Batas-Batas Hak Suami Dalam Memperlakukan Isteri Ketika Nusyuz Dan Kemungkinan Hukuman Pidananya (Ai-12)

loading...
Latar Belakang Masalah
Perkawinan sebagai perbuatan aturan antara suami dan isteri, bukan saja untuk merealisasikan ibadah kepada-Nya, tetapi sekaligus mengakibatkan akhir aturan keperdataan di antara keduanya. Namun demikian, lantaran tujuan perkawinan yang begitu mulia yaitu untuk membina keluarga bahagia, abadi, awet menurut ketuhanan yang maha Esa, maka perlu diatur hak dan kewajiban antara masing-masing suami dan isteri tersebut. Apabila hak dan kewajiban mereka terpenuhi, maja dambaan berumah tangga dengan didasari rasa cinta dan kasih akung akan sanggup terwujud.

Konsep sebuah “keluarga” biasanya tidak sanggup dilepaskan dari empat perspektif diberikut: (1) keluarga inti (nuclear family); bahwa institusi keluarga terdiri dari tiga komponen pokok, suami, isteri dan anak-anak. (2) keluarga harmonis. (3) keluarga ialah kelanjutan generasi. (4) keluarga ialah keutuhan perkawinan. Dari keempat perspektif ini sanggup disimpulkan bahwa institusi keluarga (rumah tangga) ialah suatu kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu (yang terikat dalam perkawinan), bawah umur yang bertalian akrab dengan unsur kakek-nenek serta saudara yang lain, tiruana mengatakan kesatuanya melalui harmoni dan adanya donasi tugas yang jelas.

Umumnya setiap orang yang akan berkeluarga niscaya mengharapkan akan terciptanya kebahagiaan dan keharmonisan dalam rumah tangganya. Namun kanyataanya tidak selalu sejalan dengan impian tiruanla. Ketegangan dan konflik kerap kali muncul, perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran, saling mengejek atau bahkan memaki pun lumrah terjadi, tiruana itu sudah semestinya sanggup diselesaikan secara cendekia dengan jalan bermusyawarah, saling berdialog secara terbuka. Dan pada kenyataannya banyak kasus dalam rumah tangga meskipun terlihat kecil dan sepele namun sanggup mengakibatkan terganggunya keharmonisan hubungan suami isteri. Sehingga memunculkan apa yang biasa kita kenal dalam aturan Islam dengan istilah nusyuz.

Istilah nusyuz atau dalam bahasa Indonesia biasa diartikan sebagai perilaku membangkang, ialah status aturan yang didiberikan terhadap isteri maupun suami yang melaksanakan tindakan pembakangan atau “purik” (Jawa) terhadap pasanganya. Dan ini sanggup disebabkan oleh banyak sekali alasan, mulai dari rasa ketidakpuasan salah satu pihak atas perlakuan pasanganya, hak-haknya yang tidak terpenuhi atau adanya tuntutan yang berlebihan terhadapnya. Kaprikornus kasus nusyuz seharusnya tidak selalu dilihat sebagai kasus perongrongan yang dilakukan salah satu pihak terhadap yang lain, tetapi juga terkadang harus dilihat sebagai bentuk lain dari protes yang dilakukan salah satu pihak terhadap kesewenang-wenangan pasangannya.

Selama ini memang kasus nusyuz terlalu dipandang sebelah mata. Artinya, nusyuz selalu saja dikaitkan dengan isteri, dengan anggapan bahwa nusyuz ialah perilaku ketidakpatuhan isteri terhadap suami. Sehingga isteri dalam hal ini selalu saja menjadi pihak yang dipersalahkan. Begitu pula dalam kitab-kitab Fiqh, kasus nusyuz seolah-olah ialah status aturan yang khusus ada pada perempuan (isteri) dan untuk itu pihak pria (suami) didiberi kewenangan atau beberapa hak dalam menyikapi nusyuznya isteri tersebut. Tindakan pertama yang boleh dilakukan suami terhadap isterinya ialah menasehatinya, dengan tetap mengajaknya pulas bersama.

Tidur bersama ini ialah simbol masih harmonisnya suatu rumah tangga. Apabila tindakan pertama ini tidak membawakan hasil, boleh diambil tindakan jedua, yaitu memisahi kawasan pulasnya. Apabila dengan tidakan kedua isteri masih tetap tidak mau berubah juga, suami diperbolehkan melaksanakan tindakan ketiga yaitu memukulya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qur'an dalam surat an-Nisa’ (2): 34.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri disebutkan dalam pasal 80 ayat (7), “kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila isteri nusyuz”. Yang dimaksud dengan kewajiban suami di sini ialah kewajiban memdiberi nafkah, kiswah dan kawasan kediaman bagi isteri. Seperti yang sudah dijelaskan dalam ayat (4) dalam pasal yang sama sebelumnya.

Tindakan-tindakan yang sanggup dilakukan suami tersebut tampaknya sudah menjadi hak mutlaknya dengan adanya justifikasi aturan yang menguatkannya. Dan hal itu sanggup ia lakukan setiap kali ada dugaan isterinya melaksanakan nusyuz. Dalam suatu kutipan kitab klasik ditetapkan, “nusyuz ialah wanita-wanita yang diduga meninggalkan kewajibannya sebagai isteri lantaran kebenciannya terhadap suami, menyerupai meninggalkan rumah tanpa izin suami dan menentang suami dengan sombong.

Apabila dipahami dari pernyataan dalam kitab tersebut, gres pada taraf menduga saja seorang suami sudah boleh mengklaim isterinya melaksanakan nusyuz, terang posisi isteri dalam hal ini rentan sekali sebagai pihak yang dipersalahkan. Isteri tidak mempunyai peluang untuk melaksanakan pembelaan diri, apalagi mengkoreksi tindakan suaminya. Sebaliknya, suami mempunyai kedudukan yang sangat leluasa untuk menghukumi apakah tindakan isterinya sudah sanggup dikatakan sebagai nusyuz atau tidak.

Orang sering mengkaitkan konsep nusyuz sebagai pemicu terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini ada benarnya juga, lantaran kalau isteri nusyuz suami didiberikan banyak sekali hak dalam memperlakukan isterinya. Mulai dari hak untuk memukulnya, menjahuinya, tidak memdiberinya nafkah baik nafkah lakhir maupun batin dan pada alhasil suami juga berhak menjatuhkan talak terhadap isterinya. Tentu saja pihak isteri yang terus menjadi korban eksploitasi baik secara fisik, mental maupun seksual. Hal itu diperparah lagi dengan belum adanya aturan yang terang dalam mempersembahkan batasan atas hak-hak suami tersebut, sehingga kesewenang-wenangan suami dalam hal ini sangat mungkin sekali terjadi. Oleh lantaran itu ketika berbicara kasus isteri yang nusyuz dan hak-hak yang menjadi kewenangan suami, perlu juga diajukan batasan-batasan hak suami itu sendiri secara jelas.

Di pihak lain perlu juga diupayakan biar terciptanya sebuah ruang bagi isteri untuk sanggup melaksanakan pembelaan atas kemungkinan segala tindak kekerasan terhadap dirinya. Dan hal itu sanggup dilakukan dengan menyediakan seperangkat aturan aturan pidana yang sanggup melindungi terjadinya tindak kekerasan terhadap mereka. Hal itu ditempuh lantaran kasus nusyuz berangkat dari aturan aturan yang sudah diterima oleh masyarakat sehingga dalam upaya menyikapinya pun harus memakai perspektif aturan pula. Dan itu sanggup diupayakan kalau batas-batas hak suami dalam memperlakukan isteri dikala nusyuz sudah terang aturannya, sehingga kalau sewaktu-waktu suami melampaui batas-batas yang menjadi haknya, isteri sanggup melaksanakan tuntutan pidana.

Di sinilah yang menjadi nilai penting dari penelitian dalam skripsi ini nanti, disamping untuk mengetahui hingga di mana batas-batas hak suami dalam memperlakukan isterinya yang nusyuz sekaligus menegaskan adanya kemungkinan hukuman pidana atas suami yang melampaui batas-batas haknya tersebut. Hal ini dengan tujuan untuk melindungi isteri dari tindakan diktatorial suami. Apalagi dengan adanya rencana untuk menjadikan kasus pidana dalam rumah tangga menjadi wewenang pengadilan agama.

Tag : Agama Islam
0 Komentar untuk "Batas-Batas Hak Suami Dalam Memperlakukan Isteri Ketika Nusyuz Dan Kemungkinan Hukuman Pidananya (Ai-12)"

Back To Top