Demokrasi Terpimpin Dalam Pedoman Idham Chalid (Ai-14)

loading...
A. Latar Belakang Masalah.
Gagasan wacana kekerabatan Islam dan Negara selalu menjadi wacana kasatmata di Indonesia meskipun sudah diperdebatkan beberapa tahun yang lalu, dan mengalami fluctuative discourse dalam percaturan politik di Indonesia, akan tetapi wacana ini selalu survive pada momen-momen tertentu. Hampir bisa dipastikan ketegangan dan perdebatan ini muncul menjelang pemilu lantaran momen ini ialah peluang besar bagi tiruana golongan yang ingin memperjuangkan aspirasi politiknya, baik itu yang diberideologikan nasionalis, maupun Islam.

Sejak pancasila dijadikan dasar ideologi formal Republik Indonesia pada tahun 1945 oleh Soekarno, pancasila menjadi pecahan perdebatan politik yang tak terelakan oleh Politikus dan Agamawan, khususnya Islam. Pada tahun 1950-1955 melahirkan sistem multipartai, ini ialah peluang besar bagi Partai Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai asas Negara, akan tetapi apa yang dicita-citakannya masih belum bisa dicapai hingga sekarang. Hal yang sama terjadi pada 1999 tahun kemudian yang menggunakan sistem multipartai dan lagi-lagi Islam belum cukup berpengaruh untuk meletakkan ideologi Islam sebagai dasar negara. Berhubung partai politik ialah salah satu alat untuk mewujudkan harapan gagasan, tidak menutup kemungkinan bahwa pemilu 2004 yang akan hadir juga muncul polemik sistem negara apalagi Islam formalis masih berada di ujung kekakalahan.

Sebelumnya pada tahun 1978-1985 sudah terjadi ideologisasi pancasila yang diinstruksikan oleh Soeharto, dan kemudian menjadikan perdebatan yang luar biasa di kalangan tokoh dan gerakan ideologi Islam. Insiden politik semacam itu sempat terulang kembali pada tahun 1990 di negeri ini, yakni terkena perdebatan ideologi. Sebenarnya sumber perdebatan itu ialah kekerabatan Islam dan negara, khususnya terkena sistem negara apa yang akan digunakan untuk membangun Indonesia, apakah berasaskan Islam atau sekuler ?

Penelitian ini mengambil judul "Diskursus Pemikiran Politik Islam di Indonesia (Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid wacana Relasi Islam dan Negara)," penyusun lebih memseriuskan pada dua tokoh ini yang tentunya sudah banyak mewarnai wacana perdebatan Islam dan Negara sepanjang lahirnya kemerdekaan bangsa Indonesia hingga dikala ini.

Menurut Munawir Sjadzali ada tiga kategori dalam memandang korelasi Islam dan negara di kalangan tokoh Islam. Pertama, aliran konservatif tradisionalis, yang beropini Islam ialah agama yang tepat dalam mengatur aspek kehidupan insan termasuk kehidupan bernegara, oleh lantaran itu tidak ada alasan memisahkan keduanya. Di antara para tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis, yang beropini bahwa Islam tidak memiliki sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai watak kehidupan bernegara. Tokoh yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Dan yang Ketiga, aliran nasionalis sekuler, Islam tidak ada hubunganya dengan negara lantaran berdasarkan aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.

Dari ketiga aliran tersebut, M. Natsir dan Gus Dur memang masuk dalam kategori aliran integratif modernis yang bahu-membahu dalam klasifikasinya Munawir Sjadzali ialah terma dari modernis, dalam hal ini penyusun lebih suka memposisikan M. Natsir sebagai tokoh modernis, sedangkan Gus Dur sebagai tokoh neo-modernis (meminjam istilah Greg Barton), ini lantaran pemikirannya yang liberal dan rasional wacana info kontemporer (baik itu politik, budaya dan agama) dengan tetap setia pada posisi konservatif-tradisional bahwa kejujuran dan kebenaran al-Qur'an tidak perlu diganggu gugat.

Kedua tokoh ini menarikdanunik untuk dikaji. Pertama, secara umum keduanya masuk dalam kategori aliran yang sama yaitu integratif modernis tetapi beda pendapat terkena kekerabatan Islam dan negara, khususnya azas negara, apalagi kelompok (background) yang diwakilinya sangat kontradiktif dengan gagasan dan prilaku politik tokoh tersebut, Gus Dur yang dibesarkan dalam lingkungan kaum tradisionalis, yaitu NU yang nota bene orientasi politiknya berkiblat pada ulama klasik ibarat Al-Mawardi dan Al-Ghazali ternyata bisa mengapresiasikan pemikiran liberal yang cenderung ala Ali Abd al-Raziq, sedangkan M. Natsir yang dibesarkan dalam lingkungan modernis justru lebih erat dengan pemikiran politik Islam fundamentalis ibarat al-Maududi yang sangat menginginkan Islam dijadikan sebuah dasar negara lantaran berdasarkan M. Natsir sendiri menjiplak sistem pemerintahan Barat ialah tindakan sekuler yang berperihalan dengan ajaran-ajaran Islam.
Kedua, wacana ini selalu kasatmata di Indonesia apalagi ketika mendekati pemilu. Dan tentunya gagasan kedua tokoh tersebut juga masih banyak mempengaruhi wacana perdebatan Islam dan negara di Indonesia. Setidaknya kedua alasan inilah yang mengakibatkan penelitian ini dilakukan.

M. Natsir mengatakan Islam sebagai azas negara bukanlah agresi pembangkangan negara (makar), akan tetapi lebih pada penghidupan demokrasi. Oleh lantaran itu dalam pidatonya pada sidang pleno konstituante (12 November 1957) ia menghendaki negara Indonesia ini berazaskan ideologi Islam. "Negara demokrasi berdasarkan Islam". Keinginannya ini Bukan semata-mata lantaran Islam agama lebih banyak didominasi di Indonesia melainkan fatwa Islam terkena ketatguagaraan dan kehidupan bermasyarakat itu memiliki sifat yang tepat dalam menjamin kerukunan beragama dan bernegara.
Sementara terkena sistem pemerintahan suatu negara, M. Natsir beropini boleh menjiplak pemerintahan Barat asalkan tidak melanggar nilai-nilai dasar Islam. Karena baginya Islam memang tidak memiliki sistem ketatguagaraan yang sempurna. Ini menarikdanunik untuk dicermati satu sisi M. Natsir terbuka untuk menggunakan sistem apa yang akan digunakan di Indonesia sisi lain beliau bersikeras memperjuangkan Islam sebagai azas ideologi negara.

Sedangkan berdasarkan Gus Dur apabila politik, budaya dan agama diideologikan fungsinya bisa terdistorsi lantaran yang muncul bukanlah struktur yang lebih baik melainkan konflik horizontal. Hal yang senada diungkapkan oleh Cak Nur bahwa Islam bukanlah sebuah ideologi, lantaran pendapat Islam sebagai ideologi spesialuntuk akan menyamakan agama itu setaraf dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia.
Dalam memandang kekerabatan Islam dan negara, dilema ketatguagaraan ialah hal yang tak bisa ditinggalkan, lantaran faktor inilah yang kemudian seringkali memunculkan perdebatan antara kelompok muslim idealis dan realis di negara kita. Adanya “Sistem Kekhalifahan” di masa Rasulullah S.A.W. dan Sahabat membuat sebagian masyarakat muslim dunia semakin menyakini bahwa jauh sebelum sistem demokrasi muncul, bahu-membahu Islam sudah memiliki sistem Tata Negara sendiri.

Dalam perspektif Ahl as-Sunnah wa al-Jama>‘ah pemerintahan dinilai dari segi fungsionalnya bukan pada formalitas bentuknya, apakah negara Islam atau bukan. Disamping itu, berdasarkan Gus Dur Islam tidak memiliki konsep pemerintahan yang definitif, contohnya wacana suksesi kepemimpinan terkadang menggunakan istikhla>f, bay‘ah, dan ahl al-H{alli wa al-Aqdi (sistem formatur). Hal ini memperlihatkan Islam inkonsisten dan tidak memiliki konsep yang baku.

Atas dasar pemikiran inilah, Gus Dur mendapatkan ideologi pancasila sebagai azas negara, dan yang terpenting baginya ialah umat Islam bisa melakukan kehidupan beragama secara penuh dan tetap berpegang pada watak sosial (social ethic).
Berbeda dengan M. Natsir yang menolak secara tegas ideologi pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Tetapi bukan berarti jalannya pemerintahan terlepas dan terpisah dari keagamaan begitu saja lantaran baginya Islam sendiri tidak ajaib dengan nilai-nilai demokrasi dan kemajemukan. Menurut penyusun "posisi Gus Dur yang menempatkan pancasila sebagai pra-syarat demokratisasi dan pembangunan keIslaman yang sehat di Indonesia nampaknya harus dilihat dari perspektif neo-modernisme."
Integrasi antara kemajemukan, demokrasi, Islam dan nasionalisme inilah yang secara intelektual politis melatarbelakangi keikutsertaan Islam dalam diskursus politik dan ideologi negara di Indonesia selama ini.

Tag : Agama Islam
0 Komentar untuk "Demokrasi Terpimpin Dalam Pedoman Idham Chalid (Ai-14)"

Back To Top