Analisis Faktor-Faktor Yang Menghipnotis Besarnya Simpanan Mudharabah Perbankan Syariah Di Indonesia Masa 1993.I –2003.Iv Dalam Jangka Pendek Dan Jangka Panjang (Bank-10)

loading...

BAB I

PENDAHULUAN


1.1     LATAR BELAKANG

Berdirinya IDB (Islamic Development Bank) pada sidang menteri keuangan di Jeddah tahun 1975, menjadi titik pertama gagasan pendirian bank-bank syariah di aneka macam negara. Pada simpulan periode 1970-an dan pertama dekade 1980-an, bank-bank syariah bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, serta Turki (Antonio, 2001:21).
Pada tahun 1985, sistem perbankan syariah dalam lingkup internasional bisa memobilisasi dana sebesar US $ 5 milyar yang hingga tahun 1999 sudah meningkat menjadi US $ 80 milyar. Beberapa institusi keuangan konvensional, ibarat Citibank, JP morgan, Deutsche Bank, ABN Amro dan American Express sudah mengenalkan produk tanpa bunga kepada konsumennya. Demikian pula perusahaan-perusahaan multinasional ibarat General Motors, IBM, dan Daewoo Corporation yang sudah memulai memakai jasa keuangan tanpa bunga ini (Haron dan Ahmad, 2000 :1)
Berkembangnya bank syariah di kancah internasional, memdiberi imbas bagi pengembangan bank syariah di Indonesia. Mengingat Indonesia berpenduduk 88 persen muslim (Sensus Penduduk, 2000), maka pantaslah jika pertama pendiriannya kental dengan peluang captive market yang dimiliki Indonesia.
Awal tahun 1980-an, diskusi terkena ekonomi Islam mulai dilakukan. Bahkan tes kemampuan dan pemahaman dalam relatif terbatas sudah dilakukan. Diantaranya ialah BaitutTamwil Salman Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta. Prakarsa lebih khusus bagi pendirian bank Islam gres dimulai tahun 1990. MUNAS IV MUI ( Majelis Ulama Indonesia ) pada agustus 1990 membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia (Antonio, 2001: 24).

1 Mei 1992 berdirilah bank syariah pertama di Indonesia; Bank Muamalat Indonesia, dengan total akad modal disetor Rp 106.126.382.000,- Namun, perangkat aturan operasinya dalam UU No.7 tahun 1992  belum memuat sistem syariah yang memadai. Baru di kala reformasi, UU No.10 tahun 1998 memuat secara rinci landasan operasi bank syariah dan memdiberi kode bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah (Antonio, 2001: 25).
Pengesahan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 membuka peluang yang kian luas bagi pengembangan bank syariah. Bukan spesialuntuk menyebut bank syariah dan bank konvensional secara berdampingan, tapi undang-undang ini juga memuat prinsip produk perbankan syariah ibarat murabahah[, salam[2], istisna[3], mudharabah[4], musyarakah[5] dan ijarah[6]. Undang-undang ini mempersembahkan imbas perlakuan yang sama diantara bank syariah dan konvensional, padahal ketika itu gres ada satu bank syariah dan sekitar 70 BPR syariah[7].  

Selain itu perkembangan bank syariah terlihat dari jumlah dana pihak ketiga dan pembiayaan yang didiberikan. Jumlah dana pihak ketiga yang dikumpulkan bank syariah meningkat tajam dari Rp. 463,45 miliar di tahun 1997 menjadi Rp. 4,33 triliun pada oktober 2003. Pembiayaan yang disalurkan bank syariah juga mengalami peningkatan dari Rp. 490,20  miliar  di tahun 1997 menjadi Rp 4,68 triliun pada oktober 2003. Sejalan dengan itu, profit yang dikumpulkan meningkat dari Rp. 25,14 miliar di tahun 2000 menjadi Rp 88,935 triliun pada November 2003. Akhir desember 2002 total aset perbankan syariah berjumlah 4.045.235 juta, meningkat sebesar 48,789% dibandingkan posisi Desember 2001. Namun, ditinjau dari perbankan nasional, tugas perbankan syariah amatlah kecil dibandingkan Bank konvensional. Total aset perbankan syariah hingga maret 2003 spesialuntuk menyumbangkan  0,42 % dari total aset perbankan nasional.
Dalam upaya pengembangan sistem perbankan syariah yang sehat dan bisa menjawaban tantangan masa menhadir, Bank Indonesia menyusun “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” ( Biro Perbankan Syariah BI, 2002). Samasukan pengembangan perbankan syariah hingga tahun 2011 tersebut memuat :
-         Terpenuhi prinsip syariah dalam operasional ;
-         Diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan syariah;
-         Terciptanya sistem perbankan syariah yang kompetitif dan efisien, serta
-         Terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan masyarakat luas.
Dalam upaya mewujudkan samasukan tersebut, Bank Indonesia mencanangkan langkah-langkah strategis yang pelaksanaanya dibagi dalam empat focus area, yakni : mendorong kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah secara konsisten, menyempurnakan regulasi dan sistem pengawasan yang sesuai dengan karakteristik perbankan syariah, mendukung terciptanya efisiensi operasional dan daya saing bank syariah, serta meningkatkan kestabilan sistem, peran, dan kemanfaatan perbankan syariah bagi perekonomian secara umum.
Seperti dalam perbankan konvensional, perbankan syariah juga bergantung pada depositor yang menyimpan uangnya di bank. Seiring dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat terkena perbankan syariah, tingkat bagi hasil menjadi salah satu  insentif depositor untuk menyimpan uangnya di bank syariah. Bahkan, penelitian Erol dan El-Bdour (1989) di Sudan dan Turki mengambarkan bahwa agama bukanlah alasan utama depositor menyimpan uangnya di bank syariah. Penelitian Haron et.al.(1994); dan Gerrad dan Cunningham(1997), mengambarkan bahwa alasan agama dan profit menjadi pertimbangan utama penabung bank syariah di Malaysia dan Singapura.
Di Indonesia ,penelitian Potensi dan Preferensi Perilaku Masyarakat di Pulau Jawa terhadap Bank Syariah dilakukan oleh Bank Indonesia (2000) bekerja sama dengan beberapa universitas negeri[1]. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa dari 4.025 responden[2], 94 persen berpandangan bahwa sistem bagi hasil ialah sistem yang dinilai universal dan sanggup diterima, serta menguntungkan.
 Dari klarifikasi diatas, menjadi penting sekarang untuk mengetahui faktor-faktor apa yang memotivasi depositor untuk menyimpan dananya di bank syariah, dan mengetahui faktor-faktor apa saja yang mensugesti besarnya penghimpunan dana pihak ketiga bank syariah di Indonesia khususnya simpanan mudharabah.
Dilatarbelakangi oleh kondisi tersebut, penulis mencoba menganalisis aneka macam variabel yang memilih besarnya simpanan tabungan dan deposito mudharabah perbankan syariah di Indonesia, untuk itu penulis mengambil judul :
“ ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIMPANAN MUDHARABAH PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA PERIODE 1993.I – 2003.IV MENGGUNAKAN PENDEKATAN KOINTEGRASI DAN ERROR CORRECTION MECHANISM (ECM)  ”



Tag : Perbankan
0 Komentar untuk "Analisis Faktor-Faktor Yang Menghipnotis Besarnya Simpanan Mudharabah Perbankan Syariah Di Indonesia Masa 1993.I –2003.Iv Dalam Jangka Pendek Dan Jangka Panjang (Bank-10)"

Back To Top