Pluralisme Agama Dan Implementasinya Dalam Pendidikan Islam (Perspektif Al Qur’An) (Ai-65)

loading...
Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi pada akhir-akhir ini di aneka macam tempat di Indonesia, menyerupai kasus Situbondo (1998), dan yang hingga ketika ini masih terus berjegolak menyerupai kasus Ambon, intinya ialah jawaban dari konflik anatar agama yang tidak sama. Masing-masing pihak mengklaim bahwa dirinyalah yang palin benar, sedangkan pihak lain salah. Perpsepsi bahwa perbedaan yaitu suatu yang buruk, suatu hal yang menakutkan, sudah begitu rupa mendarah daging dalam jiwa umat-umat beragama.


Akibat dari perseteruan tersebut yaitu kesengsaraan tiruana pihak, yang bertikai maupun yang tidak mengetahui apa-apa. Pada dasarnya jawaban dari konflik yaitu kerugian yang menyeluruh diberbagai pihak. Rakyat kecil   lagi-lagi menjadi korban dan harus menanggung akibat-akibat yang ditimbulkan oleh konflik tersebut.


Akibat dari adanya perseteruan ataupun kerusuhan di suatu tempat pada jadinya merambat ke tempat yang lain, yang masih satu wilayah maupun diluar wilayah yang tidak sama. Memanasnya kondisi disuatu daerah, menyerupai adanya konflik antar agama sanggup memancing tempat lain dikarenakan adanya ikatan emosional yang begitu kuat, ikatan sebagai saudara seiman. Hal serupa pernah terjadi di tempat Mataram, Lombok (Februari 2000) ketika umat Islam melaksanakan tablig akbar untuk mensikapi kondisi umat Islam di Ambon yang berakhir dengan kerusuhan berupa pengrusakan tempat-tempat ibadah dan masukana pendidikan umat Kristiani. Terlepas dari provokator dan lain sebagainya yang biasa menjadi kambing hitam dalam setiap”chaos”, yang terang umat beragama belum memiliki kontrol emosi yang memadai sehingga begitu simpel terpancing untuk melaksanakan aneka macam macam tindakan anarki.


Sentimen keagamaan dan fanatisme membuat paling tidak banyak memdiberi andil atas terciptanya setiap adegan kerusuhan dan terjadinya konflik. Menurut C. Syamsul Hari, bahwa konflik yang mengatasnamakan agama pada umumnya disebabkan oleh penyimpangan arah proses sosial yang berkolerasi logis dengan bentuk-bentuk menyimpang interaksi sosial antar umat beragama.


Dari fenomena-fenomena tersebut setidaknya sanggup dijadikan fonis pertama bahwa hingga ketika ini, kesadaran pluralitas dalam beragama belum menyentuh sisi kesadaran paing dalam pada diri para pemeluk agama. Artinya, slogan-slogan bahwa agama mengajarkan cinta kasih dan perdamaian, tidak menyukai tindakan kejahatan dalam bentuk apapun spesialuntuklah omong kosong.


Di sinilah paling tidak, perlu diperhatikan kembali wacana tugas pendidikan Islam bagi umat Islam itu sendiri. Islam sebagai “rohmatan lil ‘alamin” sudah dapatkah itu diwujudkan, lantaran posisi umat Islam sebagai lebih banyak didominasi di satu sisi sangatlah tidak menguntungkan. Dan ironisnya ternyata umat Islam sanggup dikatakan hampir banyak ikut serta dalam setiap agresi kerusuhan. Mengapa bisa terjadi demikian ? tentunya ada yang salah, “there is something wrong”. Atau bisa jadi pendidikan Islam belum bisa mendidik umatnya menjadi kaum pluralis ? ini perlu dikaji kembali sebagai upaya perbaikan mutu pendidikan Islam itu sendiri.

Kebanggaan sebagai umat yang terbaik “khoira ummah” tidakboleh hendakanya melenakan umat Islam dari berbuat kebajikan yang nyata. Lagi pula pujian semacam itu spesialuntuklah akan menjadi beban berat yang mesti dipikul dan akan menjadi materi tertawaan bila tidak sanggup merealisasikan dalam setiap aktifitas hidupnya sehari-hari sesuai predikat yang disandang.

Dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an M. Quraish Shihab menyatakan : “Agama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan juta kaum muslim seluruh dunia, ialah “way of life” yang menjamin kebahagian hidup pemeluknya di dunia dan akherat kelak. Ia memiliki satu sendi utama yang esensial ; berfungsi memdiberi prtunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya”. Petunjuk ke jalan yang baik (sirathal mustaqim) itu terangkum dalam Al-Qur’an sebagai kitab pedoman umat Islam. Umat Islam dituntut untuk mempelajari ajarannya untuk kemudia diamalkan dalam kehidupan sehari-hari[1].

Menanggapi “image-image” yang miring wacana Islam sebagai agama kaum teroris, yang gemar berbuat onar dan kerusuhan, hendaklah merujuk kembali ke Al-Qur’an untuk mendapat ketenangan yang lebih otentik. Tentang konsep penghargaan terhadap agama lain di satu sisi contohnya dan konsep diberijtihad memerangi kaum beragama lain di sisi yang lain, harus benar-benar di dudukkan sesuai porsinya masing-masing. Ini sangat penting, bukan spesialuntuk bagi orang lain di luar Islam, namun bagi orang Islam sendiri biar pemahaman terhadap “ruh” Al-Qur’an benar-benar sanggup dibanggakan. Pendidikan Islam dalam hal ini belum sanggup merealisasikannya dalam kehidupan nyata. Kalau boleh dikatakan ini ialah salah atu bentuk kegagalan pendidikan Islam.



Judul : Pluralisme Agama Dan Implementasinya Dalam Pendidikan Islam (Perspektif Al Qur’an) (AI-65))


Tag : Agama Islam
0 Komentar untuk "Pluralisme Agama Dan Implementasinya Dalam Pendidikan Islam (Perspektif Al Qur’An) (Ai-65)"

Back To Top