Prospek Relasi Bilateral Indonesia-Israel Dalam Perspektif Ekonomi Politik (Is-15)

loading...
Hubungan antar negara dalam interaksi internasional ialah hal yang pasti lantaran antara negara yang satu dengan negara lainnya terdapat saling ketergantungan dalam memenuhi kebutuhan domestik masing-masing sesuai kepentingan nasionalnya. Keniscayaan korelasi antar negara, selain sebagai hal yang normal dan alamiah dalam interaksi  internasional, namun juga sebagai wahana untuk terlibat dalam proses-proses yang berlangsung dalam segala bentuk dinamika di lingkungan internasional. Dalam kerangka korelasi antar negara, selain mengacu kepada aturan aturan (konstitusi) negara-negara yang terlibat kolaborasi tersebut, tetapi juga berbasis pada aturan aturan internasional sebagai pijakan bersama dalam konteks korelasi bilateral antar kedua negara.
Realisasi korelasi bilateral biasanya diwujudkan melalui politik luar negeri sebagai instrumen untuk mengadakan kolaborasi dengan negara-negara lain dalam bidang-bidang yang dianggap perlu sesuai kepentingan nasional masing-masing. Secara umum, politik luar negeri ialah cerminan dari politik domestik, sehingga dalam konteks perumusan politik luar negeri, selain berlandaskan konstitusi, juga harus betul-betul mencerminkan aspirasi politik dalam negeri. melaluiataubersamaini demikian, seperangkat nilai, visi, arah dan orientasi kebijakan politik luar negeri tentunya harus mendapat ruang yang sewajarnya semoga bermanfaa untuk kepentingan bangsa dan negara serta berkontribusi aktif dalam membangun tatanan korelasi internasional yang beradab dan memadai.

Berdasarkan undang-undang dasar (UUD) 1945, politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif berorientasi pada kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas antar negara berkembang, mendukung kemerdekaan bangsa-bangsa, menolak penjajahan dalam segala bentuk, serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kolaborasi internasional bagi kesejahteraan rakyat.[1] Substansi konstitusi tersebut menunjukkan, bahwa dalam hal kebijakan politik luar negeri Indonesia harus berbasis pada semangat dan nilai-nilai kemerdekaan, anti-kolonialisme, berorientasi pada kepentingan nasional dan berdikari dalam arti tidak terkooptasi atau diintervensi oleh hegemoni negara-negara tertentu maupun kekuatan-kekuatan asing.
Fakta politik internasional menunjukkan, bahwa ada beberapa negara-negara tertentu yang tidak mengadakan korelasi dengan negara lain dalam bentuk yang formal sebagaimana yang dikenal dalam aturan diplomatik dengan alasan yang berpijak dan bergantung dari nilai-nilai yang inheren dalam garis kebijakan politik masing-masing negara tersebut. Indonesia termasuk negara yang disamping membangun korelasi secara luas dengan banyak sekali negara-negara di dunia internasional, melainkan juga menolak untuk membuka korelasi bilateral dan korelasi diplomatik. Misalnya, ketiadaan korelasi diplomatik antara Indonesia dengan Israel dan Taiwan. Jika Indonesia belum membuka korelasi diplomatik dengan Taiwan lantaran terkait dengan problem kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Republik Rakyat China (RRC) untuk mematuhi “One China Policy”. Dasar hukumnya adalah,  Memorandum of Understanding (MoU) yang ditanhadirani Menteri Luar Negeri kedua negara pada tanggal 8 Agustus 1990, antara lain disebutkan bahwa Indonesia spesialuntuk mengadakan korelasi ekonomi dan perdagangan dengan Taiwan (Cina Taipe), namun tidak membuka korelasi diplomatik. Sedangkan, ketiadaan korelasi diplomatik antara Indonesia dengan Israel didasari pada alasan yang sangat kompleks dengan tingkat problema yang begitu sensitif bagi kedua negara. Secara umum yang bisa kita amati dari banyak sekali opini, perspektif maupun pandangan elit dan aspirasi publik Indonesia yang menolak pembukaan korelasi diplomatik dengan Israel terdiri dari bermacam-macam alasan, dari yang sifatnya diplomatik, teologis, yuridis, sosio-kultural hingga politis.
Pergantian rezim pemerintahan Indonesia dari masa ke masa sangat memilih corak politik luar negeri yang ada. Masing-masing Presiden yang menjabat mempunyai gaya dan ciri khas tersendiri dalam menyikapi isu-isu internasional yang berkembang, termasuk terhadap problem korelasi Indonesia-Israel yang selama ini cenderung perdebatanal. Sebagai negara penganut demokrasi, dimana tingkat partisipasi publik begitu signifikan dalam mempengaruhi proses-proses kebijakan yang akan diambil oleh Pemerintah, tentu diberimplikasi terhadap dinamika intelektual dan sosial-politik pada level masyarakat banyak sekali segmen dalam diskursus terkena Israel.
Kompleksitas kasus Indonesia-Israel dalam kerangka korelasi bilateral ialah isu dalam studi korelasi internasional yang menarikdanunik untuk ditelaah, bukan saja lantaran Israel yang terletak di daerah Timur Tengah sebagai ruang yang strategis bagi peta kepentingan-kepentingan internasional terutama Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya, melainkan juga dari sisi Indonesia yang dikenal erat secara kultural-keagamaan dengan negara-negara Timur Tengah yang berbasis Islam. Sedangkan, realitas kondisi di Timur Tengah menawarkan suasana yang menegangkan antara dunia Arab vis a vis Israel. Konflik antara Palestina dengan Israel diberimplikasi pula pada problem belum dibukanya korelasi diplomatik antara Indonesia dengan Israel lantaran status Indonesia sebagai negara berbasis Islam terbesar di dunia dikenal sangat pro-aktif mendukung usaha bangsa Palestina.   Wacana dan kasus korelasi Indonesia dengan Israel sudah mengakibatkan polemik yang tajam dalam diskursus politik nasional dan global. Walaupun Indonesia tidak mempunyai korelasi diplomatik dengan Israel, ternyata dalam fakta empiris, korelasi antara Indonesia-Israel sudah terjalin secara diam-diam, namun belum melalui entitas negara secara legal-formal. Dalam konteks ini, korelasi tersebut banyak dilakukan oleh individu dan komunitas-komunitas tertentu dalam banyak aspek kehidupan. Kontak dan interaksi antara kedua pihak misalnya, dilakukan oleh komunitas intelektual, komunitas bisnis, komunitas kultural dan komunitas lainnya maupun individu yang berkepentingan dan mempunyai jalan masuk dengan Israel.
            Ketiadaan korelasi diplomatik antara Indonesia dengan Israel tidak membuat kedua negara tersebut untuk tidak melaksanakan kontak sama sekali. Justru di balik itu, bahu-membahu sudah terjadi kontak-kontak antara Indonesia dengan Israel, walaupun dilakukan secara “petang dan diam-diam”. Menelusuri perselingkuhan petang antara Pemerintah Indonesia-Israel boleh dibilang susah-susah gampang. Agustus 2009, santer terdengar bahwa Israel membuka kantor dagangnya di Indonesia. Kendati tidak mempunyai korelasi diplomatik dengan Israel, korelasi dagang bisa diteruskan dan dikelola dengan baik. Orah Korn, koresponden pada desk ekonomi di harian Dza Marker berbahasa Ibrani yang terbit di Israel, menulis laporan, Israel tengah berupaya memperluas jaenteng dan korelasi ekonominya dengan negara-negara di Asia Tenggara, salah satunya ialah Indonesia. Tujuan dibukanya kantor dagang Israel di Jakarta sendiri, demikian Korn, ialah untuk memulai babak gres korelasi ekonomi antara Israel dan Indonesia. Ternyata, sebelum kantor dagang Israel itu dibuka di Jakarta, korelasi "petang dan diam-diam" antara Indonesia dan Israel sudah berlangsung semenjak beberapa tahun yang lalu. Hal tersebut diungkapkan sendiri oleh Ran Kohin, kepala kantor dagang Israel-Asia. Kohin menegaskan, dibukanya kantor dagang Israel di Jakarta ialah hasil dari perkembangan yang baik dalam korelasi ekonomi antara Indonesia dan Israel yang sudah berlangsung semenjak beberapa tahun lalu, meskipun tak ada korelasi diplomatik antara keduanya.[2]             Pemerintahan Gus Dur, tahun 1999, sudah merencanakan untuk membuka kembali korelasi perdagangan dengan negeri penjajah itu, yang sudah terputus semenjak tahun 1967. Rencana itu pun diwujudkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Luhut Binsar Pandjaitan pada tahun 2001. Menteri ini menanhadirani Surat Keputusan Menperindag No.23/MPP/01/2001 tertanggal 10 Januari 2001 yang melegalkan korelasi dagang antara RI dengan Zionis-Israel.[3]
            Dari Gus Dur, berlanjut ke masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada 13 September 2005, Menteri Luar Negeri Hassan Wirayudha bertemu dengan Menteri Luar Negeri Israel, Silvan Shalom, di New York, AS. Hassan mengaku pertemuan itu tidak mengulas pemulihan korelasi diplomatik. “Kami tidak bicara kasus korelasi diplomatik. Israel sangat tahu posisi Indonesia menyerupai apa,” katanya. Saat itu pemdiberitaan di sejumlah media massa gila ramai menyiarkan cita-cita Israel untuk membangun korelasi diplomatik dengan Indonesia. Menurut media gila itu, Jerusalem (Israel) sudah mengirimkan surat tentang hal itu kepada Jakarta. SBY menolak fakta tersebut. “Tidak ada yang petang, karena, sekali lagi, kita ingin memmenolong usaha bangsa dan rakyat Palestina,” ujar SBY di kantor Perwakilan Tetap Republik Indonesia di New York waktu itu.[4]
            Tahun 2006, sebuah misi dagang Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) berkunjung ke Israel. Saat itu Ketua Kadin Indonesia Mohammad Hidayat menanhadirani perjanjian ekonomi kedua negara. ”Indonesia bisa menjadi pasar utama bagi ekspor barang-barang Israel ke Asia Tenggara,” kata Presiden Israel Manufacturers Association, Shraga Brosh dalam program itu. Sedangkan Hidayat menyampaikan kolaborasi ini bisa memmenolong perusahaan-perusahaan Israel untuk melaksanakan kegiatan di Indonesia. Kunjungan ini sekaligus menegaskan bahwa sudah terjalin kontak yang intensif antara kedua negara di sektor perdagangan. Lihat saja data volume perdagangan Indonesia-Israel selama tahun 2005 mencapai 154 juta dolar. Dari nilai ini, Israel spesialuntuk mengekspor 14 juta dolar, sedang Indonesia mengekspor 140 juta dolar ke Israel, terutama untuk barang elektronika, plastik, dan karet. Negara Zionis itu menargetkan volume perdagangan kedua negara bakal mencapai 600 juta dolar di tahun 2010.[5]
            Zionis mengincar banyak sekali proyek penting di Indonesia contohnya proyek pembangunan PLT-Geothermal di Sumatera senilai 200 juta dolar yang dimenangkan oleh Ormat Technology, perusahaan engineering Israel di bidang energi geothermal. Selain itu, Indonesia menjadi samasukan pemamasukan produk-produk teknologi biomedik. Di bidang medis, korelasi Indonesia-Israel terjalin mesra dengan banyaknya peralatan ICU (Intensive Care Unit) yang ada di rumah-rumah sakit besar di negeri ini yang dibeli dari Israel. Pemerintah Indonesia sudah mengirimkan tenaga-tenaga medis Indonesia ke sana untuk petes ICU. Rumah-rumah sakit besar yang ada di Indonesia, terutama di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, sudah lazim mengirim tenaga-tenaga medisnya untuk mendapat petes ICU di Israel. Sangat besar kebijakan ke depan masih akan terus berjalan mengingat Menteri Kesehatan gres dijabat mantan pejabat Namru yang misterius.
            Hubungan Israel-Indonesia mempunyai korelasi yang sangat strategis. Menurut Kohin, Israel melihat adanya peluang serta potensi pasar dagang dan ekonomi yang begitu besar di Indonesia. Indonesia dipandang sebagai negara yang rindang, mempunyai cadangan sumber daya alam yang melimpah, mempunyai wilayah yang luas (seluas benua Eropa), juga penduduk yang mencapai 200 juta jiwa. "melaluiataubersamaini segala potensi itu, Indonesia bisa menjadi kekuatan ekonomi yang besar," terang Kohin.[6]
            Era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi transportasi, komunikasi dan informasi sudah memungkinkan elemen yang ada di luar entitas negara untuk terlibat dalam dinamika pergaulan internasional. Hubungan internasional kontemporer tidak lagi spesialuntuk memseriuskan perhatiannya kepada korelasi politik yang berlangsung antar negara yang ruang lingkupnya melintasi batas-batas wilayah negara, juga sudah mencakup beberapa aspek tugas dan kegiatan yang dilakukan oleh aktor-aktor bukan negara (non-state actors). Pola korelasi dan interaksi internasional ini sanggup berupa kerja sama, kompetisi dan konflik. Tentu yang diperlukan ialah berlangsungnya pola-pola kerja sama. Makara masalahnya, ialah bagaimana memelihara dan meningkatkan kolaborasi yang saling menguntungkan serta bagaimana mengubah kondisi-kondisi persaingan (kompetisi) dan perperihalan (konflik) menjadi kerja sama.[7]
            Pada tataran kebijakan Pemerintah RI, semenjak masa orde usang hingga orde gres hingga orde reformasi, sikap politik Indonesia terhadap Israel tergantung dari dinamika politik di Timur Tengah. melaluiataubersamaini kata lain, bahwa korelasi bilateral Indonesia-Israel sanggup terjalin apabila sudah tercapai perdamaian menyeluruh di Timur Tengah. Pergolakan politik Timur Tengah yang ditandai dengan rangkaian konflik yang masif antara Israel dengan Palestina hingga dikala ini menjadi perhatian tersendiri bagi Indonesia yang mempunyai keterkaitan historis dengan negara-negara Islam di Timur Tengah. Tantangan banyak pihak dalam negeri yang kontra-Israel dan kedekatan emosional dengan dunia Arab yang terkait dengan afiliasi keagamaan sangat kuat dalam menekan Pemerintah RI untuk tidak menjalin korelasi bilateral dengan Israel.
            Pada level kepemimpinan nasional, dari keenam Presiden RI, semenjak Soekarno hingga SBY dikala ini, spesialuntuk Gus Dur yang begitu intens mewacanakan semoga Indonesia membuka korelasi diplomatik dengan Israel. Waktu itu, Gus Dur melontarkan gagasan untuk membuka korelasi dengan Israel, kendati langkah pertamanya spesialuntuk dalam taraf  korelasi ekonomi dan perdagangan. Bahkan jauh sebelum menjabat sebagai Presiden RI yang keempat, Gus Dur dalam kapasitas sebagai ketua umum PBNU (Pengurus Besar Nahdatul ‘Ulama), yang ialah ormas Islam berhaluan moderat serta terbesar di Indonesia dikenal lantang menyerukan kepada Pemerintah RI semoga segera menjalin korelasi dengan Israel. Menurut Gus Dur, pembukaan korelasi itu akan menguntungkan posisi RI di dunia internasional.[8]
            Gagasan Gus Dur untuk membuka korelasi bilateral dengan Israel ternyata tidak mendapat respon yang positif dari sebagian besar elit maupun publik Indonesia. Justru gagasan tersebut menghadirkan perdebatan berkepantidakboleh, terutama di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. Begitu juga ketika dalam kapasitas sebagai Presiden RI di dikala melontarkan gagasan yang sama, kerap mendapat penolakan dari banyak sekali elemen masyarakat di Indonesia. Sejak Gus Dur didiberi mandat oleh MPR pada tanggal 20 Oktober 1999 hingga dengan dicabut mandatnya oleh MPR pada tanggal 23 Juli 2001, planning pembukaan korelasi diplomatik Indonesia-Israel jadinya hingga pada tataran wacana saja, sehabis mendapat tekanan domestik yang berdampak pada gagalnya wacana tersebut dalam tataran praksis kebijakan politik.
 Di masa pemerintahan SBY, wacana korelasi Indonesia-Israel kembali mencuat ketika sekelompok masyarakat yang menamakan dirinya Komunitas Yahudi Indonesia dan forum yang berhubungan dengan Israel, yakni IIPAC (The Indonesia-Israel Public Affairs Committee) berencana merayakan hari kemerdekaan Israel di Jakarta yang bertepatan dengan tanggal 14 Mei 2011. Sesudah mendapat protes yang kencang dari sebagian besar masyarakat Indonesia, umat Islam khususnya, planning komunitas pro-Israel untuk merayakan HUT Israel tersebut dibatalkan dengan banyak sekali pertimbangan, diantaranya alasan keamanan (security reason) mengingat sentimen anti-Israel di Indonesia masih kental. Polemik usang terkait perdebatan dan pro-kontra terkena korelasi Indonesia-Israel kembali hadir dalam ruang publik Indonesia, dimana keterbukaan atas nama demokrasi menjadi legitimasi tersendiri untuk mengekspresikan sikap politik maupun sikap keagamaan yang beragam.
            Menyikapi pro-kontra perayaan HUT Israel,  pihak kementerian luar negeri Indonesia (kemenlu RI) sebagai perwakilan resmi pemerintah dalam urusan korelasi luar negeri, bahwa faktanya hingga kini Indonesia belum mempunyai korelasi diplomatik dengan Israel lantaran Indonesia tidak mengakui kedaulatan Israel. Selama ini, Indonesia termasuk negara yang mendukung kemerdekaan Palestina yang ialah korban penjajahan Zionis-Israel. Mayoritas masyarakat domestik Indonesia juga sepertinya sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam menolak segala bentuk korelasi dengan Israel.
            Bagi kelompok pro-lobi Israel, bahwa membangun korelasi bilateral dengan Israel ialah instrumen untuk memperluas jalan masuk ekonomi dan politik yang berorientasi pada peningkatan ekonomi nasional. Apalagi pemulihan ekonomi nasional ialah aktivitas nasional Pemerintah RI yang sangat urgen. Dalam hal membangun perekonomian suatu negara, selain peningkatan pada produksi-produksi domestiknya, suatu negara juga membutuhkan modal (capital) untuk mendukung kegiatan perekonomiannnya. Dalam hal ini, pemerintah dituntut untuk pro-aktif membangun jalan masuk yang luas dengan struktur ekonomi internasional melalui kolaborasi di bidang ekonomi dalam bentuk perdagangan dan investasi. Israel sebagai negara Yahudi dikenal mempunyai lobi internasional yang sangat kuat dan dikenal erat dengan sumber-sumber dana internasional. Israel dianggap sebagai negara termaju di Asia Barat Daya dalam hal pembangunan ekonomi dan industri.[9]Kekuatan internasional Israel tersebut barangkali menjadi alasan bagi komunitas pro-Israel di Indonesia semoga membangun jalan masuk ekonomi-politik dan korelasi bilateral dengan Israel. Bayangkan saja, Israel menduduki peringkat pertama di dunia dalam hal konservasi air dan penerapan energi gerah bumi.[10]Israel ialah negara kecil yang perkasa. Akar-akar kekuatan Israel sanggup dilihat dalam bentuk lobi Yahudi di Amerika Serikat dan Eropa, penguasaan media massa, penguasaan aset-aset ekonomi, dan jalan masuk politik. Selain itu, kekuatan Israel lainnya ialah penguasaan ilmu pengetanuan dan teknologi (iptek) dan persatuan kaum Yahudi sedunia.[11]
Konteks ekonomi-politik dalam konstelasi korelasi internasional terhadap problem korelasi Indonesia-Israel memerlukan keseimbangan dalam memaknai kepentingan yang bisa diperoleh baik secara ekonomi maupun politik termasuk juga resiko yang akan dihadapi. Studi korelasi internasional kontemporer mengakui keterkaitan mutlak antara politik dan ekonomi. Di samping itu, diakui pula bahwa sikap internasional bertolak dari politik domestik, dorongan ekonomi domestik, dan tujuan internasional dari elit ekonomi mayoritas di negara yang bersangkutan. Itu sebabnya, semenjak satu dasawarsa kemudian para mahir mulai menelaah konsep ekonomi politik global sebagai sebagai salah satu unsur korelasi internasional yang fundamentalis.[12] Dalam konteks ini, kekerabatan antara ekonomi dan politik terletak pada saling keberpengaruhan antara proses-proses kebijakan politik dan interaksi ekonomi, tuntutan domestik dan lingkungan internasional.
            Dalam percaturan internasional, di tengah geliatnya produktifitas negara-negara maju dan tren kebangkitan negara-negara yang pertamanya berstatus negara bermetamorfosis lebih maju, ialah fenomena global yang seharusnya menjadi cermin bagi Indonesia untuk berproses dan bertransformasi untuk segera berdiri dari keterpurukannya sehabis krisis multi-dimensi menerjang Indonesia terutama problem di bidang ekonomi. Sebagai negara yang bisa dikatakan gres saja mengalami transisi politik menuju masa demokrasi, Indonesia di masa menhadir membutuhkan solusi keterpaduan antara keberhasilan konsolidasi politik yang stabil dan perbaikan di sektor ekonomi.
Pada level makro, kontekstualitas untuk membangun ruang kolaborasi dan jalan masuk dengan Israel yang secara ekonomi-politik sangat kuat, di satu sisi memang ialah peluang yang mungkin bisa dimanfaatkan, tetapi Pemerintah RI sepertinya masih terkendala dengan konstituen domestik yang masih menolak segala bentuk korelasi dengan Israel yang dikenal sebagai negara penjajah Palestina. Fakta bahwa Indonesia ialah negara yag paling parah diterpa krisis dan lambatnya proses pemulihan ekonomi menjadi preseden jelek dalam hal kiprah Indonesia di tengah arus globalisasi ekonomi. melaluiataubersamaini demikian, keseimbangan dalam merespon antara tekanan domestik yang masih kuat arus sentimen anti-Israel di satu sisi, dan aktivitas pemulihan ekonomi nasional melalui memanfaatkan jalan masuk lobi internasional Israel di sisi lain, ialah tantangan tersendiri bagi Pemerintah dalam memilih pilihan terkait aktivitas prioritas yang berorientasi pada kemajuan bangsa dan negara maupun dalam memainkan kartu politik internasionalnya untuk menjaga keseimbangan peta kepentingan-kepentingan strategis internasional.
Di daerah Asia Pasifik, negara-negara menyerupai India dan Cina bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan berdiri sejajar dengan negara-negara yang sudah lebih lampau maju. Bahkan Indonesia jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, menyerupai Thailand dan Singapura dalam memanfaatkan pertumbuhan pasar di daerah Asia Pasifik. Realitas kondisi tersebut mengambarkan bahwa Indonesia gagal dalam membangun perekonomian dan memanfaatkan peluang pasar yang ada. Indonesia sekiranya perlu berguru dari keberhasilan negara-negara lain yang maju dari segi perekonomiannya khususnya yang disebut emerging market sehingga Indonesia sanggup berperan lebih dalam pentas ekonomi global.
Hubungan antara Indonesia dengan Israel selama ini bersifat konfliktual dan antagonis. Memang konflik (perperihalan) dan juga kompetisi (persaingan) ialah hal-hal yang tidak simpel terhindarkan dalam interaksi korelasi internasional. Masalahnya ialah bagaimana menempuh langkah-langkah untuk membina upaya bersama guna mengurangi serta menghindari konflik yang berkepantidakboleh. Sumber konflik bisa terletak pada kelangkaan sumber-sumber daya  (berebut menguasai sumber-sumber daya alam pada khususnya) serta egosentrisme masing-masing negara atau kesatuan (entitas) sosial tertentu, yaitu aspirasi untuk meningkatkan kekuatan serta kedudukan dalam korelasi (interaksi) dengan negara-negara lain atau kesatuan (entitas) sosial lainnya.[13]Benturan mendasar antara Indonesia dengan Israel memang memerlukan proses yang panjang untuk tercapainya suatu rekonsiliasi lantaran di tingkat internasional, gambaran Israel begitu jelek yang dikaitkan dengan arogansi dan egosentrismenya dalam menjajah bangsa Palestina. Sedangkan, Indonesia dalam kebijakan politik luar negerinya dikenal pro-Palestina.
Dalam kajian korelasi internasional kontemporer, konflik tidak selalu berarti perang, tetapi bisa krisis korelasi diplomatik, protes, penolakan, tuduhan, tuntutan (claim), tindakan balasan, serta pemboikotan produk. Timbulnya konflik bisa dipicu oleh sikap-sikap serta tindakan yang bernuansa permusuhan atau saling ketidakpercayaan yang bertalian dengan kecenderungan (baik pemerintah maupun rakyat) untuk mempersembahkan reaksi keras dan berlebihan terhadap suatu kejadian di antara dua atau lebih entitas sosial yang tidak sama. Lalu solusi yang perlu dicapai dan dikembangkan ialah kerja sama. Dewasa ini pola-pola kolaborasi multilateral dan global perlu diperbanyak dan terus ditingkatkan, lantaran semakin luas dan banyak kasus global yang tidak bisa lagi diatasi atau ditanggulangi spesialuntuk oleh beberapa negara saja, tetapi perlu pemecahan kasus bersama-sama oleh banyak negara dan dengan mengikutsertakan pula aktor-aktor non-negara. [14]
Dalam konstelasi internasional, Timur Tengah ialah daerah yang strategis dalam aspek ekonomi, politik maupun ideologi. Cadangan minyak dan gas yang banyak dikandung wilayah ini, serta letak dan posisinya yang berada di persimpangan tiga benua, Asia, Afrika, dan Eropa, sudah menjadikan daerah ini sangat diperhitungkan dalam kancah global. Israel ialah negara Yahudi di Timur Tengah yang secara ekonomi-politik bisa dikatakan maju dengan sumbangan teknologi perindustrian yang canggih. Pada tanggal 11 Mei 19479, Israel resmi diakui menjadi anggota PBB. Sejak proklamasi kemerdekaan, spesialuntuk setahun kurang beberapa hari, Israel diakui dunia sebagai satu bangsa yang eksis.[15] Negara Israel resmi disetujui oleh Liga Bangsa-bangsa (sekarang Perserikatan Bangsa-Bangsa) sehabis Perang Dunia I. Pada tanggal 14 Mei 2011. Negara Israel merayakan kemerdekaannya yang ke-63, dimana figur David Ben Gurion dan tokoh-tokoh Israel lainnya berhasil memproklamasikan kemerdekaannya dan mendirikan negara Yahudi, yang berdasarkan anggapan mereka sebagai tanah yang dijanjikan. Konsep Zionisme dari Theodor Herzl ialah salah satu faktor utama terciptanya negara Israel. Tujuan Zionisme sangat terperinci orang-orang Yahudi ingin mendirikan negara yang merdeka, dan pada tanggal 14 Mei 1948 negara Israel sanggup didirikan atas prakarsa Inggris dan AS melalui PBB semoga dunia Arab sanggup mereka kuasainya beserta aset minyaknya guna mewujudkan keamanan nasional mereka dalam taraf global.[16]
Saat ini, Israel sudah menjadi sebuah realitas, walaupun legalitas Israel sebagai sebuah negara masih menjadi polemik, dimana eksistensi dan sepak terjangnya dalam percaturan dunia internasional cenderung perdebatanal dengan gambaran di tingkat masyarakat internasional yang jelek lantaran rangkaian konflik berkepantidakboleh dengan negara-negara Arab, khususnya Palestina. Indonesia ialah salah satu negara yang hingga kini belum mengakui kedaulatan Israel, sehingga planning kelompok tertentu di Indonesia untuk membuka korelasi dengan Israel kerap mengakibatkan perdebatan juga. Segi-segi laba dan kerugian dalam konteks ekonomi-politik terhadap proyeksi korelasi Indonesia-Israel memerlukan kalkulasi yang cermat dari Pemerintah dalam hal mengimplementasikan sebuah kebijakan luar negerinya.
Indonesia ialah negara di Asia Tenggara yang sangat strategis secara geografis. Indonesia terletak di garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara samudra Pasifik dan samudra Hindia. Indonesia ialah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan secara kultural-keagamaan ialah negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia banyak mempunyai sumber daya alam yang melimpah menyerupai minyak dan gas bumi, kerikil bara, emas, kelapa sawit dan kekayaan hewani laut. Tetapi ironisnya, dengan sumber daya alam yang begitu fantastis, tidak membuat Indonesia terorbit menjadi negara maju dari segi perekonomian. Bahkan kalah jauh dibandingkan dengan negara tetangganya, menyerupai Malaysia, Singapura dan Thailand.
Dalam hal kebijakan politik luar negeri Indonesia terhadap Timur Tengah, Indonesia menjalin korelasi resmi (diplomatik) dengan negara-negara Timur Tengah kecuali Israel yang dikenal dengan negara Zionis penjajah bangsa Palestina. Israel dan Indonesia ialah dua negara yang mendapat kemerdekaan pada periode waktu yang hampir sama. Kedua negara tersebut ialah model negara pro-demokrasi dalam kawasannya masing-masing. Namun dengan usia yang relatif sama tersebut, kedua negara masih belum bisa berhubungan secara politik maupun ekonomi melalui saluran korelasi diplomatik.
Di dalam negeri Indonesia, problem korelasi Indonesia dengan Israel ialah problem yang sangat sensitif. Yang menjadi kasus di Indonesia ialah terbentuknya stigma negatif dalam mayoritas masyarakat Indonesia yang mengantagoniskan tugas Israel dalam konstelasi politik Timur Tengah dan global. Citra jelek Israel di tingkat domestik Indonesia diberimplikasi pada pengarus-utamaan kontra-Israel yang sangat kental, sehingga suasana psikologi massa tersebut membuat Israel bisa dikatakan menjadi musuh kolektif bangsa ini. Di sisi lain, Indonesia barangkali berkepentingan juga dengan menjalin korelasi dengan negara kuat menyerupai Israel, yang dikenal dengan ruang diplomasi internasionalnya yag luas sehingga diperlukan bisa memanfaatkan jalan masuk lobi Israel di dunia internasional untuk kepentingan strategis Indonesia. Selain itu, Israel dikenal negara teknologi tinggi (high-tech) yang mungkin saja bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk meningkatkan produksi-produksi domestiknya. Fakta penindasan yang dilakukan oleh Zionis-Israel terhadap bangsa Palestina, tentu saja berdampak terhadap sikap politik Indonesia dalam hal penolakan korelasi dalam bentuk apapun dengan Israel.
Timur Tengah mempunyai makna penting bagi AS sehabis perang dunia II berakhir. Mereka mulai mencicipi keuntungan-keuntungan minyak dari daerah teluk. Sejak dikala itulah mereka tetapkan bahwa Timur Tengah tidak bisa lagi diabaikan dan mulai mengarahkan diri pada daerah tersebut.[17]Dalam peta geopolitik dan geostrategis Timur Tengah, eksistensi Israel mempunyai signifikansi politik yang besar bagi negara besar menyerupai Amerika Serikat yang sangat bergantung pada minyak dan gas alam di Timur Tengah. Israel menjadi pintu gerbang bagi Amerika Serikat untuk memainkan peta politik Timur Tengah sesuai kepentingannya. Persekutuan politik Washington-Tel Aviv yang strategis ini membuat percaturan politik dan dinamika daerah Timur Tengah bisa dikatakan berada di bawah kendali kedua negara tersebut.
Dalam problem terkena korelasi Indonesia dengan Israel, walaupun ada propaganda yang dilakukan oleh komunitas pro-Israel di Indonesia dalam memproyeksi kolaborasi antar kedua negara dalam kerangka korelasi bilateral, namun pengarus-utamaan opini publik kelompok masyarakat anti-Israel masih mayoritas berpengaruh. Fakta bahwa Israel sebagai negara yang dikenal unggul dalam sektor teknologi tinggi dan lobi internasional yang kuat ialah pesona tersendiri bagi negara menyerupai Indonesia yang mempunyai kepentingan strategis dalam dunia internasional secara ekonomi-politik. Peta kepentingan ekonomi-politik Indonesia terhadap Israel yang mungkin bisa diperoleh salah satunya melalui jalur korelasi bilateral dalam konteks interaksi internasional memang di satu sisi sangat potensial, namun di sisi lain dalam konteks politik nasional, dimana konstituen domestik Indonesia cenderung menolak korelasi bilateral dengan Israel. Mengacu pada fakta tersebut, keseimbangan dalam melihat peluang benefit maupun resiko politik dalam proyeksi korelasi Indonesia dengan Israel tetap harus dilakukan secara proporsional semoga kebijakan politik domestik maupun kebijakan luar negeri Indonesia di masa menhadir sesuai dengan kepentingan nasionalnya di tengah pertarungan strategis antara banyak sekali kepentingan-kepentingan kekuatan internasional yang ada.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan tema : Prospek Hubungan Bilateral Indonesia-Israel dalam Perspektif Ekonomi Politik.



0 Komentar untuk "Prospek Relasi Bilateral Indonesia-Israel Dalam Perspektif Ekonomi Politik (Is-15)"

Back To Top