Angkringan Dan Mahasiswa (Studi Wacana Pemaknaan Angkringan Oleh Para Mahasiswa) (So-1)

loading...
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuntutan terkena tingkat kesejahteraan hidup insan yang optimal memang ialah tuntutan universal bagi seluruh manusia. Ketidakseimbangan antara needs dan resources yaitu fenomena universal yang disebabkan oleh kecepatan pertumbuhan penduduk yang diikuti kebutuhan hidup yang melaju lebih cepat dibandingkan dengan ketersediaan sumber-sumber kebutuhan hidup. Hal ini juga berkaitan dengan pencari kerja yang semakin bertambah banyak dan disisi lain tidak diikuti dengan ketersedian lapangan kerja baru.

Keterbatasan pertumbuhan sektor modern dalam menyerap tenaga kerja menimbulkan mereka yang tidak sanggup diserap oleh sektor industri modern mencari alternatif lain dalam mencari pekerjaan di luar sektor tersebut. munculah kemudian apa yang disebut dengan sektor informal. Istilah sektor informal itu sendiri pertama kali dilontarkan oleh Keith Hart yang dituangkannya pada penelitiannya di Ghana pada tahun 1973. Ia mengungkapkan bahwa peluang memperoleh penghasilan di kota tidaklah selalu diidentikkan dengan proses industrialisasi yang serba canggih tetapi terdapat pula kegiatan ekonomi yang tidak terorganisir yaitu sektor informal. Meluasnya migrasi penduduk dari desa menuju kota sebagai akhir terseriusnya pembangunan ekonomi di kota-kota besar semakin menjadikan sektor informal pada posisi strategis sebagai ruang yang menyediakan peluang ekonomi bagi masyarakat marginal. Di sini sektor informal justru sanggup berfungsi sebagai katup penyelamat yang sanggup meredam ledakan sosial sebagai akhir meningkatnya pencari kerja baik dalam kota maupun penhadir dari desa. Bahkan lebih jauh lagi, Hernando de Soto melihat sektor informal justru ialah kekuatan tersembunyi untuk memperbaiki sistem ekonomi pasar yang tidak aksesibel (Hernando de Soto,88:1991).

Sektor informal sendiri tidak sanggup dilepaskan dari proses pembangunan. Terdapat dua pedoman yang berkembang dalam memahami kaitan antara pembangunan dan sektor informal Pertama: Pemikiran yang menekankan bahwa kehadiran sektor informal sebagai tanda-tanda transisi dalam proses pembangunan di Negara sedang berkembang. Sektor informal yaitu tahapan yang harus dilalui dalam menuju tahapan modern, pandangan ini beropini bahwa sektor informal berangsur-angsur akan berubah menjadi sektor formal seiring dengan meningkatnya pembangunan. Berarti keberadaan sektor informal ialah tanda-tanda sementara dan akan terkoreksi oleh keberhasilan pembangunan. Kedua: Pemikiran kedua beropini bahwa kehadiran sektor informal ialah tanda-tanda adanya ketidakseimbangan kebijaksanan pembangunan, kehadiran sektor informal dipandang sebagai akhir budi pembangunan yang dalam banyak hal lebih berat pada sektor modern (perkotaan) atau industri dari pada sektor tradisional (pertanian). Sektor informal akan terus hadir dalam proses pembangunan selama sektor tradisional tidak mengalami perkembangan (Tadjuddin Noer Effendi: 77:1993).

Sektor informal pada umumnya dimasuki oleh kaum migran kota yang tidak mempunyai saluran untuk memperoleh penghasilan pada sektor formal lantaran keterbatasan keahlian dan pengalaman yang disyarakatkan sektor formal. Sethuraman menemukan bahwa mereka yang terlibat dalam sektor informal pada umumnya miskin, kebanyakan dalam usia kerja utama (primer age), berpendidikan rendah, upah yang diterima di bawah upah minimum, modal perjuangan rendah serta sektor ini mempersembahkan kemungkinan untuk mobilitas vertikal (Chris Manning dan Noer Effendi,76:1985).

Sektor informal sebagai fenomena yang khas di negara-negara sedang berkembang sanggup berupa kegiatan produksi dan distribusi barang maupun jasa. Misalnya saja pedagang kaki lima, pedagang asongan, tukang kredit dan unit-unit kegiatan lainnya. Salah satu rujukan pedagang kaki lima yang hendak dibahas di sini ialah pedagang angkenteng atau sering disebut di kota Purwokerto sebagai pedagang wedang hik. Pedagang angkenteng yaitu model perdagangan masakan dan minuman dengan memakai gerobak dorong yang biasanya berjualan pada malam hari, adapun yang dijual oleh pedagang angkenteng yaitu macam-macam gorengan ibarat pisang goreng, tempe mendoan, tahu goreng, bakwan, nasi bungkus, teh dan jeruk gerah maupun masbodoh dan lain-lain yang dijajakan pada malam hari mulai selepas maghrib hingga tengah malam. Sebagai model perdagangan masakan yang menjajakan pada malam hari, pedagang angkenteng dalam menyajikan dagangan mempunyai karakteristik yang hampir sama antara pedagang angkenteng satu dengan pedagang angkenteng lainnya dimana hal ini menjadi ciri khas yang membedakan mereka dengan pedagang masakan lainnya, baik dari kondisi masakan dan minuman yang disajikan hingga suasana yang santai penuh kekeluargaan dan keakraban baik dari pedagangnya maupun dari para pembelinya.

Salah satu sifat angkenteng adanya kenyamanan dan keleluasaan yang ditawarkan angkenteng yang menjadi daya tarik tersendiri yang membedakan angkenteng dengan warung makan lain yang sudah ada. Di angkenteng kita boleh saja duduk berjam-jam tanpa harus khawatir akan menerima usiran dari pemiliknya. Di angkenteng pula kita boleh makan sambil jegang(duduk dengan kaki satu diangkat ) mengangkat kaki, bahkan bila memungkinkan sambil pulasan. Banyak pedagang angkenteng menyediakan tikar untuk lesehan pengunjung atau pembeli, dimana hal ini mempersembahkan suasana khas pada warung angkenteng itu sendiri. Maka tak heran jikalau banyak mahasiswa yang menjadikan angkenteng sebagai tempat konsumsi, mereka menentukan angkenteng lantaran suasana tidak sama yang ditawarkan oleh para pedagang angkenteng bila dibandingkan dengan warung makan lainnya.

Angkenteng yaitu suatu bisnis kecil, oleh rakyat dan bermodal kecil, cukup dengan modal yang kecil ditambah bekal tenaga dan berpengaruh melek maka akibatnya bisa dikatakan lebih banyak dibandingkan dengan bekerja di pabrik. Angkenteng pula yang sudah berjasa melepaskan para pelakunya (masyarakat, terutama penduduk pedesaan di Klaten) dari bulat kemiskinan (Kompas, 28-05-2004), Berikut ini data nama para pedagang angkenteng di Kota Purwokerto

Keberadaan pedagang angkenteng nampak begitu kasatmata ketika krisis ekonomi dan politik tahun 1997 memuncak. Badai politik, ekonomi, dan sosial yang mengguncang seluruh sendi bangsa ini menjelang dan pasca lengsernya Presiden Soeharto, nampak begitu nyata. Ini bisa kita lihat di kota Yogyakarta sebagai tempat munculnya pedagang angkenteng pertama kali, dimana ketika kondisi atau keadaan semakin memburuk, pilihan tempat konsumsi yang murah menjadi alternatif yang tak terelakkan. Angkenteng naik gengsi dan mendadak sontak menemukan maknanya yang kian jelas. Seperti yang didiberitakan oleh harian kompas, di seluruh Yogyakarta setidaknya ada 1200-an paguyuban angkenteng dan 2000-an pedagang angkenteng yang menghidupi keluarganya dari kegiatan ekonomi rakyat ini. Diperkirakan 30.000 orang terlibat dan bergantung dari perjuangan angkenteng ini. (Kompas, 4-03-2004).

Selain di kota Yogyakarta sebagai tempat lahir, tumbuh dan berkembangnya angkenteng, di kota Purwokerto pun bermunculan pedagang-pedagang angkenteng yang sebagian besar berasal dari Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten (Jawa Tengah). Munculnya angkenteng di Purwokerto dimulai sekitar tahun 1998 yang berlokasi di sekitar kompleks Universitas Jenderal Soedirman. Saat ini, pedagang angkenteng di kota Purwokerto mulai terhimpun dalam wadah paguyuban pedagang angkenteng yang sifatnya tidak resmi spesialuntuk sebatas wadah berkumpul dan saling memmenolong antar pedagang angkenteng. Pedagang angkenteng di Purwokerto sebagian besar berada di sekitar lingkungan kampus Unsoed Purwokerto, meskipun ada juga pedagang angkenteng yang berada di luar kampus Unsoed yaitu kampus UMP (Universitas Muhammadiyah Purwokerto), dan di sekitar jalan jenderal Soedirman atau dekat alun-alun masing-masing spesialuntuk terdapat satu pedagang. Tidak ibarat di kota Yogyakarta, Solo, dan Semarang yang sanggup kita lihat di setiap sudut kota ada pedagang angkenteng, ramainya kawasan kampus oleh mahasiswa ialah salah satu penyebab mengapa sebagian besar pedagang agkenteng berada di sekitar kampus.

Pada umumnya diakui bahwa sektor informal memainkan peranan yang penting di kawasan perkotaan, baik dalam hal menyerap tenaga kerja maupun menyediakan barang dan jasa yang murah bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Begitu juga halnya dengan angkenteng, angkenteng seolah menjadi tumpuan hidup kaum miskin kota, ibarat tukang becak, buruh pertokoan, dan para pegawai. Fenomena ini barangkali terkait dengan tersebarnya para pedagang angkenteng mulai dari tengah kota hingga pinggiran kota.
Sebagai penyedia kebutuhan barang dan jasa yang murah bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah, sudah semestinya jikalau angkenteng kemudian dikaitkan dengan keberadaan kelompok masyarakat berpendapatan rendah sebagai konsumen tetapnya. Angkenteng kemudian diidentikkan sebagai tempat konsumsi kelompok miskin kota yang melihat angkenteng sebagai alternatif pilihan yang murah dalam pemenuhan kebutuhan dasar mereka.

Namun sepertinya perkiraan ini tidaklah sepenuhnya benar. Kecenderungan yang ada kini ialah bahwa angkenteng sudah menjadi tempat konsumsi bagi tiruana lapisan sosial dalam masyarakat. Entah lapisan bawah, menengah atau yang disebut sebagai lapisan sosial atas. Sering terlihat mereka yang bepenampilan rapi, membawa handphone, berkendaraan sepeda motor dan mobil, bahkan mahasiswa yang dipandang oleh masyarakat sebagai calon-calon intelektual yang bersemangat, penuh dedikasi, enerjik, kritis, pandai dan diberilmu alasannya mereka digodok di sebuah tempat yang berjulukan Universitas tanpa segan-segan makan di angkenteng. Mereka pun kadang kala rela mengantri untuk bisa mengambil masakan atau menunggu tempat yang kosong.
Kini angkenteng bukan lagi milik orang-orang pinggiran atau orang-orang yang berkantung cekak (tipis atau orang yang mempunyai uang sedikit), namun mulai jadi sebuah life style gres bagi mahasiswa, mahasiswa yang berdasarkan Basri yaitu ialah sekelompok kecil dari masyarakat yang sedang berpeluang membuatkan kemampuan intelektualnya dalam mendalami bidang yang diminatinya di perguruan tinggi tinggi (Basri:121:1995). Selain harganya relatif murah suasana santai di angkenteng yaitu daya tarik utama. Di angkenteng, orang boleh makan sambil mengangkat kaki, bercanda dengan mitra atau dengan pedagang angkenteng, teriak atau bahkan mengeluarkan kata-kata yang kasar. Tetapi tak jarang angkenteng menjadi ajang diskusi yang sangat fokus.

Angkenteng bukan lagi sebagai tempat makan, melainkan juga sebagai tempat nongkrong (duduk-duduk), tempat mencari inspirasi, tempat diskusi serta curhat di kalangan mahasiswa. Ankenteng yaitu ruang bersama yang merangkai komunikasi dari aneka macam latar belakang, angkenteng yaitu gaya hidup gres bagi mahasiswa Unsoed Purwokerto. Mereka (mahasiswa) hadir ke warung angkenteng bukan spesialuntuk sekadar untuk menghabiskan uang, akan tetapi juga untuk mengkomunikasikan makna-makna tertentu. Apa yang dikonsumsi bukan lagi sekadar obyek tetapi juga makna-makna sosial yang tersembunyi di dalamnya.

Yang menarikdanunik, sebagaimana yang terjadi di kota Purwokerto angkenteng menjadi identik dengan kelompok mahasiswa. alasannya dari setiap warung angkenteng yang ada pengunjungnya didominasi oleh mahasiswa. Bahkan kita susah melihat pengunjung selain mahasiswa yang nongkrong di angkenteng. Kalaupun ada pengunjung angkenteng yang bukan mahasiswa maka jumlahnya sangat kecil. Dan memang secara sekilas kita susah membedakan antara pengunjung yang mahasiswa dengan yang bukan mahasiswa. mungkin lantaran dalam citra kita yang mengunjungi angkenteng pastilah mahasiswa.
Atas dasar itu angkenteng mempunyai nuansa yang khas bila dibanding dengan warung makan yang lainnya sebagaimana sudah disinggung, angkenteng bisa saja menjadi ruang gres bagi mahasiswa untuk memperbincangkan aneka macam permasalahan. Karena itu sebagai sebuah demam isu bisa saja angkenteng menjadi semacam ruang resistensi bagi para mahasiswa terhadap kecenderungan budaya tinggi di sekitarnya (high style). Dalam konteks ini angkenteng bisa menjadi sebuah ruang alternatif bagi mahasiswa.

Pertanyaan yang kemudian terlontar yaitu mengapa kecenderungan tersebut ada. Apa yang mengakibatkan orang-orang yang bisa dibilang berkecukupan tersebut rela mengantri spesialuntuk untuk menikmati sepiring nasi kucing, aneka macam macam gorengan, sate usus, wedang jahe, baceman kepala dan ceker ayam(nama dari penggalan badan ayam yaitu kaki, wedang (bahasa jawa yang artinya minuman) jahe susu, ataupun jenis-jenis masakan lain yang biasa disajikan di angkenteng. Apakah faktor harganya yang relatif murah makanannya ataukah ada faktor-faktor lain yang mendorong mereka menjatuhkan pilihan pada angkenteng sebagai tempat konsumsi mereka. Misalnya saja suasana nyaman yang tercipta ataupun lawakan yang kadang terlontar.

B. Perumusan Masalah
Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) sektor informal didefinisikan sebagai unit perjuangan berskala kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan utama membuat peluang kerja dan penghasilan bagi dirinya sendiri, meskipun mereka menghadapi hambatan baik modal maupun sumber daya fisik dan insan (Subarsono, Materi Kuliah Problema Pembangunan.:dalam skripsi Tatik Haryani:Fisip UGM).

Usaha angkenteng yaitu salah satu penggalan dari sektor informal yang ialah bisnis yang menjual masakan dan minuman, dengan mempunyai modal yang kecil ditambah bekal tenaga yang berpengaruh dan betah melek, bisnis angkenteng berfungsi sebagai katup penyelamat yang sanggup meredam ledakan sosial sebagai akhir meningkatnya pencari kerja di kota-kota besar baik yang berasal dari kota sendiri maupun dari desa.
Berbicara terkena mahasiswa dalam menentukan pilihan warung makan bisa dilihat dengan ukuran kantung masing-masing mahasiswa, maka bagi mereka (mahasiswa) yang berkantung terbatas atau yang sedang kehabisan cadangan masakan seringkali menjatuhkan pilihan pada warung angkenteng sebagai tempat makan. Tetapi tak jarang ada juga mahasiswa yang berkantung tebal juga menjatuhkan pilihan pada warung angkenteng sebagai tempat konsumsinya atau spesialuntuk sekedar tempat untuk nongkrong bersama kawan-kawan sambil menikmati hidangan dari warung angkenteng.

Berdasarkan latar belakang dilema di atas, permasalahan yang ingin dijawaban disini yaitu wacana bagaimana angkenteng dimaknai oleh para mahasiswa?

C. Tujuan Penelitian
sejalan dengan perumusan dilema di atas maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana para mahasiswa memaknai keberadaan angkenteng?
2. Untuk mengetahui motivasi yang mendorong mahasiswa untuk makan di angkenteng?


D. Manfaat Penelitian.
A. Manfaat Teoritik Secara teoritik, hasil dari penelitian ini diperlukan sanggup memperkaya dan mempersembahkan proteksi bagi ilmu pengetahuan khususnya disiplin sosiologi perkotaan yang kaitannya dengan sektor informal. Selain itu sanggup memdiberi khasanah atau perbendaharaan bagi ilmu pengetahuan serta sanggup dijadikan sumber informasi bagi peneliti lain dengan tema sejenis.

B. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diperlukan sanggup mempersembahkan informasi terkena kegiatan pedagang angkenteng supaya sanggup mempersembahkan citra sehingga sanggup dijadikan materi masukan bagi PEMDA dalam meningkatkan kesejahteraan pedagang angkenteng di sekitar kampus Unsoed Purwokerto.

Tag : Sosiologi
0 Komentar untuk "Angkringan Dan Mahasiswa (Studi Wacana Pemaknaan Angkringan Oleh Para Mahasiswa) (So-1)"

Back To Top