loading...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sistem pendidikan Nasional di jelaskan bahwa pendidikan yaitu perjuangan sadar dan bersiklus untuk mewujudkan suasana berguru dan proses pembelajaran semoga penerima didik secara aktif menyebarkan potensi dirinya untuk mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, budbahasa mulia, serta ketrampilan yang dibutuhkan dirinya, bangsa dan negara.[1]
Dalam pendidikan formal, berguru menawarkan adanya perubahan yang sifatnya positif sehingga pada tahap final akan didapat keterampilan, kecakapan dan pengetahuan baru. Hasil dari proses berguru tersebut tercermin dalam prestasi belajarnya. Namun dalam upaya meraih prestasi berguru yang memuaskan dibutuhkan proses belajar.
Pendidikan sebetulnya ialah suatu rangkaian kejadian yang kompleks. Peristiwa tersebut ialah rangkaian aktivitas komunikasi antar insan sehingga insan itu bertumbuh sebagai eksklusif yang utuh. [2]
Prestasi berguru berdasarkan Yaspir Gandhi Wirawan dalam Murjono (1996 :178) adalah: “ Hasil yang dicapai seorang siswa dalam perjuangan belajarnya sebagaimana dicantumkan di dalam nilai rapornya. Melalui prestasi berguru seorang siswa sanggup mengetahui kemajuan-kemajuan yang sudah dicapainya dalam belajar.”
Proses berguru di sekolah yaitu proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang beropini bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, lantaran inteligensi ialah bekal potensial yang akan megampangkan dalam berguru dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi berguru yang optimal. Kenyataannya, dalam proses berguru mengajar di sekolah sering ditemukan siswa yang tidak sanggup meraih prestasi berguru yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh prestasi berguru yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, sanggup meraih prestasi berguru yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan ialah satu-satunya faktor yang memilih keberhasilan seseorang, lantaran ada faktor lain yang mempengaruhi.[3]
Kecerdasan intelektual (IQ) spesialuntuk menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% yaitu proteksi faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya yaitu kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.[4]
Dalam proses berguru siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak sanggup berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi itu saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ ialah kunci keberhasilan berguru siswa di sekolah. Pendidikan di sekolah bukan spesialuntuk perlu menyebarkan rational intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya dipahami siswa saja, melainkan juga perlu menyebarkan emotional intelligence siswa .
Berdasarkan hasil survey di Amerika Serikat pada tahun 1918 wacana IQ, ternyata di temukan sebuah paradoks yang membahayakan. Sementara skor IQ belum dewasa makin tinggi, kecerdasan emosi mereka justru menurun. Yang paling mengkhawatirkan yaitu data hasil survey besar-bemasukan terhadap orang renta dan guru bahwa belum dewasa generasi kini lebih sering mengalami masalah emosi ketimbang generasi terlampaunya. Secara pukul rata belum dewasa tumbuh dalam kesepian dan depresi, lebih simpel murka dan susah di atur, lebih gugup, dan cunderung cemas, cenderung spontan dan agresif.[5]
Memang harus diakui bahwa mereka yang mempunyai IQ rendah dan mengalami keterbelakangan mental akan mengalami kesusahan, bahkan mungkin tidak bisa mengikuti pendidikan formal yang seharusnya sesuai dengan usia mereka. Namun fenomena yang ada membuktikan bahwa tidak sedikit orang dengan IQ tinggi yang berprestasi rendah, dan ada banyak orang dengan IQ sedang yang sanggup mengungguli prestasi berguru orang dengan IQ tinggi. Hal ini membuktikan bahwa IQ tidak selalu sanggup memperkirakan prestasi berguru seseorang.
Pada umumnya orang-orang yang murni spesialuntuk mempunyai kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung mempunyai rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarikdanunik diri, terkesan cuek dan cenderung susah mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang ibarat ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, kalau seseorang mempunyai IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, susah bergaul, simpel frustrasi, tidak simpel percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa kalau mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang mempunyai taraf IQ rata-rata namun mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi.
Pendidikan sebetulnya ialah suatu rangkaian kejadian yang kompleks. Peristiwa tersebut ialah rangkaian aktivitas komunikasi antar insan sehingga insan itu bertumbuh sebagai eksklusif yang utuh. [6]
Kegiatan pengajaran tersebut diselenggarakan pada tiruana satuan dan jenjang pendidikan, sebagaimana yang tersebut dalam Undang-undang No.2 wacana pendidikan nasional yang berlaku ketika ini, ada penjentidakboleh pendidikan jalur sekolah yaitu “Pendidikan Dasar” yang mencakup Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (=SMP), “Pendidikan Menengah” yang mencakup Sekolah Menengah Umum dan Sekolah Menengah Kejuruan, serta “Pendidikan Tinggi” yang ialah jenjang pendidikan jalur sekolah terakhir.[7]
Kenyataan menawarkan bahwa pelajaran matematika didiberikan di tiruana sekolah, baik dijenjang pendidikan dasar maupun pendidikan menengah. Matematika yang didiberikan di jenjang persekolahan itu kini biasa disebut sebagai matematika sekolah. Sudah barang tentu diharapkan semoga pelajaran metematika yang didiberikan di tiruana jenjang persekolahan itu akan mempunyai donasi yang berarti bagi bangsa masa depan, khususnya dalam “mencerdaskan bangsa” sebagaimana tertera dalam mukadimah Undang-undang Dasar RI.[8]
Menurut Morris Kline (1961) bahwa jatuh bangunnya suatu negara pandai balig cukup akal ini tergantung dari kemajuan di bidang matematika dan Slamet Imam Santoso mengemukakan bahwa fungsi matematika sanggup ialah ketahanan Indonesia.[9] Demikianlah betapa pentingnya matematika dalam kehidupan manusia, sehingga hal inilah yang menjadi salah satu dasar mengapa matematika menjadi bidang studi yang diajarkan di sekolah, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Matematika diajarkan di sekolah lantaran memang berguna; berkhasiat untuk kepentingan matematika itu sendiri dan memecahkan duduk masalah dalam masyarakat. melaluiataubersamaini diajarkannya matematika kepada siswa di tiruana tingkat, matematika bisa diawetkan dan dikembangkan. Maksudnya, matematika akan terus berkembang sehingga tidak punah.[10]
Pada dasarnya pembelajaran matematika tidak spesialuntuk bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan anak dalam menuntaskan soal-soal matematika. Akan tetapi mempunyai tugas yang sangat penting dalam membangun pengetahuan yang berafiliasi dengan ilmu-ilmu lain dan mempunyai donasi positif dalam pembentukan kepribadian siswa.
Sejalan dengan uraian di atas berdasarkan pendapat Soedjadi bahwa :
“Matematika diajarkan kepada anak bukan untuk mengetahui matematika, namun matematika didiberikan kepada siswa untuk memmenolong siswa semoga tertata nalarnya, terbentuk kepribadiannya serta trampil memakai matematika dan penalarannya dalam kehidupan kelak.”[11]
Dalam Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Matematika yang pandai balig cukup akal ini dipakai, dikemukakan bahwa tujuan umum didiberikannya matematika di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan umum yaitu :
1 Mempersiapkan siswa semoga sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan dunia yang semakin berkembang, melalui tes bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif dan efisien.
2 Mempersiapkan siswa semoga sanggup memakai matematika dan contoh fikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari banyak sekali ilmu pengetahuan. [12]
Kepribadian yang menjadi bahasan di sini yaitu kepribadian emosi. Pembentukan kepribadian dimulai dari pembentukan sistem nilai pada diri anak. melaluiataubersamaini demikian, pembentukan kepribadian perlu dimulai dari penanaman sistem nilai sebagai realitas yang aneh yang dirasakan dalam diri sebagai pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi pedoman hidup. Dalam realitasnya, nilai terlihat dalam contoh tingkah laku, contoh pikir, dan sikap-sikap seorang eksklusif atau kelompok (Yvon Ambroise, 1993:20). Hal ini menunjukkan, bahwa sistem nilai ialah unsur kepribadian yang tercermin dalam sikap dan sikap yang diyakini sebagai sesuatu yang besar dan perlu dipertahankan. Sistem nilai ialah identitas seseorang.[13] Kaprikornus identitas seseorang sanggup dilihat dari sikap, tingkah laris dan contoh pikir orang tersebut, yang dalam agama islam disebut dengan “akhlak”.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa pembelajaran matematika tidak spesialuntuk mempunyai tujuan material saja yaitu siswa bisa menerapkan dan terampil dalam matematika dan menimbulkan prestasi mereka bagus. Tetapi pembelajaran matematika juga mempunyai tujuan membentuk kepribadian siswa. Kepribadian yang penulis maksud disini yaitu kepribadian sikap (emosi). Dari kemampuan menerapkan dan trampil dalam matematika itulah akan diketahui prestasi berguru matematika yang diperoleh siswa.
Tag :
Pendidikan,
Pendidikan Matematika
0 Komentar untuk "Pengaruh Dukungan Motivasi Kecerdasan Emosional Terhadap Prestasi Berguru Matematika Bahan Bulat Pada Siswa Kelas Viii Mtsn (Pmt-54)"