Realisasi Kesantunan Berbahasa Di Lingkungan Terminal (Sebuah Kajian Sosiopragmatik) (P-32)

loading...

Mendengar kata pedagang asongan, supir, kondektur, dan calo mungkin sudah tak abnormal lagi di indera pendengaran kita. Pedagang asongan ialah para pedagang yang biasa menjajakan dagangannya di sekitar terminal dan di dalam bus-bus. Mereka selalu berupaya untuk menarikdanunik pembeli supaya membeli dagangannya, yang kadang juga suka terlihat agak memaksa. Supir ialah para pengemudi bus atau angkot yang selalu terlihat di lingkungan terminal. Kondektur ialah orang yang memmenolong supir untuk menarikdanunik penumpang ke dalam angkot atau bus, sedangkan calo ialah mediator atau reseller. Kata calo kadang bersifat negatif lantaran apa yang calo lakukan ialah memakai kesempitan orang menjadi suatu peluang. Calo juga identik dengan preman atau penguasa tempat tertentu yang sudah menjadi objek pencariannya.


Di lingkungan terminal, kita terkadang sering mendengar pembicaraan yang diucapkan oleh pedagang asongan, supir, kondektur, dan para calo yang sering mengucapkan kata-kata kasar. Penulis sendiri pernah melihat bagaimana para supir angkot atau bus dengan wajah ‘terpaksa’ memdiberi sejumlah persenan kepada calo. Mungkin bagi sebagian orang hal yang dilakukan para calo itu biasa saja, sehingga mereka pantas mendapatkan sejumlah uang.




Lalu apa yang akan terjadi kalau para supir dan kondektur tersebut tidak mempersembahkan uang yang tidak sesuai dengan harapan para calo. Yang terjadi selanjutnya ialah teriakan kata-kata makian atau kata-kata bernafsu (sarkasme) yang keluar dari lisan calo tersebut kepada supir dan kondektur. Sarkasme yang keluar dari lisan calo-calo itu biasanya ialah nama-nama hewan ibarat ‘anjing’, ‘monyet’, ‘babi’ dan sebagainya. Jika supir tidak mendapatkan perkataan yang dilontarkan calo adakala mereka pun membalas dengan makian yang lebih kasar, sehingga sering terjadi “adu mulut” antara para calo, supir, dan kondektur. Hal ini juga sering diikuti oleh pedagang asongan yang sering menambah suasana menjadi ricuh.





Salah satu fenomena kebahasaan yang penulis dapatkan ialah tuturan yang diucapkan oleh salah satu calo dan supir angkot di terminal Cicaheum :
Supir : “Yeuh duitna, dua rebu nya?”
Calo : “ Anjing mguah mah ngan sakieu!”
Supir : “ Terus mentana sabaraha? Urang ge can nyetor, teu boga duit sia!”
Calo : “ Mbung nyaho aing mah, sarebu deui atuh!”
Supir : “ Lebok tah duitna, blegug mguah mah!”
Calo : “Eh…dasar supir monyet”.

Fenomena kebahasaan di atas ialah penggalan beberapa kalimat realisasi kesantunan berbahasa yang diucapkan oleh calo dan supir angkot di terminal Cicaheum. Penulis akan mereview fenomena kebahasaan yang terjadi pada tiga bahasa, yaitu bahasa Sunda, bahasa Jawa (Cirebon), dan bahasa Indonesia. Banyak hal yang membuat kata-kata bernafsu keluar dari pemakainya. Sarkasme itu sendiri kadang sanggup memancing kemarahan orang yang dituju, tapi kadang juga tidak kuat lantaran itu sudah menjadi hal yang lumrah untuk keduanya.
Dilihat dari sudut penuturnya, bahasa itu berfungsi personal atau langsung (Halliday 1973; Finnocchiaro 1974; Jakobson 1960 sebut fungsi emotif). Maksudnya, si penutur menyatakan perilaku terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan spesialuntuk mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memberikan emosi itu sewaktu memberikan tuturannya. Dalam hal ini pihak si pendengar juga sanggup menduga apakah si penutur sedih, marah, atau gembira.
Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laris pendengar (Finnocchiaro 1974; Halliday 1973 sebut fungsi instrumental; dan Jakobson 1960 sebut fungsi retorikal). Disini bahasa itu tidak spesialuntuk membuat si pendengar melaksanakan sesuatu, tetapi melaksanakan kegiatan yang sesuai dengan yang dimaui si pembicara. Hal ini sanggup dilakukan si penutur dengan memakai kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, imbauan, permintaan maupun rayuan.
Bila dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa disini berfungsi fatik (Jakobson 1960; Finnocchiaro 1974 sebut interpersonal; dan Halliday 1973 sebut interactional), yaitu fungsi menjadi hubungan, memelihara, memberikan perasaan berteman dekat, atau solidaritas nasional.
Dalam masyarakat, bahasa yang dipakai dalam berkomunikasi sangat beragam. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan spesialuntuk disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga lantaran interaksi sosial yang mereka lakukan beragam.
Menurut Moeliono (1980:17), mengikuti Quirk, Grenbaum, Leech, Svarvik (1972), ditinjau dari sudut pandangan penutur, ragam sanggup diperinci berdasarkan patokan daerah, pendidikan, dan perilaku penutur.
Sarkasme ialah sejenis majas yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dengan menyakiti hati (Purwadarminta dalam Tarigan, 1990:92). Apabila dibandingkan dengan ironi dan sinisme, maka sarkasme ini lebih kasar. Menurut Badudu (1975:78), sarkasme ialah gaya sindiran terkasar. Memaki orang dengan kata-kata bernafsu dan tak sopan di telinga. Biasanya diucapkan oleh orang yang sedang marah.
Berbahasa ialah kegiatan sosial. Seperti kegiatan sosial lainnya, kegiatan bahasa sanggup terwujud apabila insan terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, pembicara dan lawan bicara sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penerapan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan bicaranya. Setiap penerima tindak ucap bertanggung tanggapan terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi sosial itu (Alan dalam Wijana, 2004:28).
Di dalam berbahasa juga terdapat etika komunikasi, dan di dalam etika komunikasi itu sendiri terdapat moral. Moral memiliki pengertian yang sama dengan kesusilaan yang memuat anutan wacana baik dan buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau jelek (Burhanudin Salam, 2001:102).

Etika juga sanggup diartikan sebagai ilmu yang membicarakan duduk kasus perbuatan atau tingkah laris manusia, mana yang dinilai baik dan mana yang jahat. Etika sendiri juga sering dipakai dengan kata moral, susila, budi pekerti dan watak (Burhanudin Salam, 2001:102).
Sementara itu, secara sederhana Prof. I. R. Poedjowijatna (1986), menyampaikan bahwa samasukan etika khusus kepada tindakan-tindakan insan yang dilakukan secara sengaja. melaluiataubersamaini demikian, sanggup disimpulkan bahwa realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan terminal banyak yang tidak mengandung etika.

Dalam berkomunikasi, tidak akan pernah lepas dengan adanya rujukan berbahasa yang diucapkan kasar, baik berupa olok-olok atau sindiran yang menyakitkan hati. Seperti tuturan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur tidak mengandung unsur kesantunan berbahasa. Misal, simpel marah, kata-katanya kasar, dan bersifat memaksa ketika meminta uang lantaran mereka merasa penguasa tempat tersebut.

Suparno menandakan dalam artikelnya, bahwa ragam bahasa yang tidak santun ini menjadi hal yang lazim diucapkan. Sarkasisasi tersebut justru mengakibatkan keakraban tanpa sekat strata, sehingga mereka yang memakai ragam bahasa tersebut sanggup menikmatinya dengan bahagia dan gembira hati.

Fenomena kebahasaan ini tentu saja menarikdanunik untuk diteliti lantaran sanggup menambah wawasan keilmuan linguistik ketika ini. Penulis menentukan analisis kesantunan berbahasa pada tuturan orang-orang penghuni terminal berdasarkan pertimbangan bahwa; ragam bahasa yang bernafsu kerap kali menjadi instrumen komunikasi dalam pergaulan sebagian masyarakat Indonesia. Baik kalangan yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan, lantaran penelitian terkena kesantunan berbahasa ini masih jarang dilakukan, maka penulis tertarik untuk mereviewnya. Sepengetahuan penulis, ada beberapa yang sudah mereview wacana kekamasukan berbahasa, diantaranya Ai Sulastri (2004) dengan judul ‘Gejala Disfemisme (Bentuk Pengamasukan) Dalam Bahasa Indonesia’. Hasil penelitian ini ialah ternyata aneka macam kekamasukan berbahasa dalam bahasa Indonesia. Para pemakai bahasa bernafsu ini pun semakin merasa nyaman dengan apa yang mereka lontarkan. Selain Ai Sulastri juga ada Lela Febrianti (2006), dengan judul ‘Sarkasme Pada Film Anak-anak’. Hasil dari penelitian ini ialah bahwa bentuk kekamasukan berbahasa tidak spesialuntuk terjadi pada orang cukup umur saja, tetapi sudah menjalar ke bawah umur dengan ditayangkannya film bawah umur yang bahasanya terkadang kasar.

Dari beberapa sumber yang disebutkan itu, sanggup diketahui bahwa penelitian wacana ‘Realisasi Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Terminal’ belum dilakukan secara khusus. Untuk itu, melalui penelitian ini akan dicoba melaksanakan telaah terhadap tuturan para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal yang mengandung kekamasukan berbahasa dengan memperhatikan tuturan yang dilakukan oleh mereka.
0 Komentar untuk "Realisasi Kesantunan Berbahasa Di Lingkungan Terminal (Sebuah Kajian Sosiopragmatik) (P-32)"

Back To Top