Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Warisan Dalam Aturan Etika Jawa Dan Khi (Ai-9)

loading...
Anak angkat yaitu penggalan dari segala tumpuhan dan impian kedua orang bau tanah (ayah dan ibu) sebagai penerus hidup. Mempunyai anak ialah tujuan dari adanya perkawinan untuk menyambung keturunan serta kelestarian harta kekayaan. Mempunyai anak yaitu pujian dalam keluarga. Namun, demikian tujuan tersebut terkadang tidak sanggup tercapai sesuai dengan harapan. Beberapa pasangan hidup, tidaklah sedikit dari mereka mengalami kesusahan dalam memperoleh keturunan. Sedang keinginan untuk mempunyai anak nampaknya begitu besar. sehingga kemudian di antara merekapun ada yang mengangkat anak.

Pengangkatan anak terbagi dalam dua pengertian, yaitu: pertama, pengangkatan anak dalam arti luas. Ini menimbulkan korelasi nasab sehingga ada hak dan kewajiban selayaknya antara anak sendiri terhadap orang bau tanah sendiri. kedua, ialah pengangkatan anak dalam arti terbatas. yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri dan korelasi antara anak yang diangkat dan orang bau tanah yang mengangkat spesialuntuk terbatas pada korelasi sosial saja.

Di Indonesia, ada tiga sistem aturan yang berlaku dan mengatur permasalahan wacana pengangkatan anak. Ketiga sistem aturan itu yaitu aturan Islam, aturan Adat dan aturan Barat. Untuk sementara pembahasan terkena aturan Barat tidak kami sebutkan di sini, melainkan lebih diseriuskan antara aturan Islam dan aturan Adat di Indonesia.
Hukum Islam sebagai satu pranata sosial mempunyai dua fungsi; pertama, sebagai kontrol sosial dan kedua, sebagai nilai gres dan proses perubahan sosial. Jika yang pertama aturan Islam ditempatkan sebagai blue-print atau cetak biru Tuhan yang selain sebagai kontrol juga sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu komunitas masyarakat. Sementara yang kedua, aturan lebih ialah produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya, dan politik. Oleh lantaran itu, dalam konteks ini, aturan Islam dituntut akomodatif terhadap problem umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab bila tidak, besar kemungkinan aturan Islam akan mengalami kemandulan fungsi, atau meminjam istilah Abdurrahman Wahid, fosiliasi, bagi kepentingan umat. Karena itu apabila para pemikir aturan tidak mempunyai kesanggupan atau keberanian untuk mereformulasi dan mengantisipasi setiap problem yang muncul dalam masyarakat dan mencari penyelesaian hukumnya, maka aturan Islam akan kehilangan aktualitasnya. Sehingga kemudian, sebagai realisasi dari tiruana itu dipandang perlu untuk diadakan pembaharuan Hukum Islam ibarat sudah diwujudkan dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam atau dikenal KHI.

KHI Sesuai Inpres no.1 Tahun 1991 sebagaimana termaktub dalam dictumnya yaitu perintah kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam. Tujuannya ialah untuk dipakai oleh Instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya.

Sementara itu, aturan budpekerti atas kedudukannya dalam tata aturan nasional Indonesia ialah aturan tidak tertulis yang berlaku sepanjang tidak menghambat terbentuknya masyarakat sosialis Indonesia dan menjadi pengatur-pengatur hidup bermasyarakat. Di dalam aturan budpekerti terdapat peraturan-peraturan aturan yang mengatur wacana banyak sekali masalah, termasuk terkena pengangkatan anak.

Anak angkat, di dalam aturan budpekerti diartikan sebagai suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis. Anak angkat dalam aturan budpekerti mendapat kedudukan yang hampir sama dengan anak sendiri, yaitu dalam hal kewarisan dan perkawinan. Namun sebaliknya, dalam aturan Islam tidak demikian. Hukum Islam secara tegas melarang adanya pengangkatan anak yang mengakibatkan korelasi nasab antara anak angkat dengan orang bau tanah angkat dan tidak pula mengakibatkan hak waris. Hal ini diterangkan dalam firman All`h SWT.

وماجعل ادعياءكم ابناءكم، ذلكم قولكم بافواهكم, والله يقول الحق وهويهدي السبيل.

ادعوهم لابائهم هواقسط عندالله, فان لم تعلموااباءهم فاخوانكم في الدين ومواليكم.

ماكان محمدابااحدمن رجالكم ولكن رسول الله وخاتم النبين.

Akan tetapi, berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, bahwa pengangkatan anak sudah dilakukan dengan cara dan motivasi yang tidak sama-beda, sejalan dengan sistem aturan dan perasaan aturan yang hidup serta berkembang di dalam masyarakat yang bersangkutan.

Kenyataan tersebut sanggup dilihat antara lain dalam KHI disebutkan bahwa anak angkat yaitu anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung tanggapan dari orang bau tanah asal kepada orang bau tanah angkatnya menurut putusan Pengadilan. Pengangkatan anak yang dimaksud bertujuan untuk menolong atau sekedar meentengkan beban hidup bagi orang bau tanah kandung. Sedang, pengangkatan anak juga sering dilakukan dengan tujuan untuk meneruskan keturunan bilamana dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ada pula yang bertujuan sebagai pancingan ibarat di Jawa khususnya. Menurut istilah budpekerti tersebut, dengan mengangkat anak, keluarga tersebut akan dikaruniai anak kandung sendiri. Disamping itu ada yang disebabkan oleh rasa belas kasihan terhadap anak yang menjadi yatim piatu atau disebabkan oleh keadaan orang tuanya yang tidak bisa untuk memdiberi nafkah. Keadaan demikian, kemudian berlanjut pada permasalahan terkena pemeliharaan harta kekayaan (harta warisan) baik dari orang bau tanah angkat maupun orang bau tanah asal (kandung). Sedang cara untuk meneruskan pemeliharaan harta kekayaan inipun sanggup dilakukan melalui banyak sekali jalur sesuai dengan tujuan tiruanla.

Hal-hal tersebut di atas, mdmbuat penyusun ingin melihat lebih jauh makna filosofis yang terkandung dari adanya pengangkatan anak yang lantaran keber`daannya, baik aturan budpekerti Jawa maupun KHI mempersembahkan hak kepada anak angkat untuk mendapat harta dari orang bau tanah angk`t.

Tag : Agama Islam
0 Komentar untuk "Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Warisan Dalam Aturan Etika Jawa Dan Khi (Ai-9)"

Back To Top