Dinamika Organisasi Muhammadiyah Dalam Perebutan Imbas Massa Di Kabupaten Rembang Tahun 1960-2000 (Psj-2)

loading...
A. Latar Belakang
Organisasi massa Muhammadiyah ialah salah satu pergerakan Islam yang pertama dengan bentuk modern dalam era kolonial Belanda. Keberadaan organisasi Muhammadiyah, sebuah organsasi yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta, semakin besar dan diakui masyarakat akhir adannya restu pemerintah kolonial Belanda. Pergerakan ini mendapat statusnya sebagai organisasi yang berbadan aturan (Recht Person) lewat surat ketetapan Gouvernement Besluit yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Yogyakarta (Algemene Secretarie, 22 Agustus 1914: No 81). Surat ini keluar sehabis Muhammadiyah mengajukan undangan dan memenuhi persyaratan sebagai tubuh aturan dengan terlebih lampau mengajukan anggaran dasar, sekalipun dalam realitasnya anggaran dasar Muhammadiyah ketika itu sifatnya masih sangat sederhana (Pasha dan Darban, 2003:171). 


melaluiataubersamaini demikian tidak mengherankan bila pada tahun 1920-an munculnya cabang-cabang organisasi massa Muhammadiyah di daerah-daerah akhir status resmi Muhammadiyah, ditambah dengan izin ekspansi wilayah gerakan organisasi ini ke seluruh wilayah Hindia Belanda (Mulkan,1990:29). Terlebih sehabis dibentuknya utusan dakwah ke aneka macam wilayah Nusantara (Darban,2000).
Organisasi Muhammadiyah memang menemukan perkembangan yang signifikan di daerah pedalaman Jawa, dimana pergulatan pemahaman Islam yang cenderung sinkretis (Geertz,1981; Mulder,1983), atau berdasarkan Woodward (1988) yang lebih menganggap sebuah proses akulturasi antar Islam dan budaya lokal, sudah melahirkan perilaku konfrontatif dan motivasi Ahmad Dahlan serta Muhammadiyahnya, sehingga pendiri organisasi modern ini menemukan permasalahan mendasar umat sekaligus solusi bagi perubahan pemahaman Islam yang selama ini dianggap mengalami stagnasi, terutama terletak pada kehidupan manusianya (Damami,2000). Kegelisahan dalam menatap kondisi umat Islam inilah yang melahirkan pemikiran Ahmad Dahlan untuk mengembalikan posisi umat Islam dengan mereaktualisasi pemahaman Islam sesuai dengan aslinya.

Dalam perkembangan selanjutnya, Muhammadiyah mengalami pdrubahan model dalam gerakan dakwah. Ia lebih nampak sebagai gerakan yang anti dengan tradisi, ritual lokal–dalam arti anti terhadap syirik, tahayul, bid’ah, khurufat yang sudah usang bergulir di kalangan masyarakat ‘tradisional’ dan sudah ialah tradisi yang bebuyutan (Asykuri et.al, 2003:2). Kegigihan Muhammadiyah memberantas TBC (Tahayul, Bid’ah, Churufat), mengakibatkan susah berkembang dalam masyarakat, terutama masyarakat tradisional (Geertz,1981). Meminjam istilah dari Abdul Munir Mulkan (2000), Muhammadiyah dalam perjalanannya lebih mengedepankan syariah sebagai iman ideologi dalam perubahan sosial. Penerapan syariah ini sudah mengantarkan Muhammadiyah berada dalam posisi yang konfrontatif dengan tradisi lokal, baik dengan mayoritas Islam tradisional (NU), maupun dengan
kalangan abangan. Lebih lanjut, berdasarkan Abdulloh (1996), pola pemurnian yang radikal terhadap tradisi yang berlaku di masyarakat lebih banyak diperankan oleh para jago syariah sekaligus ialah fungsi dominasi dari skriptualis syariah yang selama ini ialah rujukan pemahaman fundamentalis.
Secara teoritik meluasnya Muhammadiyah di daerah bukan tempat kelahirannya, mengandung banyak arti, termasuk sebuah upaya Islamisasi maupun sebuah usaha pribumisasi pemahaman Islam murni yang berkelanjutan oleh para anggota Muhammadiyah (Mulkan,2000). Kontak yang dilakukan Muhammadiyah di daerah-daerah, termasuk daerah pesisir utara Jawa, bagi Muhammadiyah ialah sebuah wilayah yang sudah ikut melahirkan sebuah motivasi untuk memformalisasi pemahaman Islam murni, sebuah pemahaman yang berdimensi ganda. Pertama, ialah sebuah proses Islamisasi yang berarti pemberantasan bagi tiruana aspek yang berperihalan dengan skriptualis syariah yang mendasar (Naengkaura,1983). Kedua, ialah sebuah pergeseran konflik yang lebih luas, konflik yang dimaksud disini yaitu pertemuan antara Muhammadiya dengan paham pemurniannya dengan tradisi santri tradisional yang selama ini sudah mengakar berpengaruh di masyarakat di pantai Utara Jawa (Asykuri,2003). Sebuah kekerabatan yang terbentuk lantaran munculnya patron-kliental diantara para tokoh Islam tradisional dengan para santri dan masyarakat sekitarnya (Mulkan,2000).
Sebagai organisasi yang ada di daerah selatan pulau Jawa, berkembangnya Muhammadiyah di daerah sepanjang pantai utara Jawa ialah akhir respon positif pada masyarakat muslim berpendidikan modern
atau terpelajar yang menginginkan suatu perubahan pada umat Islam (Ricklefs,2005:350). Namun demikian, kondisi Muhammadiyah di sepanjang pantai utara Jawa tidak sama dengan keadaan di daerah selatan pulau Jawa, lantaran daerah utara pulau Jawa didominasi oleh pergerakan Islam yang lain yakni, Nahdhatul Ulama yang ialah simbol dari kalangan muslim tradisional dan hingga kini termasuk menjadi salah satu kekuatan terbesar dalam gerakan Islam di Indonesia.

Dalam perkembanganya, pemahaman Nahdhatul Ulama sangatlah tidak sama dan berlawanan dengan apa yang menjadi tujuan berdirinya Muhammadiyah. Akan tetapi satu hal yang tampak jelas, keberadaan, peran, dan bantuan kedua organisasi ini dalam transformasi sosial umat Islam pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya semenjak pertama kelahirannya, pada era kebangkitan nasional hingga ketika ini sungguh besar dan sangat penting. Pluralitas wajah pemahaman agama Islam yang diwujudkan dalam aneka macam organisasi sanggup pula diakibatkan oleh respon dari penganut pemahaman agama yang sama terhadap kondisi sosial yang tidak sama (Pranowo,199:19). Dari perspektif inilah sanggup dijelaskan wacana kecendrungan organisasi atau gerakan Islam yang dikenal sebagai ‘modernis’ yaitu Muhammadiyah lebih mendapat pendukung berpengaruh di daerah perkotaan, sedangkan NU yang berusaha melestarikan tradisi secara kuat, sehingga dikenal sebagai golongan ‘tradisional’ memperoleh imbas berpengaruh di desa-desa, baik pedesaan pesisir maupun pedesaan pertanian.

Sebagai daerah pantai pada umumnya, pantai utara Jawa dalam perjalanan waktu sudah melahirkan situasi kehidupan yang cepat berubah, apalagi didukung adanya kebudayaan yang tidak sama dan bermacam-macam dalam satu lokasi, sudah
melahirkan kehidupan masyarakat pantai cenderung terbuka, sehingga menjadi suatu yang masuk akal bila pantai utara Jawa ikut berperan dalam terjadinya konversi masyarakat ke-dalam agama Islam di Indonesia (Masroer,2004:29). Hubungan masyarakat di pantai utara Jawa yang dimulai melalui saluran-saluran menyerupai asimilasi, akulturasi bahkan yang lebih ekstrim melalui jalan masuk penetrasi sudah membuat masyarakat di pantai utara Jawa mempunyai komunitas yang plural baik dari segi komposisi ras, agama, dan tradisi. Kecendrungan yang muncul dalam kekerabatan komunitas-komunitas masyarakat di pesisir utara Jawa, banyak di perankan oleh Islam. Hal tersebut, berkaitan erat dengan tugas yang cukup mayoritas oleh masyarakat Islam yang pada pertama kehadiran Islam, kota-kota pesisir utara Jawa kalau direkonstruksi ialah tempat berkumpulnya masyarakat Islam dalam penyebaran Islam sekaligus merupaka komponen penting dari kehidupan ekonomi dan sosial (Syam,2005)..
Menjamurnya komunitas Islam di pesisir utara Jawa yang diwujudkan dalam bentuk komunitas sosial masyarakat, termasuk banyaknya pesantren yang didirikan sebagai basis penyebaran pandangan hidup masyarakat yang melembaga dalam kekerabatan keyakinan hidup dan pola kehidupan sosial yang tiruanannya itu dipengaruhi oleh nilai normatif Islam (Zarkasyi,2003:119). Hal tersebut juga ialah jawabanan dari sebuah perkiraan Sartono Kartodirjo yang selama ini mengangap proses penyebaran Islam dan pelembagaan Islam ialah sebuah gerakan politik. Permasalahannya, perkembangan Islam selama ini yang ditawarkan kepada masyarakat–baik itu raja, bangsawan, pedagang dan rakyat jelata, lebih ialah sebuah pandangan hidup daripada sebuah gerakan politik, lantaran Islam disebarkan di Nusantara bukan melalui
melalui penetrasi dan peperangan, tetapi lebih berupa jalinan kekerabatan masyarakat melalui kontak-kontak sosial dan ekonomi (ibid,2003:120).
Selanjutnya, melalui cara tradisional dalam penyebarannya dengan aneka macam konflik yang dialami–baik dari masyarakat setempat maupun penetrasi dari penjajah–, pelembagaan Islam sudah mengalami pasang surut. Ketika bersentuhan dengan kolonial Belanda, masyarakat Islam dengan pesantren menempatkan diri dalam konfrontasi dengan penjajah. Melihat perlawanan dari masyarakat muslim Nusantara, sudah melahirkan kebijakan Islam Politieke dari kolonial Belanda yang bertujuan untuk mengiliminir tugas strategis dan kekuatan Islam, terutama tokoh-tokoh pergerakan Islam (Suminto,1996:2). Munculah kebijakan untuk memasarkan produk pendidikan model barat, kebijakan ini bertujuan untuk membuat pemimpin pribumi yang berorientasi pada nilai-nilai barat. Menurut Aziz Thaba (1996), kebijakan ini ialah sebuah formulasi dari Snouck Hourgronye–tokoh orientalis dan akademisi Belanda yang berdiri dibelakang hegemoni penjajah sebagai penasehat kolonial– yang bertujuan untuk menghilangkan tugas tokoh Islam dengan tokoh pribumi yang berorientasi barat (Azra,1999).

Akhirnya, bukan stabilitas yang diperlukan kolonial Belanda, melainkan sebuah penetangan dan perlawanan yang berasal dari masyarakat dan pergerakan Islam Indonesia–sebagian besar para pemimpin Islam yang berorientasi modern– yang melihat sistem dan pemeberdayaan umat Islam Indonesia sudah sangat tertinggal, demi untuk memenuhi kelangsungan dan kejayaan umat Islam sudah muncul pergerakan Islam modern menyerupai Muhammadiyah, meskipun ada faktor eksternal menyerupai Pan-Islamisme yang berperan melahirkan motivasi para
pemimpin Islam modern. melaluiataubersamaini demikian, Lahirnya organisasimodern Islam semacam Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 1912 ialah sebuah kemajuan sekaligus perubahan cara pandang struktural usaha sekaligus pemahaman Islam yang signifikan bagi kalangan Islam Indonesia.
Secara umum, bila kita berbicara keberhasilan dan munculnya usaha rakyat pribumi dalam bentuk organisasi modern pada jaman pergerakan nasional menyerupai Budi Utomo dan Muhammadiyah tidak terlepas dari faktor Politik Etis yang barangkali bagi kolonial Belanda ialah dilema tersendiri (Niel,1984:118). Berlakunya Politik Etis yang dihembuskan di tanah Hindia oleh sebagian orang Belanda yang mempunyai rasa kemanusian sudah melahirkan sebuah kehidupan gres bagi rakyat pribumi. Dari kebijakan pemerintah kolonial ini, bidang pendidikan ialah wahana yang sangat penting bagi kelangsungan usaha kaum pribumi dalam tahun-tahun diberikutnya. melaluiataubersamaini pendidikan inilah cara berfikir dan pengetahuan kaum pribumi menjadi berkembang dan maju yang pada balasannya sanggup mewujudkan perilaku kritis dan semangat nasionalisme Rakyat Hindia Belanda, meskipun dalam realitanya pendidikan yang didiberikan pemerintah kolonial ini spesialuntuk sanggup dinikmati oleh kalangan rakyat pribumi yang mempunyai status darah biru. Akan tetapi, keadaan sehabis kebijakan Politik Etis digulirkan daerah Hindia Belanda sudah menimbulkan suatu perubahan sosial yang pada pertamanya menimbulkan ketidaksukaan kalangan elit Jawa yang menghendaki status quo, kelompok ini terdiri dari para ningrat yang selama ini sudah menikmati kehidupan dalam kekuasaan pemerintah Hindia Belanda (ibid,1984:71).

Munculnya elit yang berpendidikan barat pada masa pergerakan nasional di Hindia Belanda yang notabene yaitu dunia Timur, pada balasannya akan memunculkan elit gres dengan beberapa ideologi yang hingga kini mewarnai kekuasaan politik (Kartodirjo,1983:159). Adanya Politik Etis untuk kalangan masyarakat santri di daerah Hindia sudah melahirkan suatu elit yang berpendidikan barat, tetapi mempunyai corak pemikiran dan visi keislaman yang kuat. Perubahan yang terjadi demikian pada balasannya sudah melahirkan kelompok pemikir-pemikir Islam yang didasari nasionalisme mulai melaksanakan langkah-langkah usaha yang modern. Kendati demikian, munculnya pemikiran sekaligus para tokoh yang mengaktualisasikan Islam sebagai tolak ukur usaha dengan metode modern muncul akhir Politik Etis, tetapi para tokoh ini tidak menjadikan barat sebagai contoh berfikir, tetapi Timur Tengah yang menjadi contoh berfikir. Disamping itu dalam waktu bersamaan di dunia Arab sedang bergolak usaha yang menitikberatkan Pan Islamisme yang di gerakan para tokoh menyerupai Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh sudah menghipnotis secara ekternal kemunculan organisasi Islam Modern, salah satunya Muhammadiyah (Suwarno,2000:170). melaluiataubersamaini demikian, Politik Etis oleh kalangan Islam di Jawa khususnya dimanfaatkan untuk berjuang dengan konsep perjuang`n modern yang bercorak Islam.

Sebagai kegiatan yang diberlakukan dengan tujuan pertama untuk mempersembahkan kesan balas kebijaksanaan kepada daerah jajahan ini secara tidak eksklusif menjadi faktor munculnya kesadaran usaha berorganisasi di kalangan masyarakat muslim Indonesia, apalagi pada kaum terpelajar yang menghendaki usaha dengan cara modern (Damami,2000:2).

Didukung keadaan bangsa yang terjajah, fungsi dan tugas umat Islam menjadi terhambat. Munculnya Muhammadiyah yang ialah organisasi modern pada ketika bangsa Indonesia dijajah sudah melahirkan sebuah motivasi sekaligus sebuah harapan bagi masyarakat. Motivasi ini berupa daya tarik pembaharuan dan sistem organisasi yang disusun modern, sehingga membuat gerakan Muhammadiyah mempunyai daya tarik bagi tiruana lapisan masyarakat Islam, baik masyarakat kelas bawah, kalangan birokrat bahkan hingga kaum terpelajar yang mendapat pdndidikan barat. Selain itu, terjalinnya kekerabatan yang bersifat horisontal kelembagaan yang saling menguntungkan antara organisasi Budi Utomo dan Muhammadiyah ialah sebuah contoh kekerabatan kerjasama yang sangat penting dalam masa pergerakan nasional.

Kontribusi yang sangat penting dari anggota Budi Utomo kepada Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya, yaitu berupa pengalaman anggota Budi Utomo yang dituangkan dalam bentuk pendirian Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi modern dan memmenolong pembentukan menejemen organisasi berdasarkan pengalaman mereka. Satu hal yang tidak sanggup dilupakan, sekalipun KH. Ahmad Dahlan cukup bersahabat dengan organisasi Budi Utomo, namun sepertinya orientasi revivalisme kebudayaan Jawa yang diperjuangkan organisasi Budi Utomo tidak mempengaruhinya, lantaran revivalisme kebudayaan (yang terbatas Jawa) menyerupai itu tidak memuaskan visi ke depan KH. Ahmad Dahlan untuk memecahkan problem masyarakat (Damami,2000:102).

Organisasi Muhammadiyah yang ialah wadah usaha kelompok muslim intelektual yang muncul dalam masa pergerakan nasional ialah salah satu organisasi yang berjuang dengan konsep modern dan menggunakan
identitas Islam yang sangat kental dalam pergerakannya. Melihat kenyataan menyerupai itu, sangat ketara sekali bila pergerakan yang didirikan oleh Ahmad Dahlan yang sudah mendapat semangat Pan Islamisme yang didengungkan di dunia Islam, semenjak munculnya sudah memakai metode organisasi yang menitikberatkan pada pembentukan masyarakat Islam yang ideal, maka berdasarkan parameter tersebut banyak para pengamat yang mengkategorikan Muhammadiyah dengan sendirinya sebagai sebuah gerakan keagamaan Islam yang modern (Damami,2000:1). Kenyataannya, hal ini didukung dan dibuktikan dengan adanya struktur organisasi yang berada di tataran pusat hingga daerah (Noer,1996:84).
Menurut Adaby Darban (2000) bahwa, komunitas Muhammadiyah lahir dengan membentuk sebuah komunitas dengan penerapan Islam secara formal dan berorientasi pada kegiatan yang bersifat sosial, menyerupai pembangunan Masjid, sekolah model barat dan klinik kesehatan. Kendati, Muhammadiyah lahir ialah sebuah kebutuhan dan respon yang mendesak untuk mengejar ketertinggalan umat Islam, terutama masyarakat kota yang melihat keterpurukan umat (Pranowo,1998:19). Sebaliknya, dengan munculnya organisasi modern Islam juga memunculkan polemik yang komplek dalam lingkup masyarakat Islam sendiri. Perlu diketahui dengan munculnya orientasi yang sifatnya modern pada umat Islam tidak serta merta mnghilangkan komunitas Islam bersifat non- modernis–penerapan pendidikan dan sistem strukturalnya–atau lebih dikenal dengan Islam tradisional yang selama ini diwakili oleh NU.

Sementara itu, bergulirnya dikotomi modern dan tradisional yang beredar di masyarakat dalam lingkup pemahaman keagamaan dan kegiatan organisasi,
menempatkan posisi organisasi Muhammadiyah sebagai gerakan modern (Suwarno,2001:1). Berangkat dari hal di atas, kemodernisan yang menempel pada organisasi Muhammadiyah paling tidak tampak dalam tiga hal, antara lain, (1). Bentuk gerakannya terorganisasi, (2). Aktivitas pendidikannya mengacu pada model sekolah modern, berpola klasikal, (3). Aktivitas organisasi terutama amal usaspesialuntuk didasarkan pada pendekatan teknologis (Mulkan,1990:9).

Untuk selanjutnya, ada tiga wajah yang dimiliki oleh Muhammadiyah sebagai pilar pergerakannya, yakni sebagai a religious reformist, agent of social change, dan a political force (Alfian,1989:5). Sebagai a religious reformist, Muhammadiyah tampil dalam bentuk gerakan pemurnian Islam yang tujuan utamanya yaitu memberantas syirik, tahyul, bid’ah, dan khurafat di kalangan umat Islam. Hal diatas bertalian erat dengan praktek-praktek keagamaan yang kontradiktif dengan tujuan hakiki Islam itu sendiri yang tidak lain lantaran singkretisme Islam dengan pola kebudayaan Jawa (Noer,1996:85). Pola kehidupan keagamaan demikian terjadi ketika imbas kekuasaan keraton sebagai sentral kultural agama Islam secara legal mendukung kehidupan yang menyimpang dengan kemurnian Islam sekaligus tujuan Muhammadiyah.
Kemudian sebagai agent of social change, Muhammadiyah melaksanakan usaha modernisasi sosial dan pendidikan yang bertujuan memberantas keterbelakangan umat Islam yang selalu terlambat dan terhambat dalam tugas dan fungsinya dalam perubahan akhir kolonialisme yang lama. Sebagai a political force, lebih mengseriuskan pada lingkup keagamaan dan permasalahan sosial kemasyarakatan. Kendati demikian, pada tataran politik simpel Muhammadiyah secara oraganisasi dipastikan tidak pernah secara hukum
berdiri sebagai sebuah partai politik, sebagaimana organisasi massa lainnya menyerupai NU, PSII, Masyumi dan organisasi lainya yang bergerak secara aturan sebagai organisasi politik. Hanya saja para tokoh dan masyarakat Muhammadiyah secara personal terlibat dalam politik simpel bergabung dengan partai Islam yang ada, meskipun permasalahan ini dalam organisasi Muhammadiyah dalam setiap Muktamar menjadi perdebatan dikalangan masyarakat Muhammadiyah sendiri.

melaluiataubersamaini aneka macam wajah inilah organisasi Muhammadiyah mempunyai predikat sebagai gerakan pembaharuan (Nashir, 2000:3). Anggapan atas predikat pembaharuan pada Muhammadiyah ini ialah keputusan yang sifatnya homogen dari masyarakat Islam Indonesia, fakta ini diakui baik pada kalangan masyarakat Muhammadiyah maupun organisasi pergerakan lainnya. Identitas yang menempel pada diri organisasi Muhammadiyah ini hingga kini mempersembahkan warna tersendiri, yaitu ialah sebuah organisasi yang menjadi tempat bernaungnya orang-orang yang mempunyai pendidikan modern. Dampak yang muncul akhir dikotomi membuat sebagian masyarakat yang bersebrangan dengan konsep Muhammadiyah menolak segala bentuk kegiatan yang bernuansa pembaharuan. Terlebih bila ada kegiatan yang mempermasalahkan konsep tradisionalisme yang dilakukan sebagian masyarakat hingga sekarang.

Kemudian, fungsi sosial organisasi Muhammadiyah pada gilirannya muncul sebagai suatu gerakan kebangkitan umat Islam yang disusun dengan kegiatan modern dan terstruktur, Muhammadiyah mulai berusaha dengan usaha untuk sanggup mengembalikan martabat bangsa dan umat yang kala itu terjajah, dan tujuan dasarnya menjadi sebuah bangsa yang merdeka. Dalam
perjalanan kegiatan usaha yang dilakukan organisasi ini juga membuat suatu perubahan sosial yang sangat signifikan baik dalam tubuh umat Islam, juga menumbuhkan perlawanan umat terhadap segala bentuk ketidakadilan dan penjajahan baik secara fisik maupun secara pemikiran, sebagai contoh yaitu upaya masyarakat Muhammadiyah di Indonesia dalam membendung penetrasi misionaris di Indonesia (Alwi Shihab,1998:3).

Tidak spesialuntuk berhenti di situ saja, dengan didasari oleh nasionalisme yang ialah salah satu kunci penggerak munculnya organisasi pada pertama kala ke-
20 (Suhartono,2001:3). Muhammadiyah juga tampil menjadi pencetus dalam menentang terhadap kebijakan kolonial, sebagai contoh, dalam sebuah kegiatan yang melibatkan salah satu tokoh Muhammadiyah dalam melaksanakan agresi pemogokan dengan buruh-buruh perkebunan dan pabrik milik Belanda, hal ini berpertama dari kebijakan Belanda yang merugikan para buruh. Klimak dari agresi pemogokan ini menimbulkan A.R Fakhrudin, yang ialah salah satu tokoh Muhammadiyah masuk penjara, lantaran partisipasinya dalam agresi tersebut (Nashir,2000:84).

Kegiatan agresi penentangan terhadap kolonial tidak cukup pada fase tersebut, banyak kegiatan yang dilakukan oleh anggota Muhammadiyah sendiri, baik dari pimpinan pusat maupun cabang. Kolaborasi dengan organisasi lain ialah salah satu cara yang dilakukan untuk menentang kolonial Belanda. Kerja sama ini juga di bangun atas dasar persamaan tujuan maupun rasa kebangsaan. Ketika partai Masyumi berdiri Muhammadiyah termasuk salah satu anggota istimewa di dalam Masyumi, sehingga banyak kebijakan yang berasal dari Muhammadiyah menjadi rumusan tujuan dasar dan harapan partai Masyumi
yang bertujuan memajukan umat pada era rezim kolonial Belanda dan kolonial
Jepang bahkan hingga dibubarkanya partai Islam ini (Muchtar,2004:119).

Fenomena kegiatan yang bernuansa politik dalam lingkup penentangan terhadap kolonial sanggup dimengerti oleh tiruana kalangan bila membaca dan mencermati klarifikasi Kepribadian Muhammadiyah sebagai diberikut,
“Muhammadiyah tidak buta politik, tidak takut politik, tetapi Muhammadiyah bukan organisasi politik. Muhammadiyah mencampuri soal-soal politik, tetapi apabila soal-soal politik masuk dalam Muhammadiyah ataupun soal politik mendesak- desak urusan agama Islam, maka Muhammadiyah akan bertindak berdasarkan kemampuan, cara dan irama Muhammadiyah sendiri” (PP Muhammadiyah,1996:6).

Dari membaca konsep Kepribadian Muhammadiyah sanggup digambarkan sebagai sebuah situasi rumit yang dihadapi organisasi Muhammadiyah ketika berhadapan dengan politik. Kenyataan sosiologis menunjukkan, bahwa kekerabatan Muhammadiyah dengan politik itu bermacam-macam dan tidak linier. Hal ini, berangkat dari suatu permasalahan yang memposisikan Muhammadiyah sebagai salah satu pihak yang secara yuridis bukan ialah sebuah partai politik.

Sementara itu, tugas yang dimiliki Muhammadiyah dalam lingkup sosial kemasyarakatan selama ini berupa sebuah gerakan yang menekankan pada bashs sosial keagamaan. Akan tetapi, melihat perkembangan kondisi kehidupan berbangsa yang menempatkan Muhammadiyah dalam situasi yang mengharuskan organisasi ini menghadapi dinamika kehidupan politik yang difahami sebagai usaha untuk meraih kekuasaan yang seharusnya diperankan sebuah partai politik. Keadaan ini membuat bagi Muhammadiyah akan melahirkan suatu paradoks dengan tujuan dari sebuah forum semacam Muhammadiyah. Dari sini bila dicermati secara menyeluruh dari pernyataan
diatas, maka sanggup diambil sebuah kesimpulan yang menempatkan Muhammadiyah pada kerangka berfikir untuk memposisikan diri sebagai kelompok kepentingan dalam ruang lingkup untuk memainkan fungsi politik.

Perjuangan Muhammadiyah tidak spesialuntuk berhenti hingga di situ saja, akan tetapi dilakukan secara berlanjut dan dalam perjalanannya selalu mewarnai dinamika bangsa dari kemerdekaan, orde lama, orde gres dan orde reformasi yang sudah mendewasakan dan menumbuhkan kearifan Muhammadiyah yang terus berjuang demi kemajuan umat dan bangsa. Salah satu sisi positif yang dimiliki gerakan Muhammadiyah yaitu kontribusinya dalam dinamika perkembangan masyarakat muslim, sehingga dalam kurun waktu yang usang masih tetap eksis pada usaha ide-ide demi perubahan umat dan bangsa menuju yang lebih baik. kegiatan ini dilakukan lantaran didukung oleh sebuah pilihan usaha akomodatif dan konsisten dalam jalur sosial keagamaan, yang di kalangan Muhammadiyah sebagai gerakan yang mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar (Sobron,2003:31).
melaluiataubersamaini membaca sejarah pertautan Muhammadiyah dan politik, balasannya melahirkan suatu kebijakan berupa taktik yang akomodatif dalam pendekatan terhadap penguasa, apalagi ketika rezim orde usang dan orde gres berkuasa secara otoriter. melaluiataubersamaini demikian, tidak salah bila muncul anggapan bahwa organisasi Muhammadiyah termasuk salah satu gerakan yang mengalami pasang surut dan pahit getir kekuasaan rezim yang silih berganti (Nashir,2000:15).

Suasana pasang surut organisasi Muhammadiyah tidak spesialuntuk melingkupi wilayah politik dan kekuasaan saja, akan tetapi gerakan yang lahir di Yogyakarta ini mengalami kasus ketika berhadapan dengan keadaan sosial
di daerah yang di dalamnya terdapat kekuatan yang lebih dominan. Kekuatan itu bisa berwujud organisasi massa maupun bisa sebuah kebudayaan atau tradisi yang pertentangan dengan Muhammadiyah atau mempunyai kepentingan politik yang berkaitan dengan masyarakat dan simpatisan organisasi Muhammadiyah. Suasana ini pada gilirannya tidak jarang sudah melahirkan suatu kasus sosial keagamaan yang pada titikpuncaknya menjadi suatu bentuk perpecahan, dan tak jarang pula menimbulkan korban dan kerugian harta milik masyarakat. Kasus perseteruan yang terjadi di Banyuwangi yang melibatkan masyarakat Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama pada tahun 1999 ialah suatu contoh yang layak dijadikan suatu pelajaran yang berharga ( Nashir,2001:3).

Konflik yang mengangkat isu-isu pemahaman beragama dan melibatkan kalangan Muhammadiyah dan NU di dalamnya sudah menjadi suatu dinamika kehidupan masyarakat tersendiri. Pemandangan wacana konflik horisontal dalam masyarakat muslim yang melibatkan dua organisasi keagamaan di atas bukan insiden yang sifatnya kotemporer. Perperihalan yang menafikan persamaan ideologi, dan lebih menonjolkan perbedaan dalam pola pendekatan teknis dalam kehidupan beragama –pendekatan yang lebih bersifat ritual menyerupai ibadah dan kekerabatan sosial kemasyarakatan (fikih), sudah menguras tenaga organisasi keagamaan tersebut dalam konfrontasi yang tidak kunjung selesai. Tidak ayal lagi, dalam perkembangannya organisasi Muhammadiyah dan NU lebih banyak menampilkan konflik daripada konsensus, apalagi konflik yang melibatkan kedua organisasi tersebut lebih banyak terjadi di daerah yang menempatkan NU sebagai mayoritas massa dalam suatu daerah, termasuk daerah pesisir utara Jawa yang selama ini ialah tempat terjadinya Islamisasi dan pelembagaan
agama Islam di Jawa (Syam,2005:63-70). Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan konflik juga terjadi di daerah yang menempatkan Muhammadiyah sebagai komponen mayoritas.

Kemudian, pengelompokan masyarakat yang didasarkan pada ritual dan pemahaman keagamaan yang terjadi di pesisir pantai utara Jawa, termasuk di wilayah Kabupaten Rembang sudah menempatkan komunitas masyarakat dalam konflik dan konsensus yang bersifat horisontal. Konflik dan konsensus yang menjadi pecahan kehidupan sehari-hari dalam masyarakat–khususnya dalam lingkup masyarakat muslim–ialah suatu fenomena tersendiri bagi wilayah pantai utara Jawa. Sebab dalam perjalanan sejarahnya pantai utara Jawa sudah menjadi saksi terjadinya proses penyebaran agama, baik Hindhu-Budha, Islam dan Kristen yang kini menjadi komunitas agama yang diakui resmi di Indonesia.

Sebagai pecahan dari kota pesisir utara Jawa, wilayah Kabupaten Rembang ialah tempat mengakarnya tradisi Islam tradisional, hal tersebut di buktikan dengan munculnya banyak tokoh Islam tradisional dari daerah Rembang. Dalam masa penyebaran dan pelembagaan Islam di pesisir utara Jawa–masa kehadiran Islam di pulau Jawa–wilayah Rembang yang termasuk daerah kekuasaan Kerajaan Demak, ialah salah satu pintu masuk sekaligus berfungsi sebagai kota pusat komunitas Islam (De Graff,2003), disamping ialah kontak dan jaenteng dagang masyarakat pribumi dengan para pedagang Islam yang membawa budaya dan agama gres (Azra,2005). Pertautan ideologi masyarakat pesisir yang berupa agama Islam, ialah wahana perkembangan ideologis sekaligus kekerabatan psikologis antara penyebar Islam
(Wali atau Kyai) dengan para anakdidiknya (santri). Lambat laun perkembangan Islam mulai menyebar ke pedalaman pulau Jawa yang ialah hasil ‘kerja’ para santri dalam pengembaraan dakwah mereka.

Bagi Muhammadiyah dalam penyebaran pemahamannya di pesisir utara Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Rembang–perkembangan yang bersifat kelembagaan dan tidak berorientasi yang bersifat penetrasi–sangat bermacam-macam dalam perkembangannya. Di sisi, lain menyerupai wilayah Pekatidakboleh dan Lamongan daerah Muhammadiyah di pesisir utara Jawa lainnya, lebih menawarkan sifat perkembangangan yang signifikan. Kendati, ketika dibandingkan dengan dominasi yang bersifat forum dan massa yang dimiliki NU, Muhammadiyah di wilayah Kabupaten Rembang terang tidak diberimbang. Sependapat dengan Karel Steenbrink (1994:57) yang menyatakan bahwa, Muhammadiyah cenderung lebih dikonsumsi oleh masyarakat kota yang sekaligus berperan sebagai pusat perdagangan, sehingga tidak mengherankan kalau Muhammadiyah di Rembang lebih banyak berserius di kota-kota kecamatan, disamping itu Muhammadiyah di Rembang personalnya didominasi oleh para pegawai negeri.
Dalam kasus Muhammadiyah di wilayah Rembang, cukup sesuai dengan goresan pena diketengahkan oleh Kuntowijoyo yang berjudul Muslim Tanpa Masjid (2001). Sebagai kelompok gerakan Islam ‘penhadir’ di wilayah pesisir utara Jawa, Muhammadiyah hadir ke Rembang didukung oleh orang-orang penhadir. Tanpa didukung patron-kliental dari masyarakat sebagaimana NU, Muhammadiyah dalam perkembangannya susah untuk menerapkan kondisi sosial dan masyarakat setempat sesuai dengan kondisi daerah Kauman Yogyakarta.

Tidak ayal lagi, kemunculannya sudah membangkitkan konflik yang rumit dengan gerkakan Islam tradisional NU yang sudah usang mengakar di masyarakat Rembang. Benturan dan konflik yang muncul antar dua pemahaman yang tidak sama ini sudah melahirkan warna yang tidak sama dalam pemahaman beragama Islam. Bagi NU yang sudah menempatkan diri di daerah pesisir utara Jawa, dengan didukung ribuan santri pesantren dan dibidani oleh kyai yang mempunyai kekerabatan patron-kliental serta mempunyai motivasi untuk melestarikan kebudayaan leluhur (Pranowo,1998; Mulkan, 2000). Telah melahirkan Konsensus bagi masyarakat setempat terhadap legitimasi dan pelembagaan Islam lokal.

Pada balasannya dengan mengikuti alur pemikiran di atas peneliti bermaksud untuk mengangkat sepak terjang organisasi Muhammadiyah di pantai utara Jawa dalam daerah wilayah Kabupaten Rembang, dalam suatu penelitian yang berjudul DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DALAM PEREBUTAN PENGARUH MASSA DI DI KABUPATEN REMBANG TAHUN 1960-2000.


0 Komentar untuk "Dinamika Organisasi Muhammadiyah Dalam Perebutan Imbas Massa Di Kabupaten Rembang Tahun 1960-2000 (Psj-2)"

Back To Top