Pers Dalam Demokratisasi Di Indonesia (Kajian Wacana Peranan Pers Dalam Kejadian Revolusi Mei 1998 (Ipm-01)

loading...
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demokrasi sebagai dasar hidup berbangsa pada umumnya mempersembahkan pengertian bahwa adanya peluang bagi rakyat untuk ikut mempersembahkan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang terkena kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan pemerintah, oleh lantaran kebijakan tersebut menentukan kehidupannya. melaluiataubersamaini kata lain dalam suatu negara demokrasi terdapat kebebasan-kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

Agar masyarakat sanggup berperan serta dalam menghipnotis proses pembuatan kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah, maka perlu adanya masukana atau media yang akan dipakai dalam partisipasi tersebut. Salah satu masukana yang sanggup dipakai masyarakat dalam partisipasi politik yaitu pers.

Dalam proses demokratisasi faktor komunikasi dan media massa mempunyai fungsi penyebaran informasi dan kontrol sosial. Pers ialah media komunikasi antar pelaku pembangunan demokrasi dan masukana penyampaian informasi dari pemerintah kepada masyarakat maupun dari masyarakat kepada pemerintah secara dua arah. Komunikasi ini diperlukan mengakibatkan pengetahuan, pengertian, persamaan persepsi dan partisipasi masyarakat sehingga demokrasi sanggup terlaksana.

Sebagai forum sosial pers yaitu sebuah wadah bagi proses input dalam sistem politik. Diantara tugasnya pers berkewajiban membentuk kesamaan kepentingan antara masyarakat dan negara sehingga masuk akal sekali apabila pers berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan pemerintah dan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan keterbukaan pers untuk secara baik dan benar dalam mengajukan Koreksi terhadap samasukan yang manapun sejauh hal itu benar-benar berkaitan dengan proses input.
Demokrasi sering kali hadir bersamaan dengan semacam gelombang revolusioner dari mobilisasi rakyat, yakni gelombang pasang rakyat yang bersamanya banyak sekali unsur masyarakat terbawa dalam suatu gelombang massa yang mencari identitasnya dengan banyak sekali unjuk rasa. Mobilisasi yang demikian bisa saja episodik dan terkendali yang mendesak biar dilakukan negosiasi-negosiasi untuk peralihan kearah demokrasi. Atau mungkin juga berbentuk suatu gelombang massa yang susah terbendung, menyerupai yang pernah terjadi di Indonesia dimana terjadinya mobilisasi massa secara besar-bemasukan yang dipelopori oleh mahasiswa untuk menumbangkan rezim pemerintahan yang otoriter dan membuat demokrasi. Mobilisasi massa atau gerakan revolusioner yang terjadi di Indonesia pada bulan Mei 1998, didukung oleh banyak sekali kalangan tak terlepas juga proteksi dan peranan pers.

Ada banyak peranan yang dilakukan oleh pers dalam suatu negara dan dalam mewujudkan demokrasi. Namun, biar pers bisa menjalankan peranannya terutama dalam menunjang demokratisasi maka perlu adanya kebebasan pers dalam menjalankan kiprah serta fungsinya secara professional. Media masa yang bebas mempersembahkan dasar bagi pembatasan kekuasaan negara dan dengan demikian adanya kendali atas negara oleh rakyat, sehingga menjamin hadirnya lembaga-lembaga politik yang demokratis sebagai masukana yang paling efekif untuk menjalankan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu. Apabila negara mengendalikan media massa maka terhambatnya cara untuk memdiberitakan penyalahgunaan wewenang dan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara.

Bagi suatu pemerintahan diktator kebenaran ialah ancaman baginya, alasannya yaitu kebenaran akan membuka seluruh jaenteng tipu dayanya. Berita-diberita yang berasal dari foto jurnalisme serta data dokumenter lainnya memang mempunyai daya yang sangat kuat. Misi pertama pers dalam suatu masyarakat yang demokrartis atau suatu masyarakat yang sedang berjuang untuk menjadi demokratis yaitu melaporkan fakta. Misi ini tidak akan praktis dilaksanakan dalam suatu situasi ketidak adilan secara besar-bemasukan dan pertolongan yang terpolarisasi. Terkucilnya prospek kebebasan pers terang ialah penggalan dari redupnya prospek demokratisasi.

Perkembangan dan pertumbuhan media massa atau pers di Indonesia tidak sanggup dipisahkan dari perkembangan dan pertumbuhan sistem politik dinegara ini. Bahkan sistem pers di Indonesia ialah sub sistem dari sistem politik yang ada (Harsono Suwardi, 1993 : 23)

Di negara dimana sistem persnya mengikuti sistem politik yang ada maka pers cenderung bersikap dan bertindak sebagai “balancer” antara kekuatan yang ada. Tindakan atau sikap ini bukan tanpa alasan mengingat pers di negara berkembang seperi di Indonesia mempunyai banyak pengalaman bagaimana mereka mencoba mempertahankan keberadaannya sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawaban.

Banyak pers yang khawatir bahwa keberadaannya akan sirna mabadunga mereka tidak mengikuti sistem yang berlaku. Oleh lantaran itu guna mempertahankan keberadaannya, pers tidak jarang menentukan jalan tengah. Teknik inilah yang sering mendorong pers itu terpaksa harus bersikap mendua terhadap suatu problem yang berkaitan dengan kekuasaan. Dalam kaitan ini pulalah banyak pers di negara berkembang pada umumnya termasuk di Indonesia lebih suka mengutamakan konsep stabilitas politik nasional sebagai teladan untuk kelangsungan hidup pers itu sendiri.
Dipertama kekuasaannya, rezim pemerintahan orde gres menghadapi Indonesia yang traumatis. Suatu kondisi dimana kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya serta psikologis rakyat yang gres tertimpa prahara. Politik satu kata yang sempurna ketika itu kemudian dijadikan formula orde baru, yakni pemulihan atau normalisasi secepatnya harus dilakukan, bila tidak kondisi bangsa akan kian berlarut-larut dalam ketidak pastian dan pembangunan nasional akan semakin tertunda.

Konsentrasi bangsa diarahkan untuk pembangunan nasional. Hampir seluruh sektor dilibatkan serta seluruh segmen masyarakat dikerahkan demi mensukseskan pembangunan nasional tersebut. Keterlibatan seluruh sektor maupun segmen masyarakat tersebut agaknya sebanding dengan beban berat warisan Orde Lama yang ditimpakan kepada Orde Baru. Pemerintah Orde Baru memprioritaskan trilogi pembangunannya yakni stabilitas, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sebagai kata kunci yang saling berkait erat serta sebagai penggalan kepercayaan negara.

Oleh lantaran pemerintah menitik beratkan pembaruan pada pembangunan nasional, maka sektor demokrasi akibatnya terlantarkan. Hal ini mungkin terpaksa dilakukan oleh lantaran sepeninggalan orde usang tidak satupun kekuatan non negara yang bisa dijadikan teladan dan preferensi, serta seluruh yang tersisa mengidap kerentanan fungsi termasuk yang melanda pers nasional. Deskripsi-deskripsi yang sering kali ditulis oleh para pemerhati pers menyatakan bahwa kehidupan pers dipertama-pertama orde gres yaitu sarat dengan muatan represif, ketiadaan pers yang bebas, kehidupan pers yang ditekan dari segala penjuru untuk dikuasai negara, wartawan bisa dibeli serta pers yang bisa dibredel sewaktu-waktu.

Dalam sejarah demokratisasi di Indnesia, khususnya pada era orde gres yang mencapai puncaknya pada kejadian revolusi Mei 1998 yang ditandai dengan berakhirnya rezim orde gres dan pengunduran diri presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, pers mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan tersebut tentunya tidak terlepas dari kedala dan hambatan yang mereka alami lantaran rezim pemerintahan orde gres dikenal sebagai rezim pemerintahan yang otoriter yang memasung hak masyarakat untuk berbicara.

Diakui bahwa pers Indonesia yaitu penggalan tak terpisahkan dari gerakan reformasi atau revolusi pada tahun 1998, yang mencapai momen bersejarah dengan pengunduran diri Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun pada 21 Mei 1998. Meskipun pers bukanlah aktivis gerakan revolusi itu, susah dibayangkan bahwa gerakan revolusi yang dipelopori mahasiswa itu akan terus bergulir tanpa pemdiberitaan dan proteksi gencar media di Indonesia menyerupai pers.

Proses revolusi yang dilampaui oleh krisis ekonomi antara Agustus sampai September 1997 yang menimbulkan kemunduran dalam kehidupan dan kesejahteraan rakyat menjadi faktor pemicu persatuan rakyat dalam kelompok aktifis demokrasi menyerupai mahasiswa, kelompok intelektual dan bahkan kelompok politik yang terpinggirkan. Kekuasaan presiden Soeharto yang mendekati sewenang-wenang menimbulkan faktor pemersatu diluar pemerintah bahkan menjadi semakin besar. Kondisi ini dipicu semakin keras oleh peranan pers yang menyiarkan pemdiberitaan yang semakin kritis terhadap pemerintah maupun penyajian opini publik terkena kesalahan serta kelemahan kebijakan publik.

Seluruh gejolak yang terjadi dalam masyarakat ketika upaya menuntut pengunduran diri Soeharto ialah lahan kejadian dan isu yang susah untuk tidak diolah oleh pekerja pers sebagai komoditi diberita terlebih lagi krisis tersebut sudah memperoleh pemdiberitaan gencar dari media luar negeri.

Pemdiberitaan seputar krisis ekonomi khususnya yang terjadi di Jakarta dan sejumlah kota besar di pulau Jawa sudah membuat suatu lingkungan simbolik dimana masyarakat ditiruana penggalan wilayah Indonesia merasa krisis tersebut juga terjadi dilingkungan dekatnya. Oleh lantaran itu eforia revolusi dengan cepat juga menjalar keberbagai kawasan yang ditandai maraknya agresi demo mahasiswa dan agresi protes masyarakat di kota-kota kecil baik di Jawa maupun di luar Jawa.

Memang rezim penguasa berusaha keras untuk menekan pers biar tidak terlalu membesarkan krisis yang terjadi, khususnya dimasa pertama krisis ketika nilai rupiah mulai semakin anjlok. Namun jurnalis seluruh media massa selalu menemukan celah-celah dimana diberita serta analisis krisis bisa disajikan. Krisis dalam tataran makro struktur ekonomi-politik Orde Baru secara pribadi menghipnotis struktur kekerabatan kekuasaan antar pelaku sosial yang terlibat dalam proses memproduksi teks disektor media.

Beberapa waktu sebelum Soeharto lengser pada medio 1998 terjadi semacam power facum, dimana pihak pemilik perusahaan melepaskan diri dari intervensi yang dilakukan dalam memproduksi diberita. Dalam kondisi semacam itu inisiatif hampir sepenuhnya ditangan jurnalis profesional. Seandainya para jurnalis sebagai pemain drama dengan kedudukan profesional yang signifikan disektor industri media tidak menagambil alih inisiatif untuk memproduksi teks pemdiberitaan seputar krisis dan mengemasnya sebagai teks yang melemahkan legitimasi rezim Orde Baru tentunya akan susah struktur politik ditanah air bisa berubah dari struktur otoritarian menjadi struktur politik menyerupai yang ada ketika kini ini.

Menurut ekonomis penulis upaya yang dilakukan oleh pers untuk mewujudkan demokrasi di tengah-tengah rezim pemerintah otoritarian yang senantiasa berusaha untuk mempertahankan kekuasaan ialah hal yang menarikdanunik untuk diteliti. Selain itu pers ialah forum sosial yang secara ideal nya bersifat netral, tidak untuk kepentingan kelompok orang-orang tertentu melainkan untuk tiruana orang. Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana peranan pers dalam proses demokratisasi di Indonesia, maka penulis akan melaksanakan penelitian dengan judul “ Pers Dalam Demokratisasi di Indonesia, Kajian Tentang Peranan Pers Dalam Peristiwa Revolusi Mei 1998”

B. Perumusan Maslah
Pertumbuhan dan perkembangan dalam segala aspek kehidupan yang semakin pesat mendorong meningkatnya kebutuhan akan informasi yang secara tidak pribadi mendorong peningkatan pertumbuhan media massa. Informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak spesialuntuk terbatas pada hal bisnis dan ekonomi bahkan lebih jauh kebutuhan informasi tentang kebijakan pemerintah dan informasi tentang perkembangan politik yang terjadi serta tentang sikap abdnegara pemerintahan.

Kebutuhan masyarakat akan informasi tentang kebijakan pemerintah dan situasi politik serta tentang sikap abdnegara pemerintahan tersebut secara tidak pribadi akan menjadi kontrol politik bagi pemerintah, yang pada akibatnya akan menunjang proses demokratisasi.

Upaya penyajian informasi yang dilakukan oleh manusia pers tidak pernah lepas dari hambatan ataupun hambatan mengingat sebuah fakta dan diberita tentang kebobrokan pemerintah ialah suatu bumerang yang berbahaya bagi rezim pemerintahan yang berkuasa dan sanggup menggerogoti legitimasi rezim.

Dalam kejadian revolusi Mei yang menjatuhkan suatu rezim pemerintahan Orde Baru di Indonesia, pers ikut ambil penggalan dalam proses demokratisasi tersebut.
Dari sekelumit permasalahan yang sudah penulis kemukakan sebelumnya maka sanggup diidentifikasi permasalahan dari penelitiaan ini yaitu kejadian revolusi Mei 1998 yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari peranan pers walaupun pers mempunyai banyak hambatan dan hambatan dalam mewujudkan demokratisasi pada era Orde Baru. melaluiataubersamaini demikian sanggup dirumuskan permasalahan penelitian ini melalui pertanyaan penelitian, yakni : “Bagaimana peranan pers dalam demokratisasi di Indonesia khusunya dalam kejadian revolusi Mei 1998 ?”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
1.1. Untuk mendiskripsikan peranan pers dalam demokratisasi di Indonesia khususnya pada kejadian revolusi Mei 1998
1.2. Mengetahui faktor penghambat bagi pers dalam upaya mewujudkan demokratisasi di Indonesia, khususnya dalam kejadian revolusi Mei 1998.
2. Manfaat Penelitian
2.1. Sebagai materi masukan atau informasi serta materi perbandingan bagi peneliti diberikutnya dalam hal atau problem yang sama
2.2. Mengembangkan kemampuan berfikir penulis secara ilmiah dalam menganalisa setiap tanda-tanda yang terjadi pada kejadian revolusi Mei 1998 khususnya terkena peranaan pers.
2.3. Guna memenuhi dan melengkapi 0salah satu persyaratan akademis untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau.
0 Komentar untuk "Pers Dalam Demokratisasi Di Indonesia (Kajian Wacana Peranan Pers Dalam Kejadian Revolusi Mei 1998 (Ipm-01)"

Back To Top