Dampak Kenaikan Harga Materi Bakar Minyak (Bbm) Terhadap Konsumsi Pangan Dan Non Pangan Mahasiswa (Prt-5)

loading...
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) memang ialah momok bagi Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Muhammad Jusuf Kalla (MJK), lantaran dengan adanya keputusan untuk menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM) akan melahirkan permasalahan yang komplek bagi tiruana bidang. Dan hal ini tidak bisa dihindari, banyak sekali bentuk penolakan timbul dengan banyak sekali cara. Mulai dari mahasiswa dengan budaya demonstrasinya, masyarakat yang mengatakan caranya sendiri, bahkan agresi mogok makan yang dilakukan oleh suatu anggota Dewan ketika sidang paripurna dalam keadaan kebinggungan, lantaran belum adanya kejelasan yang pasti. Semua bentuk penolakan itu disadari oleh Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Muhammad Jusuf Kalla (MJK) dan dianggap wajar, tetapi disisi lain Pemerintah harus bisa menyesuaikan tiruana permasalahan dengan banyak sekali resiko.

Presiden ialah pihak yang bertanggung jawaban atas tiruana permasalahan yang ada pada ketika ini, dimana dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mengejutkan mahasiswa dan tiruana lapisan masyarakat, ialah dampak negatif pada stabilitas Nasional, untuk itu pihak abnormal yang mempunyai tujuan tertentu akan sangat bahagia menyaksikan itu, mereka bisa memanfaatkan untuk merugikan bangsa kita. INI yang akan diantisipasi oleh bangsa Indonesia. Secara umum, lantaran ketika ini Pemerintah sibuk mengurusi perkara Bahan Bakar Minyak (BBM).

Kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan menjadikan kenaikan harga-harga kebutuhan pangan dan non pangan. Seharusnya Pemerintah bisa memakai alternative yang lain dengan meningkatkan efisiensi Pertamina. Alasan Pemerintah yang menjanjikan akan penyaluran dana kompensasi Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk kepentingan umum ternyata tidak mempunyai kejelasan samasukannya.

Pada tanggal 1 Oktober 2005 Pemerintah resmi memasukkan adanya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 50%-80% dengan perincian sebagai diberikut Premium Rp. 4.500,00/liter, Minyak tanah Rp. 2.500,00/liter, beras Rp. 3.000,00/kilogram. melaluiataubersamaini adanya kenaikan harga ini, sebagai gantinya pihak Pemerintah berjanji akan mempersembahkan kompensasi sebesar Rp. 10,5 Trilyun Rupiah untuk rakyat miskin. Dana tersebut akan dialokasikan untuk biaya pendidikan, layanan kesehatan, pembangunan infrastruktur di desa tertinggal diseluruh Indonesia.

Alasan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Muhammad Jusuf Kalla (MJK) untuk menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM) yaitu untuk menghilangkan subsidi bagi rakyat yang seharusnya tidak menerima, untuk dikompensasikan pada kehidupan pendidikan dan kemasyarakatan miskin, lantaran subsidi selama ini spesialuntuk dinikmati oleh kalangan orang-orang kaya (Bestari, Maret: 3, 2005).

Kajian Institute Development of Economic And Finance (INDF) 2005 menyatakan ihwal dampak kenaikan harga BBM terhadap masyarakat miskin dan Indeks Harga Konsumen (IHK) memakai metode Vector  Auto Regressive (VAR) mengambarkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 5% misalnya, akan menjadikan meningkatnya Indeks Harga Konsumen (IHK) naik sebesar 3,6% dan jumlah masyarakat miskin meningkat menjadi 1,30%. Semakin tinggi persentase kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) semakin tinggi pula lonjakan Indeks Harga Konsumen (IHK) dan jumlah masyarakat miskin (sumber: Dialog Rakyat “Pengaruh Kenaikan Harga BBM terhadap Kondisi Ekonomi, Politik, dan Gerakan Oposisi Rakyat Indonesia” oleh Gerakan Bahan Bakar Minyak (BBM) di gedung IKA UNIBRAW, 11/04/2005). 


Barangkali memang kenyataan yang menjengkelkan bahwa seringkali orang gres mengambil tindakan bila berada dalam keadaan terjepit. Ketika Bahan Bakar Minyak (BBM) di beberapa pompa bensin, termasuk di Jakarta, benar-benar habis dan menimbulkan kegelagapanan masyarakat, maka gres ada gerakan. Sebelumnya, banyak sekali pihak di pemerintahan berusaha meninabobokkan masyarakat dengan mempersembahkan jaminan bahwa stok Bahan Bakar Minyak (BBM) masih cukup. Tapi tindakan yang dilakukan dalam keadaan terjepit seringkali tidak menuntaskan persoalan, bahkan menciptakannya menjadi semakin rumit. Apakah penghematan ialah solusi. Bisakah penghematan Bahan Bakar Minyak (BBM) dilakukan melalui peraturan dan perintah. Soal Bahan Bakar Minyak (BBM) ini bukan soal baru, dan memang sudah salah kaprah. Apa yang kita hadapi kini ini tidak lain yaitu jawaban kebijakan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diterapkan selama bertahun-tahun. Barangkali benar konstatasi sementara orang bahwa sumber kekayaan minyak bumi yang bersama-sama ialah rahmat ternyata juga bisa menjadi kutukan. Salah kaprah pertama: katanya, minyak yang terdapat di bumi Indonesia yaitu milik rakyat, dan harus digunakan untuk memenuhi sebesar-besarnya kebutuhan rakyat. Ini artinya disediakan tiruanrah mungkin, dan harganya tidak boleh ditentukan atas dasar nilai ekonomisnya melainkan atas pertimbangan kemampuan membelinya. Ada dongeng 20-an tahun lalu, ketika Menteri Energi Subroto mempersoalkan ini, reaksi Presiden Soeharto yaitu bahwa minyak tanah harus tetap tersedia tiruanrah mungkin untuk rakyat biarpun lantaran itu minyak kita akan terkuras habis.

Tetapi apa mau dikata, pada tahun 1982 dan 1983, ketika harga minyak internasional membubung tinggi, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) didalam negeri berturut-turut diubahsuaikan (artinya dinaikkan) sebesar masing-masing 80 persen rata-rata. Untuk sementara keadaan anggaran pemerintah terselamatkan. Ketika keadaan ekonomi pada umumnya membaik, maka kita lalai. Salah kaprah kedua: adaptasi harga minyak dilakukan atas pertimbangan keadaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan bukan dalam kerangka penyediaan energi nasional menurut suatu seni administrasi yang jelas. Kembali Menteri Energi Subroto waktu itu melansir suatu kebijakan energi yang mempunyai 4 komponen yang saling berkaitan: intensifikasi, diversifikasi, konservasi, dan indeksasi. Intinya yaitu bahwa minyak bumi harus digunakan seoptimal mungkin dan perlunya menyebarkan sumber-sumber energi lainnya. Tetapi kembali soal penetapan harga menjadi sumber kegagalan penerapan kebijakan itu. Bila harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dipertahankan murah bagaimana mungkin konsumen mau mengalihkan pemakaian pada energi alternatif, dan bagaimana pula sumber energi lainnya akan bisa dikembangkan. Maka semakin usang kebutuhan untuk mengimpor Bahan Bakar minyak (BBM), bukan spesialuntuk minyak mentah untuk dikilang di dalam negeri, juga meningkat. Kilang di dalam negeri dirancang sesuai jenis masukan dan komposisi keluaran Bahan Bakar Minyak (BBM)nya, yaitu berapa banyak premium, diesel, minyak tanah, dan jenis-jenis lainnya. Komposisi pemakaian itu makin usang semakin berubah lantaran pemakaian jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) yang disubsidi secara besar meningkat dengan tajam. Persoalan penyediaan energi didalam negeri menjadi semakin rumit. Tetapi ekonomi tumbuh 7 persen per tahun, maka kita semakin lalai. Perlu dicatat bahwa diversifikasi energi dan pembangunan kilang gres tidak sanggup terjadi dalam waktu singkat.

Krisis ekonomi berdampak pada kemampuan anggaran pemerintah. Maka di abad reformasi mulai terasa beban subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Tetapi lebih dari itu, mulai disadari perlunya mereformasi industri perminyakan kita untuk meningkatkan efisiensi dan fleksibilitasnya. Maka dirumuskan suatu seni administrasi dan untuk itu harga Bahan Bakar minyak (BBM) harus dirasionalisasi secara bertahap.

Dalam korelasi ini pemerintah dengan persetujuan DPR, tetapkan suatu formula adaptasi harga secara teratur dan bertahap. Namun ini spesialuntuk dijalankan selama kira-kira setahun. Di bulan Januari 2003, Presiden Megawati mendapat Koreksian lantaran menyetujui kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Pada waktu mengumumkannya, Presiden Megawati menyatakan bahwa keputusan pahit itu diambil untuk kepentingan jangka panjang biarpun akan mensugesti popularitasnya.

Menurut Rizal Mallarangeng, yang tahu apa yang terjadi, beberapa orang akrab Presiden Megawati berhasil memanipulasinya untuk menarikdanunik kembali keputusannya atas pertimbangan politik, yaitu biar ia kelak bisa terpilih lagi. Tetapi di balik tiruana itu terdapat salah kaprah ketiga: katanya, subsidi yang ialah perkara politik yang peka itu bersama-sama tidak ada, jadi tidak perlu ada adaptasi harga. Adalah Menteri Kwik Kian Gie yang menyebarkan argumentasi bahwa subsidi itu bersama-sama cuma angka-angka di atas kertas. Intinya: minyak bumi itu milik rakyat, dan harus dikembalikan kepada rakyat tanpa ada pelengkap ongkos apa-apa. Ini bersama-sama suatu variasi yang sedikit lebih canggih dari salah kaprah pertama. Tetapi tetap ialah salah kaprah.

Alhasil, dalam keadaan dimana harga minyak Internasional membumbung ibarat kini ini beban pemerintah semakin membengkak lantaran subsidi itu memang ada. Bila kita tidak mempunyai minyak sendiri dan harus sepenuhnya membeli dari luar ibarat dialami banyak negara maka selisih harga impor dengan harga jual ke konsumen dalam negeri harus ada yang menutup. Mengapa bila minyak itu kita miliki sendiri kemudian harganya tidak boleh diputuskan sesuai harga pasar bukankah ini berarti bahwa milik sendiri boleh dihambur-hamburkan. Banyak pihak memang bisa berpesta pora dengan penghambur-hamburan ini. Subsidi minyak tanah dan Bahan Bakar Minyak (BBM) lain yang begitu besar spesialuntuk sebagian kecil saja yang dirasakan oleh penduduk berpendapatan rendah. Kelas menengah dan kelompok kaya jugalah yang menikmatinya. Lebih celaka lagi, orang luar ikut menikmati lantaran penyelundupan keluar semakin marak. Lalu kenapa selalu ada tantangan untuk menerapkan harga rasional pada Bahan Bakar Minyak (BBM) jawabanannya, untuk melindungi kepentingan rakyat banyak. Ini salah kaprah yang paling besar dan yang menjerumuskan. Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) harus naik. Dampaknya akan ada. Argumen inflasi digunakan untuk menentangnya. Tetapi ancaman inflasi itu arah sedikit demi sedikit lebih banyak disebabkan lantaran formula adaptasi harga secara itu kita. 

Mahasiswa benar, bahwa kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan mengakibatkan kenaikan banyak sekali kebutuhan hidup yaitu kebutuhan pangan dan non pangan sebagaimana ditunjukkan oleh lonjakan inflasi yang cukup tinggi. Temuan tersebut mengatakan pentingnya kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) ini diikuti dengan kebijakan lain yang sanggup mengendalikan lonjakan inflasi yang disebabkan oleh faktor-faktor yang lain. Selain itu agenda kompensasi maka agenda pembangunan infrastruktur di kawasan pedasaan dan perkotaan perlu mendapat prioritas pemerintah untuk meminimalisasikan jumlah penduduk miskin jawaban adanya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

Melihat kompensasi dan pengeluaran masyarakat miskin, maka agenda yang sanggup disignifikasikan memmenolong masyarakat yaitu agenda di bidang pendidikan, kesehatan, pangan dan transportasi. Masalahnya ada implementasi dari agenda tersebut. Selama ini agenda kompensasi Bahan Bakar Minyak (BBM) dijalankan tidak efektif dan tidak menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Kenaikan harga tentu akan menjadikan penurunan daya beli (pendapatan riil). Dampak ini sangat bervariasi tergantung pada pola konsumsi dan sensitifitas dari harga masing-masing komoditi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Rumah tangga miskin umumnya relatif terproteksi mengingat tiga hal. Pertama, pangsa konsumsi eksklusif Bahan Bakar Minyak (BBM) relatif kecil. Untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) non minyak tanah, pangsa kelompok 40% terbawah kurang dari 1% dari total pendapatan. Hanya minyak tanah yang tidak mengecewakan besar yaitu sekitar 2,6% dari total pengeluaran. 

Kedua, konsumsi komoditi yang sensitif terhadap kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) pun relatif kecil ibarat pengeluaran untuk transportasi. Ketiga, komoditi yang secara umum dikuasai dalam pola konsumsi rumah tangga 40% terbawah yaitu beras sebetulnya juga tidak bergerak banyak lantaran harga komoditi ini dijaga oleh pemerintah dan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dilakukan pada ketika siklus harga beras mengalami penurunan. Walhasil kalau kita lihat beban kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sampai tingkat pendapatan menengah atas cenderung meningkat lebih dari proposional dan menurun lagi walaupun masih jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok 40% terbawah.

Hasil perhitungan dampak pendapatan riil ini kemudian ditranslasikan dalam perhitungan indeks kemiskinan dengan memakai nilai pengeluaran Rukun Tangga (RT) yang gres setelah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Secara logis kemudian, tingkat kemiskinan meningkat. Simulasi mengatakan peningkatan indeks kemiskinan yang terjadi untuk tahun 2005 lebih kecil daripada tahun 2002 atau 2003 (pada ketika kenaikan dibatalkan) lantaran kenaikan harga kali ini tidak diikuti dengan kenaikan harga listrik.
Maka setiap adaptasi menjadi kejutan (shock). Sebenarnya harga-harga yang diatur (administered prices), ibarat dalam hal Bahan Bakar Minyak (BBM), yaitu salah satu penyebab inflasi, lantaran perubahannya dilakukan melalui keputusan pemerintah. Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) segera harus dinaikkan. Inflasi memang akan meningkat. Untuk itu, Bank Indonesia perlu meningkatkan suku bunga lagi untuk menahannya. Semua ini tidak sanggup dihindarkan. Pertumbuhan ekonomi tahun ini niscaya harus direvisi ke bawah, menjadi 5 persen saja. Tetapi apa salahnya jikalau dengan tindakan ini kita menyelamatkan ekonomi untuk jangka menengah Ini soal akal. Tetapi memang soal perasaan juga harus diperhatikan. Secara politis tindakan ini spesialuntuk bisa diterima masyarakat bila ada pola dari atas. Jangan rakyat tidak boleh untuk mengkonsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) berlebihan bila para pemimpin, misalnya, bepergian dengan men-charter pesawat sendiri. Perintah yang keluar seharusnya yaitu untuk mengharuskan para menteri memakai penerbangan komersial.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga harus menolak kenaikan penghasilan. Ketiruana ini seharusnya sudah dilakukan kemarin. Tetapi bila dimulai ahad depan masih belum terlambat asalkan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Ini mensyaratkan adanya suatu kebijakan energi. 

Tingkat kemiskinan kemudian mengalami penurunan tatkala kelompok termiskin mendapatkan kompensasi yang jumlahnya lebih besar dari kebutuhan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan yang sama ibarat sebelum kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Pendekatan ini dalam teori ekonomi mikro dikenalkan dengan pendekatan Compensating Variation yang seharusnya dipahami oleh seluruh mahasiswa dan lulusan Fakultas Ekonomi. Jelas disini perhitungan yang kami lakukan mencakup beberapa aspek seluruh rumah tangga yang ada dalam Susenas.

Berdasarkan latar belakang tersebut sebagaimana sudah diuraikan diatas, sehingga dipandang perlu adanya kebijakan dalam pengambilan keputusan dalam kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Oleh lantaran itu dipilih judul “Dampak Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Terhadap Konsumsi Pangan dan Non Pangan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang” sebagai judul penelitian.



Judul : Dampak Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM)  Terhadap Konsumsi Pangan dan Non Pangan Mahasiswa (PRT-5)

Tag : Pertanian
0 Komentar untuk "Dampak Kenaikan Harga Materi Bakar Minyak (Bbm) Terhadap Konsumsi Pangan Dan Non Pangan Mahasiswa (Prt-5)"

Back To Top