Implementasi Peraturan Tempat Kota Palu Yang Berorientasi Bagi Kepentingan Masyarakat Dalam Menunjang Otonomi Tempat (Hk-03)

loading...
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu problema yang dihadapi oleh sebagian kawasan kabupaten/kota dalam lingkup Provinsi Sulawesi Tengah pandai balig cukup akal ini yaitu berkisar pada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Problema ini muncul alasannya yaitu adanya kecenderungan berpikir dari sebagian kalangan birokrat di kawasan yang menganggap bahwa parameter utama yang memilih kemandirian suatu kawasan dalam berotonomi yaitu terletak pada besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD).


Kecenderungan berpikir di atas sanggup dipahami alasannya yaitu adanya perspektif sejarah pemerintahan kawasan yang mengungkap terkena penyebab keterbelengguan kawasan baik secara politis maupun secara irit lewat piranti aturan pemerintahan daerah, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 beserta tiruana peraturan pelaksanaannya. Piranti aturan itulah yang membatasi kewenangan kawasan untuk tumbuh dan berkembang dalam rangka menggali segala potensi ekonomi yang strategis di daerah.

Nuralam Abdullah menyatakan bahwa dari perspektif sejarah mengungkapkan bahwa pemerintah kawasan pada masa kemudian sangat bergantung pada subsidi dana dari pemerintah pusat. Hasil identifikasi dan inventarisasi kemampuan keuangan kawasan yang dilakukan oleh Direktur jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) mengatakan bahwa spesialuntuk 21,92% dari 292 Daerah Tingkat II di Indonesia yang dipandang bisa untuk membiayai pembangunan daerahnya.1

Ketergantungan kawasan pada subsidi pemerintah sentra juga diungkapkan oleh Bagir Manan, bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) baik Daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat II, tidak mencukupi untuk membiayai diri sendiri.2
Hal ini mengatakan bahwa sebagian besar dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) barasal dari menolongan pemerintah pusat. pinjaman keuangan yang besar sudah mempersembahkan peluang lebih besar kepada kawasan untuk melakukan banyak sekali kiprah pelayanan pada masyarakat, tetapi ketergantungan keuangan ini menyebabkan akhir penyelenggaraan otonomi kawasan tidak sepenuhnya sanggup berjalan, dan dilain pihak mengundang kuatnya campur tangan pemerintah sentra dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah.

H.Tabrani Rab juga mengungkapkan data terkena rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah. Kemampuan PAD sejumlah kawasan Tingkat II di seluruh Indonesia pada tahun 1993/1994 spesialuntuk sebesar 11,24 %, dan dalam perjalannya setiap tahun cenderung mengalami penurunan. Sebaliknya proporsi menolongan Pemerintah Pusat meningkat dari 63,87 % pada tahun 1985 / 1986 menjadi 70,87 % pada tahun 1993 / 1994.3

Realitas terkena rendahnya PAD di sejumlah kawasan pada masa lalu, kesannya mengkondisikan kawasan untuk tidak berdaya dan selalu bergantung pada menolongan pembiayaan atau subsidi dana dari pemerintah pusat. Kondisi demikian ini pada kesannya menjadi salah satu argumentasi yang mendorong perlunya percepatan reformasi dalam lingkup pemerintahan, sampai ditandai dengan pembentukan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kehadiran Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tidak spesialuntuk bermaksud mengatasi permasalahan keuangan kawasan melalui pemdiberian kewenangan yang luas kepada kawasan untuk menggali sejumlah potensi ekonomi yang ada di daerah, melainkan juga menekankan pada upaya peningkatan efesiensi dan efektifitas pengelolaan sumber-sumber keuangan dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dimungkinkan menurut ketentuan dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, yaitu adanya kewenangan kawasan yang mencakup beberapa aspek seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain.4

Kewenangan yang didiberikan menurut ketentuan dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, harus diakui sebagai suatu peluang dan sekaligus mengandung sejumlah tantangan bagi kawasan yang mempunyai potensi sumber daya alam yang melimpah ruah, sehingga pembiayaan pembangunan kawasan dan pengeluaran rutin mungkin bukan permasalahan yang fokus. Sebaliknya, bagi kawasan yang tidak mempunyai potensi sumber daya alam yang memadai, persediaan anggaran pembangunan dan anggaran rutin, tentu saja akan menjadi permasalahan fokus. Ketentuan tersebut juga tetap diatur pada Undang Undang pemerintahan kawasan yang gres yaitu pada Pasal 14 Ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 .

Hasil penelitian Badan Peneliti dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada, Syarifuddin Tayeb menyatakan bahwa dari 292 (dua ratus sembilan puluh dua) Daerah Kabupaten yang diteliti mengatakan rendahnya konstribusi pendapatan orisinil kawasan terhadap pembiayaan kawasan yaitu :
a. 122 Daerah Kabupaten berkisar antara 0,53 % - 10 %
b. 86 Daerah Kabupaten berkisar antara 10 % - 20 %
c. 43 Daerah Kabupaten berkisar antara 20,1 % - 30 %
d. 17 Daerah Kabupaten berkisar antara 31,1 % - 50 %
e. 2 Daerah Kabupaten berkisar di atas 50 %
Rendahnya konstribusi pendapatan orisinil kawasan terhadap pembiayaan daerah, alasannya yaitu kawasan spesialuntuk didiberikan kewenangan mobilisasi sumber dana pajak dan yang bisa memenuhi spesialuntuk sekitar 20% - 30% dari total penerimaan untuk membiayai kebutuhan rutin dan pembangunan, sementara 70% - 80% didrop dari pusat.5
Selain alasannya yaitu kasus kewenangan yang terbatas dalam memobilisasi sumber dana pajak dan retribusi, juga terdapat kasus yang bersifat teknis yuridis yaitu dalam bentuk regulasi yang dijadikan dasar aturan bagi kawasan untuk mengambil Pendapatan Asli Daerah, baik yang bersumber dari Pajak maupun dari Retribusi Daerah. Temuan penelitian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengungkapkan bahwa dari 340 Peraturan Daerah (PERDA) Pemerintah Kabupaten/Kota/Propinsi pada 28 Propinsi yang dievaluasi selama tiga tahun terakhir, ternyata 69 % PERDA Pajak dan Retribusi dan PERDA non Pajak dan Retribusi yang ditetapkan bermasalah.6
Menurut Agung Pambudi (Peneliti Komite Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah) bahwa permasalahan yang menonjol pada Peraturan Daerah tersebut yaitu berkisar pada kasus substansi, yaitu sekitar 42 %, dan selebihnya menyangkut kasus prinsip (10%) serta kasus teknis (17%).7

Fenomena Perda-perda bermasalah juga diungkap oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat-SMERU Research Institute berafiliasi dengan USAID dan Partnership for Economic Growth (PEG), bahwa pada tahun 2000-2001 di Sumatera sedikitnya tercatat tiga Kabupaten menerbitkan Perda yang berdampak negatif pada iklim usaha, yaitu Karo, Simalungun dan Deli Serdang. Menurut Ilyas Saad, dari SMERU Research Institute, pungutan yang paling menonjol terjadi di Deli Serdang, yaitu sumbangan wajib untuk perjuangan perkebunan, retribusi hasil perjuangan pertambakan sebasar 20% dari harga dasar perkilogram. Retribusi izin penebangan dan memanfaatkan kayu karet sebesar Rp.1.500,- permeter kubik, dan pajak pembudidayaan dan memanfaatkan masukang burung walet sebesar 20 % dari harga dasar perkilogram. Selain itu masih ada banyak sekali pungutan lain yang memberatkan dunia usaha, antara lain retribusi kesehatan binatang bagi setiap peternak 8
Fenomena perda-perda bermasalah sempat mengusik banyak pihak, terutama bagi kalangan pelaku usaha. Pihak Departemen Keuangan RI sudah merekomendasikan sebanyak 206 Perda untuk dicabut oleh Menteri Dalam Negeri. Rekomendasi itu didasarkan pada suatu kajian antar departemen dimana dinilai memberatkan pengusaha sehingga menjadi kontraproduktif bagi pertumbuhan ekonomi daerah.9
Departemen Dalam Negeri juga mencatat sebanyak kurang lebih 7000 Perda yang dinilai tidak layak. Perda-perda sebanyak itu dinilai berperihalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta menyebabkan tumpang tindih dan kerancuan 10
Harus diakui bahwa fenomena Perda Perda bermasalah juga terjadi di kawasan kabupaten/kota dalam lingkup Propinsi Sulawesi Tengah.
Hal ini sanggup kita diketahui dari beberapa Perda kabupaten/kota yang sudah dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri antara lain :
1. Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Rumah Kost/Pemondokan.
2. Peraturan Daerah Kabupaten Tolitoli Nomor 25 Tahun 2001 tentang Pajak Komoditi
3. Peraturan Daerah Kabupaten Tolitoli Nomor 57 Tahun 2001 tentang Retribusi Jalan Kabupaten.
4. Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Nomor 59 Tahun 2001 tentang Tempat Pendaratan Kapal.
5. Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Nomor 66 Tahun 2001 tentang Izin Pemilikan dan Penggunaan Gerpenghasilan Rantai.
6. Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Nomor 68 Tahun 2001 tentang Penarikan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Pemda .
Tentunya masih banyak lagi peraturan kawasan yang bermasalah akan menyusul untuk dibatalkan dengan banyak sekali pertimbangan/alasan pembatalan.



B. RUMUSAN MASALAH

Berkenaan dengan implementasi peraturan kawasan yang berorientasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam menunjang pelaksanaan Otonomi Daerah di kota Palu, maka kasus yang akan dibahas dalam tesis ini yaitu :
1. Apakah peraturan kawasan khususnya pajak dan retribusi kawasan yang berkaitan dengan pendapatan orisinil kawasan sudah memenuhi asas-asas pembuatan peraturan kawasan yang baik dalam menunjang pelaksanaan otonomi kawasan di kota Palu?
2. Apakah peraturan kawasan yang mengatur pendapatan orisinil kawasan sudah berorientasi pada kepentingan masyarakat kota Palu?

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian sebagaimana permasalahan yang sudah dikemukakan di atas yaitu untuk :
1. Mengetahui apakah peraturan kawasan khususnya pajak kawasan dan retribusi kawasan yang berkaitan dengan pendapatan orisinil kawasan sudah memenuhi keriteria pembuatan peraturan kawasan yang baik menunujang pelaksanaan otonomi kawasan di Kota Palu.
2. Mengetahui peraturan kawasan kota Palu apakah sudah sesuai kepentingan masyarakat .


C. Kegunaan Penelitian.

Atas hasil penelitian yang dilakukan, dibutuhkan sanggup mempersembahkan manfaat sebagai diberikut:
1. Bahan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya tata negara, dan ialah sumbangan anutan bagi unsur pemerintah kawasan dalam pelaksanaan otonomi kawasan di kota Palu.
2. Bahan warta kepada pemerintah kota Palu khususnya dan pemerintah Sulawesi Tengah pada umumnya.



Tag : Hukum
0 Komentar untuk "Implementasi Peraturan Tempat Kota Palu Yang Berorientasi Bagi Kepentingan Masyarakat Dalam Menunjang Otonomi Tempat (Hk-03)"

Back To Top