loading...
Indonesia ialah negara hukum yang demokratis dan konstitusional, yaitu negara demokrasi yang berdasar atas aturan dan konstitusi.Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).[1]Indonesia sebagai negara yang menempatkan konstitusisebagai aturan tertinggi, menimbulkan konsekuensi bahwa negara harus menyediakanmekanisme yang menjamin ketentuan-ketentuan konstitusi dilaksanakan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Guna menjamin tegaknya dan dilaksanakannya konstitusi, maka Indonesia membentuk Mahkamah Konstitusi sebagai forum peradilan yang berfungsi mengpertama konstitusi (the guardian of constitution).Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengpertama konstitusi diatur dalam konstitusi itu sendiri, yakni ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI 1945.Adapun salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi ialah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar NRI 1945.Bilamana Mahkamah Konstitusi menganggap ketentuan suatu undang-undang berperihalan dengan konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan undang-undang tersebuttidak mempunyai kekuatan aturan mengikat.[2]
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar NRI 1945 turut mencakup beberapa aspek kewenangan dalam mempersembahkan penafsiran terhadap suatu ketentuan undang-undang biar bersesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi.Hasil tafsir Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan aturan yang dimaksudkan biar ketentuan suatu undang-undang bermakna ambigu, tidak jelas, dan/atau multitafsir.Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mempersembahkan tafsiran konstitusional atas ketentuan undang-undang turut menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya forum penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution).
Pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi harus senantiasa ditujukan untuk menjamin biar ketentuan konstitusi dilaksanakan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Namun kenyataannya, pelaksanaan kewenangan pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi menimbulkan polemik mabadunga Mahkamah Konstitusi melaksanakan ultra petita dalam beberapa putusannya.Adapun ultra petitayang dimaksud di sini, ialah pelanggaran dalam aturan program perdata(privat), yaitu keadaan dimana hakim memutus melebihi dari apa yang menjadi tuntutan pemohon (petitum).[3]
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat ultra petitadinilai melanggar asas non ultra petita yang dikenal dalam aturan program perdata.Namun, sebagian pihak menilai bahwa asas non ultra petita dalam aturan privat yang menyangkut hubungan orang-perorangan, tidak sanggup diterapkan dalam kasus pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi yang termasuk dalam ranah aturan publik.Hal ini sesuai dengan pendapat Jimly Asshiddiqie bahwa, larangan ultra petita spesialuntuk ada dalam peradilan perdata.[4]Ultra petita dalam aturan publik dinilai sahuntuk dilakukan lantaran menyangkut kepentingan umum,terlebih dalam masalah pengujian undang-undang sebabketentuan undang-undang mempunyai kekuatan aturan yang mengikat umum.
Salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi melaksanakan ultra petitadidasari pada alasan bahwa, bila inti atau jantung dari sebuah undang-undang sudah dibatalkan, maka lebih baik bila secara menyeluruh undang-undang tersebut dibatalkan dan tidak mempunyai kekuatan aturan yang mengikat.[5]Di samping itu, pertimbangan Mahkamah Konstitusi melaksanakan ultra petita didasari pula pada pertimbangan keadilan. Menurut Bagir Manan, ultra petita dalam putusan Mahkamah Konstitusi sanggup dibenarkan sepanjang pemohon mencantumkan undangan ex aequo et bono (memutus demi keadilan) dalam permintaan pengujian undang-undang tersebut.[6]Asas keadilan menghendaki pengadilan lepasdari belenggu formalitas biar leluasa dalam membuat putusan yang adil
tanpa harus terikat pada ketentuan atau isi undangan resmi.[7]
tanpa harus terikat pada ketentuan atau isi undangan resmi.[7]
Konsep keadilan itu sendiri terbagi atas dua jenis,yakni keadilan substantif dan keadilan prosedural.Sebagian besar masyarakat Indonesia tentunya menginginkanHakim Konstitusi biar berpihak pada perwujudan keadilan substantif daripada keadilan prosedural semata.Keadilan prosedural diyakini spesialuntuk mengacu pada suara undang-undang semata, sehingga sepanjang suara undang-undang terwujud maka tercapailah keadilan secara formal namun belum tentu dicapainya perasaanadil secara moral.
Ironisnya, penyimpangan asas non ultra petita oleh Mahkamah Konstitusi demi mewujudkan keadilan substantif ternyata dianggap sebagai bentuk arogansi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).Sebagai forum legislatif yang membentuk undang-undang, dewan perwakilan rakyat menilai bahwa Mahkamah Konstitusi sudah diktatorial dalam membatalkan undang-undang yang dibentuk oleh DPR.Oleh karenanya, dewan perwakilan rakyat lalu membentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 ihwal Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 ihwal Mahkamah Konstitusi. Dimana ketentuan Pasal 45A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, melarang Hakim Mahkamah Konstitusi melaksanakan ultra petita.[8]
Ketentuan ini dinilai sebagai upaya untuk membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai penegak konstitusi dan penafsir konstitusi.Sehingga, pemohon yang merasa dirugikan atas berlakunya ketentuan tersebut kemudianmengajukan undangan pengujian terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tersebut. Atas undangan tersebut, Mahkamah Konstitusi lalu memutus bahwa Pasal 45A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 berperihalan dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan aturan mengikat.[9]Berdasarkan putusan tersebut, maka Mahkamah Konstitusi tetap mempunyai kewenangan untuk memutus kasus melebihi yang dimohonkan (ultra petita).[10]
Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud untuk mengkaji permasalahan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan ultra petita, alasannya penyimpangan terhadap asas non ultra petita ini ialah praktek yang gres dalam sistem peradilan di Indonesia.Adapun alasan Mahkamah Konstitusi melaksanakan ultra petita demi terwujudnya keadilan substantif ialah hal yang patut dikaji lebih lanjut untuk mengetahui sejauh mana relevansi konsep keadilan substantif dalam mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai forum penegak dan pengpertama konstitusi di Indonesia.
Tag :
Hukum
0 Komentar untuk "Tinjauan Yuridis Prinsip Ultra Petita Oleh Mahkamah Konstitusi Sebagai Upaya Mewujudkan Keadilan Substantif Di Indonesia (Hk-30)"