahabat dengan kampus Universitas Islam Negeri Yogyakarta, segala macam informasi simpel didapat, dan satu hal yang sangat penting yaitu lantaran Madrasah Salafiyah III ini masuk dalam lingkup salah satu pesantren tradisional yang dari pertama pendiriannya hingga dikala ini masih konsisten memakai Arab pegon.


Judul : Pembelajaran Kitab Kuning melaluiataubersamaini Arab Pegon (AI-61))


Tag : Agama Islam
0 Komentar untuk "Pembelajaran Kitab Kuning Dengan Arab Pegon (Ai-61)"

Back To Top