loading...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia berjalan di kehidupan dunia ini, semenjak pertama penciptaan dalam dirinya terdapat kepribadian yang bermacam-macam dan dikendalikan oleh kecenderungan naluri yang tidak sama pula. Fitrah sudah memilih bahwa individu tidak akan berkembang dengan sendirinya. Ia yakni makhluk sosial yang membutuhkan pertolongan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya, dalam menyempurnakan sebab-sebab hidupnya yang tidak sanggup dilakukan oleh tangan dan pengetahuannya, serta materi yang tidak sanggup dibawa oleh kekuatannya. melaluiataubersamaini ini, kehidupan insan yakni kehidupan kelompok, dalam setiap individu dari kelompok itu saling membutuhkan dalam membangun masyarakat, dan saling mengatur tiruana kesusahan biar menjadi kehidupan yang damai. Manusia yakni makhluk bermasyarakat, yang oleh Aristoteles disebut dengan zoon politicon.
Setiap insan mempunyai cita-cita, keinginan, kebutuhan, alam pikiran serta usaha-usaha. Manusia mempunyai seuntai rangkaian kepentingan kebutuhan hidup. Kepentingan-kepentingan seseorang sanggup berkaitan sangat bersahabat dengan kepentingan orang lainnya. Adakalanya kepentingan itu bersifat saling menjatuhkan, tetapi sanggup pula sama antara insan pemikul banyak sekali kepentingan itu. Setiap anggota masyarakat mempertahankan kepentingan-kepentingan sendiri, sehingga dapatlah timbul perperihalan sesama mereka. Hal yang demikian sangat membahayakan ketertiban, keamanan dan keselamatan masyarakat itu sendiri. Jika tidak diatur, pasti akan terjadi “homo homini lupus”.
Meskipun setiap individu dalam sebuah masyarakat tertentu mempunyai kepentingan yang tidak sama-beda, akan tetapi mereka tetap tidak menginginkan terjadinya bentrokan (chaos) antara sesama anggota masyarakat, mereka tentu menginginkan sebuah kedamaian yang memungkinkan keinginan-keinginan mereka itu terwujud. Dalam hal hidup bermasyarakat, berpuncak pada suatu organisasi negara yang merdeka, maka tertib bermasyarakat dipedomani oleh dasar negara tersebut. Apabila hal ini kita tinjau dari segi hukum, maka tertib bermasyarakat yang berupa tertib hukum, haruslah didasarkan pada Undang-Undang Dasar negara tersebut.
Terwujudnya stabilitas dalam setiap relasi dalam masyarakat sanggup dicapai dengan adanya sebuah peraturan aturan yang bersifat mengatur (relegen/anvullen recht) dan peraturan aturan yang bersifat memaksa (dwingen recht) setiap anggota masyarakat biar taat dan mematuhi hukum. Setiap relasi kemasyarakatan dilarang berperihalan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan aturan yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Sanksi yang berupa eksekusi (pidana) akan dikenakan kepada setiap pelanggar peraturan aturan yang ada sebagai reaksi terhadap perbuatan melanggar aturan yang dilakukannya. Akibatnya ialah peraturan-peraturan aturan yang ada haruslah sesuai dengan asas-asas keadilan dalam masyarakat, untuk menjaga biar peraturan-peraturan aturan sanggup berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat.
Sebuah peraturan aturan ada lantaran adanya sebuah masyarakat (ubi-ius ubi-societas). Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan tenang dalam seluruh lapisan masyarakat.
Di negara Indonesia, aturan terbagi atas beberapa bagian. Menurut isinya, aturan terdiri dari aturan privat dan aturan publik. Inisiatif pelaksanaan aturan privat diserahkan kepada masing-masing pihak yang berkepentingan. Kedudukan antara individu yakni horizontal. Sedangkan inisiatif pelaksanaan aturan publik diserahkan kepada negara atau pemerintah yang diwakilkan kepada jaksa beserta perangkatnya.
Kemudian ditinjau dari fungsinya, aturan dibagi atas aturan perdata, aturan dagang dan aturan pidana. Masing-masing mempunyai sifat dan fungsi yang tidak sama-beda, sebagai contoh, aturan pidana berfungsi untuk menjaga biar ketentuan-ketentuan aturan yang terdapat dalam aturan perdata, dagang, sopan santun dan tata negara ditaati sepenuhnya.
Delik penganiayaan ialah salah satu bidang garapan dari aturan pidana.
Penganiayaan oleh kitab undang-undang hukum pidana secara umum diartikan sebagai tindak pidana terhadap tubuh. Semua tindak pidana yang diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana ditentukan pula ancaman pidanya. Demikian juga pada delik penganiayaan serta delik pembunuhan. Kedua delik ini ancaman pidananya mengacu pada kitab undang-undang hukum pidana buku I kepingan II wacana pidana, terutama pada pasal 10. Di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pidana terdiri dari dua macam, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, untuk delik penganiayaan serta pembunuhan lebih mengarah kepada pidana pokok yang terdiri atas pidana mati, pidana penjara, kurungan dan denda.
Sementara itu, dalam aturan Islam juga terdapat bermacam-macam aturan yang mengatur kehidupan insan sebagai khalifah di bumi ini. Aturan aturan dalam Islam antara lain dibedakan sebagai al-Ahwal asy-Syakhsiyyah atau aturan keluarga, al-Ahwal al-Madaniyyah atau aturan privat, al-Ahwal al-Jinayah atau aturan pidana dan sebagainya.
Hukum Pidana Islam (jinayah) didasarkan pada tunjangan HAM (Human Right) yang bersifat primer (Daruriyyah) yang mencakup tunjangan atas agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Perlindungan terhadap lima hak tersebut oleh asy-Syatibi dinamakan maqasid asy-syari’ah. Hakikat dari pemberlakuan syari’at (hukum) oleh Tuhan yakni untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan itu sanggup diwujudkan apabila lima unsur pokok tersebut sanggup diwujudkan dan dipelihara.
Islam, mirip halnya sitem lain melindungi hak-hak untuk hidup, merdeka, dan mencicipi keamanan. Ia melarang bunuh diri dan pembunuhan serta penganiayaan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang insan tanpa alasan yang benar diibaratkan mirip membunuh seluruh manusia. Sebaliknya, barang siapa yang memelihara kehidupan seseorang manusia, maka ia diibaratkan memelihara insan seluruhnya.
Hukum pidana Islam mempersembahkan dasar aturan pada pihak terpidana mengacu pada al-qur’an yang tetapkan bahwa jawaban untuk suatu perbuatan jahat harus sebanding dengan perbuatan itu.
Mengenai problem pembunuhan ataupun penganiayaan dalam pidana Islam diancam dengan eksekusi qisas. Akan tetapi tidak tiruana pembunuhan dikenakan aturan qisas, ada juga yang sebatas dikenakan diat (denda), yaitu pembunuhan atas dasar ketidak sengajaan, dalam hal ini tidak dikenakan qisas, melainkan spesialuntuk wajib membayar denda yang enteng. Denda ini diwajibkan atas keluarga yang membunuh, bukan atas yang membunuh. Mereka membayarnya dengan diangsur dalam masa tiga tahun, tiap-tiap final tahun keluarga itu wajib membayar sepertiganya.
Ketentuan-ketentuan aturan yang ada, baik pada aturan pidana Islam maupun pidana nyata yang sudah disebutkan di atas menjadi menarikdanunik untuk dibahas dikala keduanya dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut adanya penyelesaian, dalam hal ini yakni masalah penganiayaan terhadap ibu hamil yang menimbulkan matinya janin.
Ada bebarapa hal yang menjadikan kenapa penyusun tertarik untuk mengulas masalah tersebut, yang pertama yakni bahwa belum adanya penelitian yang mengulas masalah tersebut dari segi aturan pidana Islam dan aturan pidana positif, pada umumnya yang dibahas oleh orang masih bersifat umum pada delik penganiayan atau pembunuhan saja. Yang kedua yakni selama ini sering terjadi tindak-tindak kekerasan terhadap wanita yang mengakibatkan banyak sekali akibat, salah satunya yakni masalah penganiayaan mirip yang yang dikemukakan dalam penelitian ini. Latar belakang terjadinya hal tersebut biasanya juga dikarenakan adanya kelakuan yang tidak masuk akal sehingga akan mengakibatkan malu apabila diketahui oleh masyarakat, mirip adanya kehamilan diluar ijab kabul atau akhir perkosaan. Sedangkan berkenaan dengan kasus-kasus tersebut belum ada ketegasan terkena sanksi-sanksi hukumnya.
Tag :
Agama Islam
0 Komentar untuk "Delik Penganiayaan Terhadap Ibu Hamil Yang Mengakibatkan Maut Janin Berdasarkan Aturan Pidana Islam Dan Aturan Pidana Aktual (Ai-13)"