Gabungan Melaksanakan Tindak Pidana Dalam Perspektif Kuhp Dan Aturan Islam (Sebuah Studi Komparatif) (Ai-16)

loading...
A. Latar Belakang Masalah
Setiap individu tidak sanggup hidup dalam keterpencilan sama sekali selama-lamanya. Manusia saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya untuk bertahan hidup dan hidup sebagai manusia. Sifat saling tergantung ini menghasilkan bentuk kerjasama tertentu yang bersifat ajeg dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu. Manusia yaitu makhluk sosial, itu hampir tidak diragukan lagi. Keberadaan insan sebagai makhluk sosial tersebut maka masing-masing individu mempunyai kepentingan-kepentingan yang terwujud dalam bentuk kerjasama bahkan sebaliknya sanggup menjadikan perperihalan-perperihalan.


Tatanan masyarakat pada umumnya diatur oleh sebuah undang-undang atau peraturan yang menjadi pedoman dalam bertindak dan bertingkah laris yang terwujud dalam perintah dan larangan. Namun demikian nampaknya perintah dan larangan saja tidak cukup untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk, maka dari itu diharapkan adanya norma-norma menyerupai norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan juga norma hukum.

Adanya norma-norma yang mengatur dan membatasi kebebasan bersikap dan bertindak individu pada masyarakat ialah perwujudan pertolongan masyarakat pada masyarakatnya dalam pergaulan hidup bersama. Norma-norma ataupun aturan tersebut kemudian dikenal dengan hukum, yaitu satuan ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tata tertib masyarakat sehingga bagi siapapun yang melanggar tata tertib tersebut maka akan dijatuhi eksekusi sebagaimana ketentuan yang ada.
sepertiyang diketahui bahwa kejahatan di dunia ini ada seiring dengan perkembangan manusia, kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Di satu sisi insan ingin hidup secara tentram, damai, tertib dan berkeadilan, artinya tidak diganggu oleh hal-hal yang mengandung unsur kejahatan. Upaya untuk meminimalkan tingkat kejahatan pun terus dilakukan, baik yang bersifat preventif maupun represif, yang bersifat preventif contohnya dengan dikeluarkannya peraturan dan undang-undang. Sedangkan yang bersifat represif yaitu adanya hukuman-hukuman terhadap pihak-pihak yang sudah melaksanakan kejahatan ataupun pelanggaran.

Adanya suatu eksekusi yang diancamkan kepada seorang pembuat supaya orang banyak tidak memperbuat sesuatu jarimah, alasannya larangan atau perintah semata-mata tidak akan cukup. Meskipun eksekusi itu sendiri bukan suatu kebaikan, bahkan suatu perusakan bagi si pembuat sendiri. Namun eksekusi tersebut diperlukan, alasannya sanggup membawa laba yang kasatmata bagi masyarakat. Ketika terdapat seseorang yang berbuat jahat kemudian ia dihukum, maka ini ialah pelajaran bagi orang lain supaya tidak melaksanakan kejahatan.

Di samping itu suatu eksekusi yang diancamkan terhadap seorang pelanggar, dalam Islam dimaksudkan supaya seseorang tidak melanggar jarimah, sangsi itu sendiri pada pada dasarnya yaitu bukan supaya si pembuat jarimah itu sanggup derita lantaran pembalasan, akan tetapi bersifat preventif terhadap perbuatan jarimah dan pengajaran serta pendidikan.

Pada masa kini ini yang menjadi dasar penjatuhan eksekusi ialah rasa keadilan dan melindungi masyarakat. Rasa keadilan menghendaki supaya sesuatu eksekusi harus sesuai dengan besarnya kesalahan pembuat. Dalam kitab undang-undang hukum pidana berat entengnya eksekusi yang harus dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana menyerupai pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan lain-lain sudah ada ketentuannya sendiri. Akan tetapi berat entengnya eksekusi tersebut belum sepenuhnya sanggup diterapkan oleh para hakim. Hal ini bekerjasama dengan adanya batas terbaik dan minimal eksekusi yang ada dalam KUHP. Kebanyakan para hakim menjatuhkan eksekusi mengambil di antara kedua batas tersebut, dan jarang sekali hakim menjatuhkan eksekusi terbaik kecuali dalam masalah tertentu.
Bahkan dalam prakteknya seorang hakim atau penuntut umum dalam melaksanakan tuntutan dianggap terlalu enteng terutama terhadap pelaku-pelaku tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Dalam hal ini tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam menjatuhkan eksekusi yang setimpal dengan kejahatan atau perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa baik penuntut umum ataupun hakim diharapkan menuntut dan menjatuhkan eksekusi yang setimpal, sehingga mempunyai efek di samping mempunyai aspirasi dan keadilan masyarakat juga ialah daya tangkal bagi anggota masyarakat yang mempunyai potensi untuk menjadi pelaku tindak pidana (general deterrent effect).

Dalam kehidupan insan adakalanya sering kita temukan seseorang melaksanakan perbuatan jarimah tidak spesialuntuk murni satu jenis, terkadang terdapat niat untuk melaksanakan satu macam jarimah, namun yang terjadi justru beberapa jarimah pun dilakukannya. Sebagai pola misalnya, pada suatu malam A yang tidak mempunyai SIM bahwa ia boleh mengemudi mobil, menjalankan kendaraannya dalam kota dengan kecepatan yang lebih dari 40 km/jam tanpa memasang lampu. Dalam hal ini A sudah mengadakan pelanggaran 1) menjalankan kendaraan tanpa mempunyai SIM, 2) melampaui batas kecepatan kendaraan beroda empat yang diperbolehkan dalam kota, dan 3) tidak memasang lampu pada waktu malam hari. Dari masalah ini timbul pertanyaan bagaimanakah eksekusi yang harus dijatuhkan? Apakah A itu akan dijatuhi tiga eksekusi sekaligus (karena mengadakan tiga pelanggaran) ataukah ia dijatuhi spesialuntuk satu eksekusi saja tetapi yang diterberat?

Dari pola tersebut sanggup diketahui bahwa sudah terjadi suatu adonan melaksanakan tindak pidana, dimana satu orang sudah melaksanakan beberapa insiden pidana. Gabungan melaksanakan tindak pidana dalam aturan positif sering diistilahkan dengan delik cumulatie atau concursus yang diatur dalam potongan VI buku 1 kitab undang-undang hukum pidana pasal 63 – 71.
Adanya adonan insiden pidana ini, menjadikan adanya adonan pemidanaan. Makara adonan pemidanaan ada lantaran adanya adonan melaksanakan tindak pidana di mana masing-masing belum mendapat putusan akhir. Dalam sistematika kitab undang-undang hukum pidana peraturan ihwal perbarengan perbuatan pidana ialah ketentuan terkena ukuran dalam memilih pidana (straftoemeting) yang mempunyai kecenderungan pada pemberatan pidana.

sepertiyang dijelaskan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP, yaitu:
“Kalau sesuatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka spesialuntuklah satu-satu dari ketentuan-ketentuan itu yang dipakai, bila pidana berlain maka yang digunakan ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya”.

Dari pasal tersebut orang yang melaksanakan dua atau beberapa tindak pidana sekaligus sanggup dikatakan melaksanakan insiden pidana adonan sebagaimana dimaksud oleh pasal di atas.

Sementara itu dalam aturan Islam adonan melaksanakan tindak pidana ini menjadi perdebatan di kalangan para ulama, sebagaimana diketahui bahwa dalam Syariat Islam terdapat majemuk dan tidak sama-beda dalam duduk masalah pidananya, sehingga boleh dikatakan bahwa untuk satu jenis pidana tertentu ada hukumnya tersendiri, menyerupai mencuri dengan eksekusi potong tangan, pembunuhan dengan qishos, zina dengan rajam dan lain-lain. Namun perlu ditinjau kembali bahwa tidak tiruana insiden pidana itu ada ketentuannya dalam nash Al Qur’an maupun Sunnah Rosul. Maka dalam hal ini para hakim didiberikan wewenang untuk mempersembahkan eksekusi atas tindak pidana yang dilakukan secara berbarengan atau bersamaan.

Akibat dari adanya perbedaan jenis eksekusi itu, menimbulkan orang merasa tidak perlu untuk memikirkan bagaimana cara menerapkan hukuman, bila seseorang sekaligus melaksanakan lebih dari satu macam insiden pidana oleh lantaran tidak menghadapi kesukaran apa-apa. Dalam aturan Islam dicontohkan dengan masalah pencurian yang diikuti dengan pelecehan seksual dan pembunuhan. Dalam hal ini apakah ia akan dijatuhi tiga eksekusi sekaligus yaitu eksekusi potong tangan, rajam dan kemudian eksekusi qishos, ataukah ia spesialuntuk akan menjalani salah satu eksekusi yang terberat saja yakni eksekusi qishos. Para ulamapun tidak sama pendapat terkena bagaimana pemdiberian eksekusi bagi adonan perbuatan ini.

Bagaimana Islam memandang duduk masalah ini tentu tidak sama dengan pandangan kitab undang-undang hukum pidana dalam menuntaskan adonan perbuatan ini, dimana hal ini berkaitan bersahabat dengan duduk masalah pemdiberian pidana yang nentinya akan dijatuhkan.
Adanya perbedaan antara aturan Islam dan kitab undang-undang hukum pidana dalam menuntaskan duduk masalah ini menjadikan dasar bagi penyusun untuk mengadakan penelitian lebih lanjut yaitu dengan cara membandingkan antara keduanya sehingga nampak adanya segi-segi persamaan dan perbedaan antara keduanya.

Tag : Agama Islam
0 Komentar untuk "Gabungan Melaksanakan Tindak Pidana Dalam Perspektif Kuhp Dan Aturan Islam (Sebuah Studi Komparatif) (Ai-16)"

Back To Top