loading...
Indonesia yaitu negara yang bermacam-macam budaya dan agama, sehingga kata zakat dan pajak yaitu dua kata yang tidak lepas di negara kita, yang mana negara kita ini lebih banyak didominasi penduduk Islam. Tetapi, kedua kata ini mempunyai makna dan perlakuan yang tidak sama. Di satu sisi zakat spesialuntuk dikenakan kepada orang-orang Muslim yang mempunyai harta dengan persyaratan tertentu. Dan bagi yang tidak mempunyai maka ia akan menjadi orang yang berhak menerimanya. Dan dalam hal pajak tiruana masyarakat Negara Indonesia yang sudah cukup umur dan mempunyai penghasilan pada umumnya sudah dikenakan pajak kecil dan besar tanpa memandang apakah penghasilan itu cukup untuk kebutuhannya atau tidak. Pajak diwajibkan pada siapapun. Sunggguh perlakuan yang tidak adil, lantaran pengemis pun sanggup terkena pajak.
Beberapa mahir ekonomi Islam menganggap zakat ialah sejenis pajak lantaran zakat memenuhi beberapa persyaratan perpajakan (Rahman, 1996: 242), diantaranya:
a. Pembayaran yang diwajibkan;
b. Tidak ada akhir atau imbalan;
c. Diwajibkan kepada seluruh masyarakat suatu negara.
Zakat memenuhi persyaratan pertama dan kedua sedangkan persyaratan ketiga tidak. Zakat yaitu pembayaran yang diwajibkan dan tidak ada akhir atau imbalan atas pembayaran tersebut, akan tetapi spesialuntuk dikenakan kepada orang Muslim di negara itu sedangkan orang-orang nonmuslim terbebas dari kewajiban membayar zakat. Oleh lantaran itu, zakat bukanlah suatu pajak dalam arti yang sebenarnya. Sebenarnya zakat, menyerupai halnya menunaikan shalat atau mengerjakan haji, ialah suatu bentuk ibadah atau kiprah agama yang mempunyai perbedaan psikologis sangat tidak sama dengan pajak biasa.
Zakat dianggap sebagai salah satu dari lima tiang agama Islam dan sudah barang tentu, posisi yang penting semacam ini tidak sanggup didiberikan kepada suatu jenis pajak betapapun pentingnya pajak tersebut. Selanjutnya, pendapatan yang diperoleh dari pajak oleh pemerintah sanggup dipakai untuk memenuhi aneka macam kebutuhan tanpa mempertimbangkan besar kecilnya masing-masing pajak. Sedangkan dalam hal zakat, pemerintah dalam negara Islam didiberikan petunjuk khusus dalam kitab suci Al-Qur’an wacana bagaimana dan di mana membelanjakan hasil yang diperoleh melalui pengumpulan zakat. Pemerintah tidak mempunyai pilihan tapi harus membelanjakan hasil pengumpulan zakat itu sebagaimana yang sudah disebutkan dalam kitab suci Al-Qur’an.
Persoalan di atas salah satu problem laten dalam konsep ekonomi Islam yaitu problem dualisme zakat dan pajak yang harus ditunaikan masyarakat negara yang Muslim. Ironisnya, pajak sebagai sumber penerimaan negara mengalami penguatan, sementara zakat mengalami kemunduran dan dianggap menjadi tanggung tanggapan langsung masing-masing individu Muslim.
Di Indonesia, seorang wajib zakat (muzakki), juga sebagai wajib pajak (taxs payers). Hal ini terlihat terperinci dengan adanya dua kewajiban dalam dua undang-undang yang tidak sama, yaitu kewajiban zakat dalam UU No. 38 Tahun 1999 wacana Pengelolaan Zakat dan kewajiban pajak dalam UU No. 17 Tahun 2000 wacana Pajak Penghasilan (PPh). Kedua undang-undang ini menyatakan bahwa zakat dan pajak yaitu kewajiban. Hal inilah yang dirasakan oleh kaum Muslim sebagai suatu beban yang berat (Gusfahmi, 2007: 7).
Hal ini pula sudah mengundang perdebabatan yang berlarut-larut hampir sepanjang sejarah Islam itu sendiri. Sebagian besar ulama fiqih memandang bahwa zakat dan pajak yaitu dua entitas yang tidak sama dan mustahil dipersatukan. Menurut mereka, zakat yaitu kewajiban spiritual seorang Muslim terhadap Tuhannya, sedangkan pajak yaitu kewajibannya terhadap negara.
Dari segi pengelolaan, zakat dan pajak mempunyai pengelolaan yang tidak sama. Akan tetapi yang menjadi catatan penting dalam hal ini setidaknya pengelolaan zakat ini mengikuti keberhasilan pengelolaan pajak. Pengelolaan pajak di Indonesia terbilang sukses, adapun faktor yang menunjang keberhasilan tersebut, yakni manajemen pajak yang tentunya harus efisien dan efektif. Menurut Ciptoherijanto dan Abidin dalam Abdalla (2010: 8-9) manajemen pajak yang baik harus mencakup tiga aspek, yaitu:
1. Fungsi, manajemen pajak sebagai fungsi mencakup fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan.
2. Sistem, manajemen pajak sebagai suatu sistem yaitu ialah seperangkat unsur yang saling berkaitan, yang berfungsi tolong-menolong untuk mencapai tujuan atau menuntaskan suatu proses tertentu.
3. Lembaga, sebagai suatu forum manajemen pajak mencakup badan-badan yang secara khusus menangani kasus perpajakan.
Berbeda halnya dengan pengelolaan zakat di Indonesia yang terbilang masih rendah kinerjanya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor (Anida, 2010: 2-3), yaitu:
1. Rendahnya penghimpunan dana zakat melalui Lembaga Amil Zakat, lantaran sikap wajib zakat (muzakki) yang masih karikatif, yaitu berorientasi jangka pendek.
2. Masih rendahnya efesien dan efektivitas tasharuf (pendayagunaan) dana zakat terkait masih besarnya jumlah Organisasi Pengelola Zakat dengan skala perjuangan yang kecil.
3. Lemahnya zakat lantaran ketiadaan forum regulator pengawas dan tidak jelasnya korelasi zakat.
4. Lemahnya kapasitas kelembagaan dan Sumber Daya Manusia bidang zakat.
Sedangkan menurut Nuruddin (2010: 133) rendahnya kinerja pengelolaan zakat disebabkan pengelolaan zakat belum digarap secara fokus dan profesional oleh pemerintah dengan perangkat hukum sesuai kecenderungan dan tuntutan daerah.
Pengumpulan zakat hendaknya atau seharusnya ialah sesuatu yang terprogram dan terencana, termasuk ditentukan jadwalnya dengan jelas, dan tetap berlandasan untuk diberibadah kepada Allah SWT dengan ikhlas. Dalam penanganan zakat ini, perlu dicamkan bahwa para pembayar zakat hendaknya mengetahui ke mana harta zakatnya itu dibagikan dan dimanfaatkan. Badan Amil Zakat (BAZ) harus mempunyai dokumen dan data atau pembukuan yang rinci terkena jumlah uang zakat yang diterima, orang yang membayarnya, kemana dipakai dan semacamnya. Sehingga sewaktu-waktu salah satu pembayar zakat ingin tahu data rinci terkena zakatnya, BAZ sanggup memdiberi jawabanan dengan memuaskan.
Zakat hendaknya tidak sekedar konsumtif, maka otomatis idealnya dijadikan sumber Dana Umat. Penggunaan zakat untuk konsumtif spesialuntuklah untuk hal-hal yang bersifat darurat. Artinya, saat ada mustahiq (orang yang berhak mendapatkan zakat) yang mustahil untuk dibimbing untuk mempunyai perjuangan berdikari atau memang untuk kepentingan mendesak, maka penerapan konsumtif sanggup dilakukan. Dana zakat akan lebih cepat dipakai untuk mengentaskan umat dari kemiskinan kalau dikelola untuk menjadi sumber dana yang penggunannya semenjak dari pertama, menyerupai petes, hingga dengan modal usaha. Bahkan mestinya perlu ada dana riset atau survey dan pengembangan serta dana manajemen (Azizy, 2004: 148-149).
Pada survey di atas menawarkan salah satu faktor yang menjadikan pengelolaan dana zakat yang kurang efektif yaitu tidak terprogram dan terpola dengan baiknya dana zakat, kemudian dari segi pengelolaan dana zakat yang terbilang masih rendah bila dibandingkan dari pengelolaan pajak lantaran pengelolaan pajak sudah mempunyai fungsi, sistem dan forum yang benar-benar sudah terstruktur dan dilaksanakan dengan baik.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian yang berjudul “Penerapan Konsep Pajak Pada Zakat Sebagai Alternatif Pengelolaan Zakat Secara Efektif.”
Tag :
Akuntansi,
Perpajakan
0 Komentar untuk "Penerapan Konsep Pajak Pada Zakat (Sebagai Alternatif Pengelolaan Zakat Secara Efektif) (Ak-57)"