Perjuangan Politik Kaum Wanita Di Kuwait : Hambatan Dan Prospeknya (An-13)

loading...
BAB I
PENDAHULUAN

A.                 Latar Belakang Masalah

Suatu fenomena penting yang mewarnai kompleksnya partisipasi perempuan dalam banyak sekali dimensi kehidupan salah satunya usaha di bidang politik. Masa usaha perempuan tidak lepas dari acara perluasan demokrasi Amerika Serikat ke penjuru dunia yang memposisikan perempuan bukan lagi sebagai kelompok yang harus dibatasi partisipasinya dalam panggung perpolitikan dunia namun dianggap sebagai pihak yang kuat dan memdiberi konstribusi penting dalam menentukan kemajuan suatu negara.

Kemodernan dan arus globalisasi sangat gencar mengepakkan akupnya ke seluruh negara belahan dunia. Hal ini mengantarkan perubahan contoh pikir dalam diri perempuan dunia, tak terkecuali di Timur Tengah sebagai daerah Negara Islam dimana agama mendominasi hampir segala aspek kehidupan negara tersebut, khususnya posisi dan hak-hak perempuan. Tetapi kini, hak politik bagi tiruana golongan di negara-negara tersebut sudah banyak mengalami perkembangan. Ada beberapa negara yang sekarang membuka ruang bagi perempuan untuk menjalankan hak politiknya. Antara lain menyerupai Qatar, Bahrain, Oman, Uni Emirat Arab dan yang belum usang ini yakni Kuwait. Keberhasilan kaum perempuan ini  atas kemauan dan dari contoh pikir perempuan-perempuan yang modern sehingga tuntutan hak politik mereka sanggup terwujud. 

Perjuangan politik kaum perempuan atau gerakan perempuan yang lebih dikenal dengan istilah feminisme di banyak sekali negara melalui proses yang  tidak sama-beda dan mendapatkan respon yang tidak sama-beda pula.                         Hal ini disebabkan lantaran banyak sekali faktor, salah satunya ideologi yang dianut oleh bangsa tersebut. Hal ini pula yang mempengaruhi partisipasi dan usaha politik kaum perempuan di Kuwait, yang ialah salah satu Negara Islam terbesar di dunia.

Isu wacana peranan perempuan menjadi warta yang selalu hangat dibicarakan oleh Negara-negara di dunia. Kehadiran perempuan di ruang politik semakin mendapatkan tempat pada sebagian masyarakat, tetapi juga mendapatkan penolakan dari masyarakat lainnya. Berbagai organisasi di banyak sekali negara sudah banyak terbentuk untuk membicarakan wacana peranan perempuan dan kedudukannya. Di tingkat global, seruan terhadap pihak yang melaksanakan pendiskriminasian terhadap kaum perempuan dan pihak-pihak yang mengabaikan hak-hak perempuan sudah banyak mendapatkan sorotan. Hal ini pulalah yang melatarbelakangi pemikiran Negara-Negara tersebut dan diberinisiatif untuk bahu-membahu memastikan terjadinya integrasi atas hak-hak perempuan ke dalam banyak sekali instrument internasional wacana hak-hak asasi perempuan. Hal ini tercermin dalam usaha-usaha perempuan untuk menyebarkan pandangan mereka terhadap hukum-hukum terkena hak asasi insan dengan memakai perspektif gender dan feminisme.

Konfrensi PBB wacana Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The UN Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women - CEDAW) disahkan dan diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Dewasa ini, lebih dari dua puluh tahun semenjak ditanhadiraninya konvensi itu, lebih dari 170 negara sudah meratifikasinya.[1] Konvensi itu sanggup dijadikan dasar untuk mewujudkan kesetaraan perempuan dan laki-laki dengan membuka susukan dan peluang yang sama di arena politik dan kehidupan publik, termasuk hak memdiberi bunyi dan mencalonkan diri. Pemerintah sudah bertekad untuk menempuh tiruana langkah yang diperlukan, termasuk legislasi dan tindakan-tindakan khusus yang bersifat sementara, sehingga kaum perempuan nanti sanggup menikmati seluruh hak dan kemerdekaan asasi mereka. Namun pada kenyataanya, masih banyak negara yang belum menerapkan langkah-langkah di atas. 

Gerakan feminisme dimulai pada era kesembilan belas dengan usul oleh beberapa reformis perempuan semoga didiberikan hak untuk memilih, yang dikenal sebagai “Hak Pilih”, dan untuk hak-hak aturan yang sama dengan pria. Meskipun pemungutan bunyi itu kondusif bagi perempuan oleh Amandemen Kesembilan belas ke konstitusi pada tahun 1920, sebagian besar perempuan sudah membuat laba dalam mencapai kesetaraan aturan dan mengakhiri diskriminasi gender sudah hadir semenjak 1960-an.[2]

Selanjutnya usaha politik kaum perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender mulai gencar dilakukan setelah diputuskannya Deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia PBB pada tahun 1948. Namun, usaha yang menjadi warta global tersebut menjadi fenomena yang menarikdanunik perhatian terutama setelah berakhirnya perang cuek antara Blok Timur dan Blok Barat. Perubahan tersebut sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan kestabilan (security) ke pendekatan kesejahteraan dan keadilan (prosperity), atau dari pendekatan produksi (production centered development) ke pendekatan kemanusiaan (people centered development) dalam suasana yang lebih demokratis dan terbuka.[3]

Kaum perempuan menyadari ketertinggalannya dibandingkan dengan kaum laki-laki dalam banyak aspek kehidupan. Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, maka dikembangkan konsep emansipasi (kesamaan) antara perempuan dan laki-laki. Pada Juli 1963 timbul gerakan global yang dipelopori kaum perempuan yang berhasil mendeklarasikan suatu revolusi melalui Badan Ekonomi Sosial PBB (ECOSOK).[4] Kemudian pada tahun 1975 di Mexico City diselenggarakan World Conference International Year of Woman PBB, yang menghasilkan deklarasi kesamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal Pendidikan dan pekerjaan:

a.                  Prioritas pembangunan bagi kaum perempuan.
b.                  Perluasan partisipasi perempuan dalam pembangunan.
c.                  Penyediaan data dan informasi perempuan.
d.                  Pelaksanaan analisis perbedaan tugas berdasarkan jenis kelabuin.
Untuk itu, dikembangkan banyak sekali acara pemberdayaan perempuan (Woman Empowerment Programs). Guna mewadahi acara tersebut diperkenalkan tema “Perempuan dalam Pembangunan (Women in Development, WID)”, yang bertujuan mengintegrasikan perempuan dalam pembangunan.[5]

Pada tahun 1980 di Kopenhagen diselenggarakan World Conference UN Mid Decadde of Woman, yang mengesahkan UN Convention on the Elimination of all Form of Discrimination Agains Woman (CEDAW), konvensi wacana penghapusan seluruh bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pertemuan itu dihadiri oleh sebagian besar Negara di dunia, termasuk Kuwait yang pada dikala itu mulai memperhatikan kasus gender.

Tahun 1985 di Nairobi diselenggarakan World Confrence on Result                on Ten Years Woman Movement, yang menghasilkan The Nairobi Looking Forward Strategies for the Advancement of Woman yang bertujuan untuk mengkaji mengapa terjadi banyak sekali ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam banyak sekali bidang kehidupan. Sejak itu, muncul konsep-konsep dan penelitian-penelitian yang menekankan kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam pembangunan dan perdamaian.[6]

Pada tahun 1985 pula PBB membentuk suatu tubuh yang dinamakan             the Unites Nation Fund for Woman (UNIFEM) untuk melaksanakan studi advokasi, kerja sama dan mendanai kegiatan kesetaraan gender secara internasional. Pengalaman memberikan bahwa pendekatan pemberdayaan perempuan tanpa melibatkan kerjasama dengan kaum laki-laki yang berlangsung selama sepuluh tahun (1970 - 1980) tidak banyak mempersembahkan hasil yang signifkan. Pendekatan perperihalan (dikotomis) dirasa kurang membawa hasil yang memadai, bahkan timbul sinisme (male backlash) dari kaum laki-laki terhadap usaha tersebut. Berdasarkan banyak sekali hasil studi, maka tema WID (Woman in Development) atau Perempuan dalam Pembangunan diubah menjadi WAD (Woman and Development) atau Perempuan dan Pembangunan. Perubahan ini mengandung makna bahwa kualitas kesertaan lebih penting daripada sekedar kuantitas.[7]

Pada tahun 1990 di Vienna diselenggarakan “the 34th Commisson on the Status of Woman”. Dilakukan analisis terhadap konsep pemberdayaan perempuan tanpa melibatkan laki-laki, yang sepertinya juga kurang membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Studi Anderson (1992) dan Moser (1993) mempersembahkan rekomendasi bahwa tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan              laki-laki, maka acara pemberdayaan perempuan tidak akan berhasil dengan baik.[8] Oleh lantaran itu, dipergunakanlah pendekatan gender yang kemudian dikenal dengan Gender and Development (GAD), suatu paradigma gres yang menekankan pada prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-laki atau sebaliknya.

Pandangan itu terus diperdebatkan dalam the International Confrence in Woman (ICPD) di Kairo 1994 dan dalam The 4th the World Conference on Woman di Beijing tahun 1995. Dari konfrensi tersebut disahkan banyak sekali komitmen operasional wacana perbaikan terhadap status dan peranan perempuan dalam pembangunan mulai dari tahap menikmati hasil-hasil pembangunan. melaluiataubersamaini demikian terjadi perubahan konsep yang mendasar, yaitu dari pembahasan kasus yang bersifat fisik biologis (biological sphere) ke kasus yang bersifat sosial budaya (socio-cultural sphere).[9]

Dari pemaparan di atas, maka sanggup dilihat bahwa lahirnya gender dan feminisme banyak diinspirasi oleh Negara-Negara Barat. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa gagasan-gagasan Negara Barat dianggap tidak relevan bagi negara-negara Islam. Hal ini didasarkan pada pemahaman lantaran suatu gagasan tidak sanggup dibatasi dalam batas-batas bangsa maupun geografis.[10]

Bagaimanapun juga, ketika istilah feminisme dan gender bersifat asing, konsep sesungguhnya mengungkapkan suatu transformasi. Makara hal ini sanggup menerangkan bahwa feminisme tidak dimasukkan secara paksa. Gender dan perjuangannya muncul di banyak negara disebabkan lantaran suatu kesadaran wacana hak-hak demokrasi serta ketidakadilan yang semakin menyentuh hak-hak separuh dari penduduknya, dalam hal ini kaum perempuan. Hak untuk berpolitik juga mendasari terjadinya gerakan berbasis gender yang membawa warta kepentingan perempuan di dalamnya. Hak politik setiap insan (laki-laki maupun perempuan) sudah diatur dalam Universal Declaration of Human Right, yaitu pada pasal 19, 20 dan 21 dengan rincian sebagai diberikut:[11]
 
Pasal 19
Setiap individu berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, mendapatkan dan memberikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).
Pasal 20
1.                  Setiap individu mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai.
2.                  Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki sesuatu perkumpulan.
Pasal 21
1.                  Setiap individu berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya, secara eksklusif atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
2.                  Setiap individu berhak atas peluang yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya.
3.                  Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah. Kehendak ini harus ditetapkan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara terjadwal dan jujur dan yang dilakukan berdasarkan hak-hak pilih yang bersifat umum dan yang tidak membeda-bedakan dan dengan yang bersifat bunyi yang diam-diam ataupun berdasarkan cara-cara lain yang menjamin kebebasan mempersembahkan suara.

Negara Kuwait ialah negara yang secara umum dikuasai penduduknya menganut Agama Islam. Namun, bersamaan dengan proses modernisasi yang dilancarkan oleh kolonialisme barat, muncul pedoman modernisasi di dalam pemikiran sebagian umat Islam yang kuat terhadap kasus politik, ekonomi, sosial dan budaya Kuwait. Pengaruh modernisasi yang terpenting ialah masuknya unsur liberalisme dan feminisme yang menyentuh emansipasi perempuan termasuk di dalamnya kasus politik perempuan.

Kuwait sudah tampil di pentas dunia internasional dengan nuansa serta simbol Islam yang begitu melekat, termasuk dalam kebijakan perundang-undangan, banyak diwarnai oleh jiwa ke Islaman. Keikutsertaan Kuwait dalam kegiatan-kegiatan pembangunan kaum perempuan pada tahap global terlihat sangat aktif melalui konfrensi-konfrensi antar bangsa, yakni dalam 4 (empat) konfrensi besar yang sudah dilaksanakan di banyak sekali negara. Salah satunya yakni pada Konfrensi Perempuan Sedunia IV  di Beijing tahun 1995. Deklarasi Beijing dan acara aksinya sudah mencantumkan warta gender dan informasi, komunikasi dan teknologi bagi perempuan, melalui peningkatan keterampilan, pengetahuan, susukan dan penerapan teknologi informasi.[12]

Kuwait yakni satu di antara banyak negara yang terlibat dalam wacana warta pembangunan perempuan. Kuwait sudah meratifikasi CEDAW pada tahun 1999, dimana CEDAW ini bertujuan untuk mengintegrasi perempuan sepenuhnya dalam proses pembangunan negara. Tahun 2005, Pemerintahan konservatif Kuwait menetapkan untuk memdiberi perempuan hak politik penuh. Dewan Menteri setuju meloloskan undang-undang yang memdiberi hak politik penuh kepada perempuan, menyerupai hak untuk ikut menentukan dalam pemilihan umum, serta hak untuk bersaing menjadi salah satu dari 50 anggota parlemen.[13]

Sebelum Undang-Undang pemilihan umum diubah, perempuan Kuwait tidak bisa menentukan atau dipilih walaupun mereka bisa menjadi diplomat, pengusaha dan bekerja di banyak sekali bidang industri. Hal ini memicu perempuan Kuwait mempertanyakan haknya yang hilang, sehingga mereka menetapkan akan berusaha menuntut hak mereka hingga tubuh legislatif menetapkan untuk memdiberi hak politik bagi perempuan. Berbagai unjuk rasa, debat, banyak dilakukan oleh beberapa kelompok kepentingan dan para pencetus di Kuwait. Seperti penulis Fatima al- Baker yang tergabung dalam Asosiasi Persatuan Perempuan Kuwait, Nabil al-Mufarreh sebagai ketua Persatuan Nasional Pelajar Kuwait yang juga turut andil dalam kampanye menjelang pemilu 2006, yang mendukung penuh para calon legislatif perempuan.[14]
 
Tuntutan kaum perempuan Kuwait selalu menerima penentangan dari kaum konservatif Islam di Parlemen yang jumlahnya tidak sedikit. Kaum konservatif tidak menyetujui perempuan ikut aktif dalam kegiatan politik, lantaran berperihalan dengan tradisi budaya dan “penafsiran agama” yang sudah usang berlaku di negara Kuwait. Maka tidak mengherankan kalau tubuh legislatif Kuwait sudah dua kali menolak usulan pembahasan kebijakan beberapa tahun sebelum undang-undang hak politik bagi perempuan disahkan.[15]

Sejak tahun 1962, Kuwait sudah melaksanakan 11 kali pemilihan parlemen, tetapi tidak pernah melibatkan perempuan. Melalui hasil amandemen konstitusi tahun 2005 lah kesudahannya kaum perempuan Kuwait mendapatkan hak pilih dan dipilihnya. Pemerintahan konservatif  Emirat Kuwait menetapkan untuk memdiberi perempuan hak politik penuh. Menurut Dewan Menteri, perubahan Undang-Undang Pemilihan Umum Kuwait tahun 1962, sebagai kepingan dari kebijakan “memperluas partisipasi masyarakat” dalam kehidupan bernegara. Berdasarkan UU gres tersebut, perempuan sanggup menentukan dan dipilih dalam pemilihan umum.

Pada tanggal 18 Mei 2005, Kuwait merubah Amandemen Undang- Undang Pemilu pasal I No.35 tahun 1962, yang sebelumnya Amandemen Undang-Undang tersebut spesialuntuk mempersembahkan hak politik bagi kaum lelaki saja tetapi sekarang Undang-Undang tersebut sudah dirubah dengan mempersembahkan hak penuh bagi kaum perempuan untuk mempersembahkan bunyi dalam pemilu ataupun mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Perubahan Amandemen UU ini berdasarkan keputusan tubuh legislatif Kuwait (Majelis Al-ummah). Sebanyak 35 bunyi mendukung, 23 menolak, dan 1 abstain dalam voting yang memperoleh penentangan keras dari anggota tubuh legislatif dari kubu Islamis dan konservatif.[16]

Ketika tahun 1999, Emir Kuwait dikala itu yakni Sheikh Jaber al-Ahmad al-Sabah bahwasanya juga sudah mengajukan dekrit yang mendukung perempuan menerima hak pilih, yang diajukan kerajaan tetapi ditolak oleh Majelis Nasional. Para anggota tubuh legislatif dari kalangan Islamis dan kesukuan menolak langkah Emir lantaran berdasarkan mereka melanggar tradisi agama Islam dan masyarakat Kuwait. Begitulah kaum konservatif Islam selalu beralasan, berperihalan dengan tradisi budaya dan penafsiran agama yang sudah usang berkembang di Kuwait. Selama enam tahun setelah dekrit itu gagal para kaum perempuan terus berjuang hingga tubuh legislatif meloloskan rancangan undang-undang yang menjamin hak politik bagi tiruana golongan.

 Selama bertahun-tahun pula perempuan Kuwait berjuang untuk memperoleh hak politik penuh, namun upaya mereka selalu digagalkan oleh kubu muslim garis keras dan kelompok-kelompok suku didalam tubuh legislatif yang tiruananya pria. Hal ini disebabkan lantaran dari kubu Islam yang berjumlah 18 (lebih dari sepertiga anggota tubuh legislatif yang berjumlah 50) ditambah dari kubu suku selalu menang dalam banyak sekali voting bunyi di parlemen. Maka setelah sidang maraton selama 10 jam, tubuh legislatif yang seluruh anggotanya laki-laki mengesahkan Amandemen Undang-Undang tersebut dengan secara umum dikuasai besar. Sesudah Amandemen Undang-Undang itu disahkan, masyarakat Kuwait menyambut gembira, mereka turun kejalan untuk merayakan kemenangan mereka.

Pada tanggal 29 Juni 2006, Kuwait menyelenggarakan pemilu, untuk pertama kalinya kaum perempuan ikut berpartisipasi dalam pemilu tersebut. Bukan spesialuntuk sebagai pemilih tetapi juga sebagai kandidat anggota parlemen. Dalam pemilu tersebut terdapat 253 kandidat, 28 di antaranya perempuan yang akan memperebutkan 50 dingklik parlemen. Sesudah satu tahun memenangi hak berpolitik, ke-28 perempuan itu kesudahannya benar-benar terjun ke panggung politik. 

Para perempuan itu akan menghadapi banyak halangan mengingat tradisi Kuwait yang tidak mendukung ide kesetaraan tugas perempuan dan laki-laki. Selain ke-28 perempuan yang secara umum dikuasai kandidat Independen, 50 dingklik tubuh legislatif juga diperebutkan 60-70 kandidat dari oposisi, menyerupai kelompok islam, liberal, dan nasionalis. Di antara mereka terdapat 28 dari 29 anggota tubuh legislatif yang pernah mundur dari tubuh legislatif akhir konflik berkepantidakboleh di pemerintahan wacana kasus reformasi pemilu yang kemudian berakhir dengan pembubaran tubuh legislatif yang dilakukan oleh Emir Syeikh Sabah al-Ahmad al-Sabah lantaran muncul perselisihan antara pemerintah dan oposisi menyangkut reformasi pemilu. 

Selama masa kampanye, banyak sekali organisasi dan kandidat Independen menyuarakan warta anti korupsi. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, pemilu kala itu lebih ramai dengan kandidat perempuan dan orang-orang muda yang belum berpengalaman dalam pemilu. Berbagai organisasi cukup umur dibuat untuk memmenolong kampanye kandidat muda.[17]

Sesudah hasil penghitungan bunyi diumumkan calon-calon perempuan legislatif Kuwait gagal meraih dingklik di tubuh legislatif dalam pemilu bersejarah di negara itu. Hasil penghitungan bunyi tersebut menandakan calon legislatif islamis dan eks anggota legislatif pro-reformasi menyapu membersihkan perolehan bunyi dan tak satu pun dingklik untuk ke-28 calon legislatif perempuan. Padahal, populasi pemilih perempuan mencapai 57 persen dari total 340.000 orang pemilih sah. 

Kaum perempuan sebelumnya sudah menduga, kandidat islamis koservatif dan daerah bakal menjadi penghalang bagi kandidat-kandidat perempuan. Hasil penghitungan bunyi menunjukan, oposisi meraih hampir dua pertiga kursi. Kubu oposisi makin kuat dipersatukan dengan satu perilaku menentang pemerintahan korup. Kemunculan kuat kubu oposisi memunculkan kemungkinan makin dalamnya ketegangan antara tubuh legislatif gres dan pemerintah. Sedangkan 20 dari 29 kandidat eks anggota legislatif terpiliih kembali untuk Majelis Nasional pada dikala itu. Mereka inilah yang membentuk poros aliansi oposisi. Perjuangan Perempuan Kuwait yang tak kenal lelah itu ialah suatu bukti bahwa mereka bisa membuktikan keadilan dinegaranya dan menjadi tauladan bagi kaum perempuan dunia yang hingga dikala ini masih belum mendapatkan hak politik.
Melihat duduk kasus di atas maka penulis tertarik untuk mereview kasus yang akan diseriuskan dengan judul “Perjuangan Politik Kaum Perempuan Di Kuwait : Kendala dan Prospeknya”.


0 Komentar untuk "Perjuangan Politik Kaum Wanita Di Kuwait : Hambatan Dan Prospeknya (An-13)"

Back To Top