loading...
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Allah mengakibatkan perkawinan yang diatur berdasarkan syari‘at Islam sebagai penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri yang didiberikan oleh Islam khusus untuk insan di antara makhluk-makhluk lainnya.
Mengenai hakikat perkawinan itu sendiri, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab II pasal 2 sebut sebagai diberikut: “perkawinan aturan Islam yaitu perkawinan, yaitu janji yang sangat berpengaruh (mis|a>qan gali<z}}a>) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya ialah ibadah”, kemudian disebutkan dalam pasal 3, “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang saki>nah, mawaddah dan rah}mah”.[1]
Hal ini sesuai dengan firman Allah[2]:
ومن اياته ان خلق لكم من انفسكم ازواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودة ورحمة ان في ذلك لآيات لقوم يتفكرون
Mewujudkan kehidupan rumah tangga yang saki>nah, mawaddah dan rah}mah ibarat di atas, sudah barang tentu bukanlah hal yang sederhana. Untuk mencapai hal itu Islam memperlihatkan aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang harus dipenuhi.
Mahmud Syaltut dalam bukunya Akidah dan Syari‘ah Islam menawarkan lima prinsip sebagai mekanisme yang harus dipenuhi dalam training keluarga pada fase pranikah. Pertama saling mengenal dan memahami (at-Ta‘a>ruf) di antara kedua mempelai. melaluiataubersamaini proses saling mengenal dan saling memahami ini diperlukan masing-masing mempelai mengetahui keadaan calon pasangannya. Dalam hal ini Islam mewasiatkan bahwa kriteria yang harus dipenuhi dan dilampaukan dalam memilih yaitu kebaikan adat dan agama serta tidak semata-mata memandang keadaan fisik, harta dan keturunan. Kedua yaitu al-Ikhtiba>r yaitu tahap penjajakan yang dilaksanakan dengan melaksanakan khit}bah. Dalam khit}bah ini calon suami diperbolehkan melihat wajah, tangan dan telapak kaki si perempuan dan juga diperbolehkan berdiskusi untuk mengetahui pemikiran masing-masing. Dari pelaksanaan khit}bah ini diperlukan timbul rasa suka pada masing-masing calon mempelai. Ketiga ar-Ri<d}a> (kerelaan), disini syari‘t Islam tidak mencukupkan pada dua prinsip di atas semata namun juga mengaharuskan adanya kerelaan dalam arti yang bahu-membahu dari kedua mempelai. Keempat Kafa>’ah yaitu kesejajaran antara kedua mempelai. Ini dimaksudkan biar tidak ada kesentidakboleh di antara keduanya sehabis mengarungi perahu rumah tangga. Kelima mahar atau mas kawin, dalam mahar ini syari‘at mengajarkan biar nilai mahar dalam batas yang wajar.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa kerelaan (ar-Ri<d}a>( ialah prinsip training keluarga yang harus dipenuhi kalau memang ingin terwujudnya keluarga yang serasi dan bahagia.
Konsep kerelaan atau persetujuan itu sendiri lebih lanjut harus dipisahkan, karna persetujuan itu sendiri mempunyai dua subjek yang mempunyai status aturan tidak sama di kalangan ulama fiqh dalam hal ini yang dimaksud yaitu janda atau gadis. Mazhab Sya>fi‘i< contohnya sebut bahwa kalau persetujuan dari janda maka status hukumnya yaitu wajib. Lain halnya kalau persetujuan hadirnya dari anak gadis berdasarkan ulama Sya>fi‘i<ah tidak begitu penting (spesialuntuk sekedar sunat), bahkan berdasarkan ulama Sya>fi‘i<ah ketika sudah memenuhi syarat-syarat tertentu maka orang renta dalam hal ini tidak perlu lagi meminta persetujuan anak gadis. Syarat-syarat yang dimaksud yaitu sebagai diberikut:
1. Antara ayah dan anak tidak ada permusuhan
2. Calon suami sekufu
3. Mahar yang sesuai
4. Calon suami sanggup mempersembahkan mahar
5. Bukan dengan pria yang menciptakannya menderita dalam pergaulan[3]
Berbeda dengan mazhab Sya>fi‘i<, mazhab H}a>nafi< berpendapat bahwa antara status aturan persetujuan antara janda dengan anak gadis sama saja, keduanya wajib dimintai persetujuan. Lebih lanjut berdasarkan ulama H}a>nafi<ah yang membedakan antara janda dengan anak gadis yaitu pada tanda persetujuannya; kalau janda harus tegas, sedangkan anak gadis cukup dengan diamnya.[4]
Mazhab H}anbali< mensikapi kasus ini dengan diwakili dua kubu. Di satu pihak dengan diwakili oleh Ibn Quda>mah dalam kitabnya al-Mugni< sebut bahwa persetujuan anak gadis bukanlah sesuatu yang memilih artinya bahwa tanpa adanya persetujuan anak gadis pun perkawinan tetap sah, walaupun si anak gadis tidak menginginkan perkawinan itu, dan dia cendrung mengakui hak ijbar bagi wali. Sementara di pihak lain Ibn Qayyim al-Jawziyyah bersikukuh bahwa anak gadis pun tetap harus dimintai persetujuan saat akan berkeluargakannya.[5]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah lebih lanjut dalam karyanya Za>d al-Ma‘a>d berpendapat bahwa orang renta wajib meminta persetujuan kepada anak gadis saat akan berkeluargakannya.Hukum ini juga mewajibkan biar gadis yang sudah cukup umur tidak dipaksa untuk dinikahkan, dan ia dihentikan dinikahkan kecuali dengan persetujuannya. INI pendapat jumhur salaf dan mazhab H}a>nafi< serta satu riwayat dari Imam Ah}mad.[6]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah sepertiyang diketahui yaitu sosok pemikir Islam yang banyak mewarnai khazanah intelektual pemikiran aturan Islam. Satu hal yang menarikdanunik yaitu walaupun mazhab H}anbali< secara umum dikuasai beropini persetejuan anak gadis sekedar sunat atau penyempurna, tetapi dia berani tidak sama pendapat.
Melihat konteks pada masa kini seiring dengan perkembangan zaman, yang mana doloenya kaum perempuan biasanya dipingit dirumahnya sehingga mereka cendrung berwawasan sempit dan kurang mengenal dunia luar, maka kondisi kini sanggup dilihat bahwa kaum perempuan yaitu golongan yang berwawasan dan tidak sedikit dari mereka yang menjadi pakar dalam disiplin ilmu tertentu.
Berangkat dari kenyataan inilah ditambah lagi bahwa mazhab yang berkembang di Indonesia yaitu Sya>fi‘i<ah yang nota bene yang menganggap persetujuan tidak begitu penting (sunnat), maka penulis tertarik untuk mengangkat pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah ini sebagai pembahasan dalam karya ilmiyah untuk alternatif.
Tag :
Agama Islam
0 Komentar untuk "Pandangan Ibn Qayyim Al-Jawziyyah Perihal Persetujuan Anak Gadis Dalam Perkawinannya (Ai-31)"