loading...
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia secara normatif-konstitusional ialah negara berdasarkan hukum, atau yang sering disebut sebagai negara hukum. Ditengah-tengah itu, polisi ialah salah satu pilar yang penting, karna tubuh tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dalam mewujudkan janji-janji aturan menjadi kenyataan.
Kita sanggup melihat pada era Reformasi sudah melahirkan paradigma gres dalam segenap tatanan kehidupan bermasyrakat, berbangsa dan bernegara yang ada dasarnya memuat koreksi terhadap tatanan usang dan penyempurnaan kearah tatanan indonesia gres yang lebih baik. Paradigma gres tersebut antara lain supermasi hukum, hak azasi manusia, demokrasi, transparansi dan akuntabilitas yang diterapkan dalam praktek penyelenggara pemerintahan negara termasuk didalamnya penyelenggaraan fungsi Kepolisian.
Pengidentifikasian polisi sebagai birokrasi kontrol sosial memang memdiberi deskripsi terkena polisi itu. Polisi seyogyanya kita lihat tidak spesialuntuk menjalankan kontrol sosial saja, melainkan juga memdiberi pelayanan dan interpretasi aturan secara konkrit, yaitu melalui tindakan-tindakannya. melaluiataubersamaini kontrol sosial, pelayanan dan distributor interpretasi tersebut menjadi lebih lengkaplah bahwa polisi mewujudkan janji-janji hukum.
Tetapi pengidentifikasian yang demikian itu masih belum juga memuaskan untuk melihat apa dan siapa po0lisi itu, apa yang dikerjakannya dan lain sebagainya, secara lebih seksama. Dirasakan, bahwa tubuh yang namanya polisi itu tidak sanggup spesialuntuk dilihat sebagai pegawanegeri atau birokrasi penegakan aturan belaka. Apabila kiya mendekati dan menelaahnya secara sosiologis, cukup banyak “misteri” yang terkandung dalam pekerjaan polisi. Artinya, ia tidak sanggup diukur dengan ukuran hukum.
Dimanapun dunia ini, kepolisian akan selalu ditarik kedua arah yang tidak sama, yaitu arah formal prosedural dan arah sosiologis substansial .Keadaan dasar menyerupai itu mendorong kita untuk memahami pekerjaan kepolisian sebagai sesuatu yang “ berakar peraturan” dan sekaligus juga “ berakar prilaku”. Kalau mempelajari kepolisian juga berarti berusaha mempersembahkan klarifikasi terkena objeknya, menyerupai lazimnya aturan main dalam ilmu pengetahuan, maka kita tidak akan sanggup memahami pekerjaan kepolisian dengan sebaik-baiknya, tanpa masuk kedalam hakikatnya sebagai suatu pekerjaan yang berakar prilaku itu.
Penegakan hukum, penjagaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta pelayanan dan pengayoman masyarakat ialah kiprah pokok polisi sebagai profesi mulia, yang aplikasinya harus berakibat pada asas legalitas, undang-undang yang berlaku dan hak azasi manusia. Atau dengan kata lain harus bertindak secara professional dan memegang isyarat etik secara ketat dan keras, sehingga tidak terjerumus kedalam prilaku yang dibenci masyarakat .
Kenyataan masi mengambarkan , bahwa polisi lebih di kenal oleh masyarakat sebagai tubuh yang pekerjaannya memburu dan menenangani kejahatan. Mendengar kata polisi, segera saja pikiran masarakat tertuju pada pencurian, perampokan, pembunuhan , dan sebagainya. Atau, yang lebih enteng, kemacetan kemudian lintas.
Masyarakat dan polisinya ialah dua aktivitas yang tidak sanggup di pisahkan. Tanpa masyarakat, tidak akan ada polisi dan tampa polisi, proses-proses dalam masyarakat tidak akan berjalan dengan lancar dan produktif. Susah sekali untuk menemukan celah-celah di mana polisi tidak di perlukan. Bahkan rumputpun sudah menjadi syahabat polisi. Hal ini sanggup di saksikan di lapangan yang di capai papan bertuliskan “Dilarang Berjalan di Rumput” Larangan tersebut mengiplikasikan kerja pemolisian, lantaran sekaligus mengundang polisian untuk mengamankan larangan tersebut. Tanpa kehadiran polisi, tidak ada yang akan mengamankan larangan tersebut.
Seperti yang dikemukakan oleh prof. Satjipto Rahardjo bahwa “perilaku polisi ialah wajah aturan sehari-hari”. Apabila kita menyadari bahwa polisi ialah ujung tembok penegakan hukum, yang berarti :polisilah yang secara pribadi berhadapan dengan masyarakat, dan khususnya, pelanggar aturan dalam perjuangan menegakan aturan . melaluiataubersamaini demikian, bagaimana sikap polisi dengan cara-cara kotor dan korup, maka secara otomatis masyarakatpun memandang aturan sebagai sesuatu yang kotor dan korup, juga andaikan pemolisian dikerjakan dengan baik, maka wajah aturan punakan dipandsang baik. Karena itu, pandangan masyarakat wacana polisi akan membawa implikasi pada pandangan mereka terhadap hukum. Pekerjaan pemolisian yang tertanam kedalam masyarakat sanggup kita lihat bagaimana struktur sosial, kultural dan ideologis sudah memilih pemdiberian daerah kepada polisi dalam masyarakatnya, bagaimana ia diterima oleh masyarakat, dan bagaimana ia harus bekerja.
Kekuasaan tunggal negara ditanggan kepolisian pada masa ke-6 dan wewenang kepolisian yang terjadi alat kekuasaan dimasa penjajahan hindu belanda lampau terhadap rakyat menggandung kosekwensi polisi berdarah gerah, sehingga kurang bersahabat hubunggan antara polisi dimata rakyat.
Pertumbuhan kepolisian remaja ini sudah berubah doktrinnya, menjadi “friends partners and dependers of citizen”, dalam arti polisi sebagai belahan tak terpisahkan dari masyarakat dari pada urusan kekuasaan negara.
Perihal sorotan berupa keritikan maupun hujatan terhadap kepolisian, umumnya komunitas pegawanegeri kepolisian sudah amat siap menghadapinya. Sebagian dikarenakan secara faktual polri memang nyata-nyata masih mengidap aneka macam kelemahan sehingga pantas dikeritik. Sebagian lain dikarenakan kuatnya pemahaman bahwa tiruana keritik dan bahkan hujatan dari anggota-anggota masyarakat tersebut intinya ialah bentuk lain dari kecintaan masyarakat terhadap polri.
Pergeseran serta perubahan dalam fungsi yang harus dijalankanoleh suatu tubuh dalam masyarakat ialah hal yang biasa. Hal yang agak istimewa ialah bahwa kita kini hidup dalam dunia dan masyarakat yang sedang mengalami perubahan yang sangat intensif dibandingkan dengan waktu-waktu yang lalu.
Pekerjaan polisi yang berhadapan langswung dengan masyarakat itu berkarakter penuh, sehingga tidak spesialuntuk sanggup dikatakan, bahwa mereka berhadapan dengan rakyat, melainkan lebih dari itu; berada ditenggah-tenggah rakyat. Polisi juga disebut-sebut sebagai melaksanakan jenis pekerjaan yang tidak sederhana, yaitu melaksanakan pembinaan dan sekaligus pendisiplinan masyarakat. kedua-duanya mempunyai ciri-ciri yang beda sekali, yang disatu pihak sanggup bisa dilambangkan dalam bentuk “ pistol dan borgol”, sedang dilain pihak mempolisi masyarakat “dengan hati” atau “setangkai”
Berbagai alasan memang sanggup dikemukakan untuk mencoba menerangkan mengapa begitu besar perhatian masyarakat terhadap polisinya. Mungkin lantaran ketertiban, keamanan dan ketentraman ialah hal-hal yang sangat merisaukan masyarakat, sedang polisilah yang bertugas untuk menanganinya. Hal tersebut mungkin juga disebabkan karna polisi ialah birokrasi yang bekerja secara pribadi ditenggah-tenggah masyarakat, sehingga resiko bagi terjadinya pergeseran dan pembenturan dengan masyarakat juga menjadi tinggi. Karena begitu dekatnya polisi dengan masyarakat, maka masyarakat pun banyak impian kepada polisinya, sehingga demikian kinerja polisi pun banyak menerima perhatian.
Sebagai materi untuk meningkatkan diri, gambaran polisi yang dad harus diperjelas dengan alasan yang menyertai gambaran tersebut. Citra polisi sanggup terbentuk setidaknya melalui dua pandangan yaitu pandangan obyektif dan subyektif. Secara obyektif masih ada belum sempurnanya-belum sempurnanya pada polisi, contohnya belum sempurnanya personil anggaran dan masukana pramasukana. Namun kondisi obyektif polisi ketika ini sanggup dipersepsikan tidak sama-beda berdasarkan pihak yang menilai. Masyarakat sanggup memandang polisi berdasar standar, nilai, latar belakang dan pengalaman mereka. Pandangan subyektif ini berkembang terus dimasyarakat.
Salah satu tantangan yang dihadapi polisi dalam pelaksanaan kiprah kesehariannya ialah adanya kesentidakboleh masyarakat atas tugas-tugas polisi seharusnya dengan kenyataan yang terjadi ditenggah-tenggah masyarakat. untuk mencapai pelaksanaan kiprah kepolisian tersebut, polisi melaksanakan sejumlah tindakan-tidakan sesuai kiprah dan wewenang yang didiberikan dalam pengertian bahwa kepolisian harus menjalankan kiprah dan wewenangnya setiap waktu mencakup : pelayanan masyarakat, menjaga ketertiban dan keamanan serta penegakan hukum.
Profesionalisme polisi sanggup tumbuh melalui peningkatan standar profesi yang tinggi dan kiprah profesi sebagai panutan sadar aturan serta prilaku sesuai dengan aturan yang dicetuskan mulai dari sistem “ recruitmen and training” kepolisian sesuai dengan tuntutan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Adalah tidak mungkin untuk mewujudkan penampilan kerja polisi dalam bentuk yang ideal. Yang sanggup dilakukan, baik oleh pimpinan polri maupun unsur-unsur lain dimasyarakat, ialah mempersempit jarak antara identitas tersebut dengan realitas yang hidup remaja ini. Mangkin semit atau lebih lebarkah jarak itu, antara lain sanggup diukur lewat aneka macam respon masyarakat terhadap penampilan kerja anggota-anggota polri.
Pandangan diatas sesungguhnya kurang menggambarkan apa yang sesungguhnya sedang terjadi dalam tubuh kepolisian. Dapat disebut bahwa kepolisian sudah terjadi pergeseran yang makin terasa besar lengan berkuasa dari polisi sebagai “Pemburu Kejahatan” kepada polisi yang menjalankan “pekerjaan sosial”. Pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak spesialuntuk mengandung isi sosial biasa,melainkan juga ekonomi, politik dan kebudayaan.
Menjelang final tahun 1992, ada kesibukan istimewa dikalangan Polri. Yaitu, membuat perhitungan dengan prestasinya selama ini. Polisi Republik Indonesia bukan suatu ” tubuh diatas angin”, melainkan yang akuntabel terhadap rakyatnya. Perhitungan tersebut dilakukan dengan cara istimewa dan yang tidak lazim dilakukan di negeri ini. Polisi Republik Indonesia membuat perhitungan dengan cara mengambarkan kepada masyarakat, belum sempurnanya-belum sempurnanya yang ada padanya selama ini. Dan itupun dilakukannya dengan tidak tanggung-tanggung, yaitu dengan menyampaikan dengan adanya sejumlah polisi berprilaku jelek (Polda Jatim) dan laporan wacana suap dalam dunia kepolisian.
Kedudukan Polisi Republik Indonesia yang tidak sama ditengah-tengah masyarakat akan sanggup mempengaruhi kinerjanya dalam pelaksanaan tugasnya. Dalam ilmu sosial dan semacam konsep stgmatis yang mengatakan, bahwa lembaga-lembaga dalam suatu masyarkat akan membawa ciri masyarakat bersangkutan. Konsep tersebut kemudian dituangkan kedalam rumus, “bagaiman masyrakatnya, begitu pula lembaganya”. melaluiataubersamaini demikian sanggup dikatakan juga, bahwa masyarakat akan mempunyai lembaga-lembaganya yang berkarakter sama dengan kualitas masyarakat itu sendiri.
melaluiataubersamaini demikian sanggup dikatakan bahwa stempel masyarakat akan selalu menempel pada sekalian forum yang dimiliki masyarakat tersebut. Polisi sebagai salah satu forum dalam masyarakat tidak ialah perkecualian, kualitas pekerjanya juga akan sangat ditentukan oleh keadaan, tabiat serta kualitas masyarakat disitu. melaluiataubersamaini demikian, stempel masyarakat indonesia juga menempel pada Polri.
Harapan masyrakat terhadap kepolisian itu sebetulnya spesialuntuk dua hal : Pertama, mereka membutuhkan keamanan dan santunan Polisi Republik Indonesia secara terbaik baik atas dirinya, maupun keluarga nya dan harta bendanya; kedua, mereka menginginkan pelayanan yang lebih baik dari Polri.
Dari kondisi mekanisme penegakan aturan dengan aneka macam kendalanya bukan saja membuat mekanisme penegakan aturan menjadi tak sesuai yang diharapkan, lebih dari itu ialah munculnya aneka macam keluhan masyarakat wacana pelaksanaan kiprah dan pungsi kepolisian. Berbagai keluhan masyarakat ( public complint ) tersebut antara lain ialah : polisi kemudian lintas yang kerap terlambat hadir di jalan yang macet, atau anggota satuan bhyangkara ( Sabhra ) yang meminta “ salam tempel “ dari kendaraan-kendaraan angkutan, ialah salah satu gambaran polisi yang tertanam dibenak masyarakat. contoh lain, ialah sikap anggota reserse yang ogah-ogahan dalam merampungkan kasus, atau petugas binmas yang “ asal sudah selesai” ketika memdiberi penyuluhan. Mau tak mau juga masih ialah gambaran yang dipersepsikan oleh masayrakat wacana pribadi polisi dan organisasi kepolisian remaja ini
Dewasa ini, perjuangan Polisi Republik Indonesia membuatkan profesonalismenya terus diperjuangkan. Usaha-usaha itu terus dilakukan antara lain dengan jalan mengikutsetakan anggotanya kedalam aneka macam kegiatan-kegiatan lainnya yang sanggup menunjang peningkatan kualitas kerja dan profe4sionalisme Polri.
Hasil penelitian PSKP UGM tahun 1998-1999 berhubungan dengan Dinas Penelitian dan Pengembangan Mabes Polisi Republik Indonesia menyampaikan hasil, pada bidang penegakan aturan masih tingginya pelanggaran aturan oleh anggota dan penyalahgunaan wewenang oleh pegawanegeri kepolisian, yang tercermin adanya moral yang rendah, pada bidang keamanan masih ada tingginya rasa tidak aman, pada bidang pelayanan terdapat kewibawaan anggota yang rendah. Selanjutnya penelitian tersebut memokuskan pada penyebab utama rendahnya profesionalisme polisi lantaran aspek structural, institusional dan kultural. Jati diri Polisi Republik Indonesia menunjkkan indikasi profesionalisme rendah, militeristik, sehingga sikap pelayanan kaku, kapasitas intelektual anggota bintara dan tamtama rendah, komunikasi kerja yang patuh saja pada atasan, dan kurang peluang untuk berlaku kritis. Hasil penelitian tersebut perlu ditindak lanjuti guna meningkatkan profesionalisme Polri.
Upaya meningkatkan profesionalisme sanggup pula dilihat dari pelepasan POLRI dari struktur organisasi ABRI mulai tanggal 1April 1999. kebijakan tersebut setidaknya sudah memdiberi nuansa gres bagi Polisi Republik Indonesia sendiri, paling tidak Polisi Republik Indonesia sudah sanggup “mandiri” didalam melaksanakan kiprah dan fungsinya. Polisi Republik Indonesia sanggup benar-benar bertindak sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat.
Adapun pentingnya penelitian wacana Analisis kinerja polri POLTABES jogjakarta yakni melihat lebih jauh sektor-sektor rell kenerja Polisi Republik Indonesia khususnya Poltabes jogjakarta. sebagai materi pertimbambangan dan menjadi sebuah aturan aturan dari sebuah forum organisasi formal yang mungkin menjadi sebuah pola pembelajaran, apa saja yang sudah dikerjakan, dan melihat lebih dalam kinerja-kinerja polri yang dalam hal ini sudahkah sanggup dikatakan Profesional dalam mengemban tugas-tugas negara.
Berdasarkan uraian diatas, intinya persepsi wacana kinerja Polisi Republik Indonesia ialah dilema penting yang perlu dilihat lebih lanjut dalam dalam rangka mewujudkan profesionalisme polisi dalam menaggapi tantangan yang semakin berat.
Tag :
Ilmu Sosial
0 Komentar untuk "Profesionalisme Polisi Republik Indonesia (Studi Penelitian Wacana Analisis Kinerja Polri Di Poltabes D.I Yogyakarta) (Is-4)"