Eksistensi Pengampunan Sanksi Dalam Perspektif Aturan Pidana (Hk-02)

loading...
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia yaitu negara yang berdasarkan atas hukum. Undang-undang Dasar 1945 memutuskan bahwa Negara Republik Indonesia itu suatu negara aturan (rechstsaat) dibuktikan dari ketentuan dalam Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan Undang-undang Dasar 1945. Ide negara hukum, terkait dengan konsep the rule of law dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey. Tiga ciri penting setiap negara aturan atau yang disebutnya dengan istilah the rule of law oleh A.V. Dicey, yaitu: 1) supremacy of law; 2) equality before the law; 3) due process of law.


Dalam Amandemen Undang-undang Dasar 1945, teori equality before the law termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala masyarakat Negara bersamaan kedudukannya di dalam aturan dan pemerintahan dan wajib menjunjung aturan dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Teori dan konsep equality before the law menyerupai yang dianut oleh Pasal 27 (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 tersebut menjadi dasar pinjaman bagi masyarakat negara supaya diperlakukan sama di hadapan aturan dan pemerintahan.

Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 sering dikatakan menganut sistem presidensiil, akan tetapi sifatnya tidak murni, lantaran bercampur baur dengan elemen-elemen sistem parlementer. Namun dengan empat perubahan pertama Undang-undang Dasar 1945, khususnya dengan diadopsinya sistem pemilihan presiden secara langsung, dan dilakukannya perubahan struktural maupun fungsional terhadap kelembagaan MPR, maka sistem pemerintahannya menjadi makin tegas menjadi sistem pemerintahan presidensiil murni . Dalam sistem presidensiil yang murni, tidak perlu lagi dipersoalkan terkena pembedaan atau pemisahan antara fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan, lantaran dalam pemerintahan presidensiil murni cukup mempunyai presiden dan wakil presiden saja tanpa mempersoalkan kapan ia berfungsi sebagai kepala negara dan kapan sebagai kepala pemerintahan.

Di negara dengan tingkat keguakaragaman penduduknya yang luas menyerupai Indonesia, sistem presidensiil ini efektif untuk menjamin sistem pemerintahan yang besar lengan berkuasa dan efektif. Namun seringkali, lantaran kuatnya otoritas yang dimilikinya, timbul duduk kasus berkenaan dengan dinamika demokrasi . Oleh lantaran itu, dalam perubahan Undang-undang Dasar 1945, kelemahan sistem presidensiil menyerupai kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan serius kekuasaan di tangan presiden, diusahakan untuk dibatasi. Misalnya, Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang sebut bahwa “Presiden memdiberi pengampunan sanksi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA”. Hal ini bertujuan supaya hak preogratif presiden dibatasi dan tidak lagi bersifat mutlak.

Wacana pelaksanaan dan penerapan pidana mati berkembang pada enam tahun terakhir. melaluiataubersamaini kata lain soal pidana mati justru terkenal di masa desakan perubahan sistem peradilan. Pada periode ini beberapa ketentuan aturan gres justru mencantumkan pidana mati sebagai ancaman sanksi terbaik. Misalnya pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 wacana Peradilan Hak Asasi Manusia, ataupun Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 wacana Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan masih ada peraturan perundang-undangan lainnya.

kitab undang-undang hukum pidana Indonesia, dalam pidana pokoknya mencantumkan pidana mati dalam urutan pertama. Pidana mati di Indonesia ialah warisan kolonial Belanda, yang hingga ketika ini masih tetap ada. Sementara praktik pidana mati masih diberlakukan di Indonesia, Belanda sudah menghapus praktik pidana mati semenjak tahun 1870 kecuali untuk kejahatan militer. Kemudian pada tanggal 17 Febuari 1983, pidana mati dihapuskan untuk tiruana kejahatan . Tentu saja hal ini ialah hal yang sangat menarikdanunik. Karena pada ketika diberlakukan di Indonesia melalui asas konkordansi, di negara asalnya Belanda ancaman pidana mati sudah dihapuskan.

Di dalam klarifikasi ketika membentuk kitab undang-undang hukum pidana ditetapkan, bahwa alasan-alasan tetap memberlakukan ancaman pidana mati, lantaran adanya keadaan-keadaan khusus di Indonesia (sebagai jajahan Belanda). Keadaan-keadaan tersebut antara lain: 1) ancaman terganggunya ketertiban aturan yang lebih besar dan lebih mengancam; 2) Indonesia yaitu negara kepulauan, sehingga komunikasi menjadi tidak lancar; 3) penduduk Indonesia heterogen, sehingga menjadikan potensi bentrokan pada masyarakat; 4) pegawapemerintah Kepolisian dan pemerintah yang tidak memadai . Namun apabila kita bandingkan dengan keadaan sekarang, maka alasan-alasan tersebut perlu ditinjau kembali. Karena alasan- alasan tersebut sudah tidak cocok dengan keadaan dan perkembangan jaman.

kitab undang-undang hukum pidana Indonesia memuat 11 pasal kejahatan yang mengancam pidana mati.
Diantaranya Pasal 104 wacana makar, Pasal 340 wacana pembunuhan berencana, Pasal 365 ayat (4) wacana pencurian dengan kekerasan, Pasal 444 wacana kejahatan pelayaran, dan lain-lain. Pidana mati dalam kitab undang-undang hukum pidana ialah pidana pokok atau utama. Perkembangan yang terjadi di Indonesia dalam Konsep Rancangan kitab undang-undang hukum pidana Baru yaitu menjadikan pidana mati sebagai pidana eksepsional, dalam bentuk ‘pidana bersyarat’. Artinya, ancaman pidana mati tidak lagi dijadikan sebagai masukana pokok penanggulangan kejahatan, namun ialah pengecualian. Ancaman pidana mati tetap tercantum dan diancamkan dalam KUHP, namun dalam penerapannya akan dilakukan secara lebih selektif.

Indonesia ialah salah satu negara yang banyak menjatuhkan pidana mati. Berdasarkan catatan aneka macam Lembaga Hak Asasi Manusia Internasional, Indonesia termasuk salah satu negara yang yang masih menerapkan ancaman sanksi mati pada sistem aturan pidananya (Retentionist Country). Retentionist maksudnya de jure secara yuridis, de facto berdasarkan fakta mengatur pidana mati untuk segala kejahatan. Tercatat 71 negara yang termasuk dalam kelompok ini. Salah satu negara terbesar di dunia yang termasuk dalam retentionist country ini yaitu Amerika Serikat. Dari 50 negara bagian, ada 38 negara cuilan yang masih mempertahankan ancaman pidana mati . Padahal menyerupai diketahui, Amerika Serikat ialah salah satu negara yang paling besar gaungnya dalam menyerukan pinjaman hak asasi insan di dunia. Namun dalam kenyataannya masih tetap memberlakukan ancaman pidana mati, juga dalam aturan militernya.

Angka orang yang dieksekusi mati di Indonesia, termasuk cukup tinggi sehabis Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi, dan Iran. Di Indonesia sendiri, semenjak 1982 hingga 2004, tidak kurang dari 63 yang berstatus sedang menunggu eksekusi, atau masih dalam proses upaya aturan di pengadilan lanjutan . Alasan yang banyak dikemukakan berkaitan dengan resistensi politik supaya setiap negara menghormati pedoman bahwa masalah sistim peradilan pidana ialah duduk kasus kedaulatan nasional yang ialah refleksi dari nilai-nilai kultural dan agama, dan menolak argumen bahwa pidana mati ialah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Terkecuali Cina dan Amerika Serikat, negara yang masih mempertahankan ancaman pidana mati yaitu negara yang didominasi oleh penduduk muslim. Sedangkan Indonesia yaitu negara yang notabene ialah negara yang penduduknya juga didominasi oleh penduduk muslim.

Hasil sejumlah studi wacana kejahatan tidak memperlihatkan adanya korelasi antara sanksi mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Beberapa studi menunjukkan, mereka yang sudah dipidana lantaran pembunuhan (juga yang berencana) lazimnya tidak melaksanakan kekerasan di penjara. Begitu pula sehabis ke luar penjara mereka tidak lagi melaksanakan kekerasan atau kejahatan yang sama. Sebaliknya sejumlah jago mengKoreksi, suatu perspektif aturan tidak sanggup menjangkau aturan kerumitan kasus-kasus kejahatan dengan kekerasan di mana korban berhubungan dengan pelaku kejahatan, di mana individu yaitu korban maupun pelaku kejahatan, dan dimana orang yang kelihatannya yaitu korban dalam kenyataan yaitu pelaku kejahatan .
Mereka yang pro-hukuman mati berpendapat:
(1) sanksi mati ialah pidana sempurna bagi pelaku pembunuhan (berencana) dan percaya pandangan retribution, atonement or vengeance, yang mempunyai sifat khusus yang menakutkan;
(2) pidana mati masih tercantum dalam sejumlah perundang-undangan;
(3) sanksi mati lebih hemat daripada sanksi seumur hidup.

Mereka yang tidak baiklah pidana mati berpendapat:
(1) ancaman pidana mati secara historis tidak bersumber pada pancasila, lantaran kitab undang-undang hukum pidana kita warisan Belanda, bahkan Belanda sendiri termasuk salah satu negara yang sudah menghapuskan sanksi mati;
(2) sanksi mati (pada dasarnya pembunuhan berencana juga) ialah sesuatu yang amat berbahaya jikalau yang bersangkutan tidak bersalah. Tidaklah mungkin diadakan suatu perbaikan apapun jikalau orang sudah dipidana mati;
(3) mereka yang menentang sanksi mati menghargai nilai pribadi, martabat kemanusiaan umumnya dan menghargai suatu pendekatan ilmiah untuk memahami motif-motif yang mendasari setiap tingkah laris insan .

Dari dimensi dan kacamata HAM, sanggup dicatat perkembangan instrumen-instrumen sebagai diberikut:
(1) Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, pada Pasal 3 terkena hak untuk hidup, terperinci berperihalan dengan pidana mati;
(2) Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan politik (International Covenat on Civil and Political Rights- ICCPR). Hak untuk hidup (rights to life), yaitu pada Bagian III Pasal 6 (1), menyatakan bahwa setiap memusia berhak atas hak untuk hidup dan menyatakan pinjaman aturan dan tiada yang sanggup mencabut hak itu. Konvenan Internasional ini diadopsi pada 1966, dan berlaku (enter into force) semenjak 1976. Hingga 2 November 2003, tercatat sudah 151 negara melaksanakan ratifikasi/aksesi terhadap konvenan ini;
(3) Second Optional of ICCPR Aiming or The Abolition of Death Penalty, tahun 1990. protocol opsional ini bertujuan untuk menghapuskan pidana mati. Hingga ketika ini, tercatat 50 negara sudah meratifikasi;
(4) Protocol No.6 Europian Convention far The Protection Human Rights and Fundamental Freedom, tahun 1950 (berlaku mulai 1 Naret 1985). Instrumen ini bertujuan untuk menghapuskan pidana mati si tempat Eropa;
(5) The Rome Statute of International Criminal Court, 17 Juli 1998. dalam Pasal 7 tidak mengatur pidana mati sebagai salah satu cara pemidanaan. Hingga ketika ini, tercatat 94 negara sudah meratifikasi instrument ini.

melaluiataubersamaini segala pro dan kontra atas penerapan pidana mati di Indonesia, jenis pidana ini masih tetap diterapkan bahkan tercantum dalam Konsep Rancangan kitab undang-undang hukum pidana Baru Indonesia. Bila dihubungkan dengan terpidana mati itu sendiri, terpidana mati berhak mengajukan upaya hukum, baik melalui penasihat hukumnya, keluarganya, atau dirinya sendiri. Upaya aturan itu mencakup beberapa aspek banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Selain itu, baik melalui dirinya sendiri, keluarga, atau kuasa hukumnya, terpidana sanggup mengajukan usul pengampunan sanksi kepada presiden.

Mengenai kewenangan presiden mediberikan grasi, disebut kewenangan presiden yang bersifat judicial, atau disebut juga sebagai kekuasaan presiden dengan konsultasi. Kekuasaan dengan kosultasi yaitu kekuasaan yang dalam pelaksanaannya memerlukan ajuan atau nasehat dari institusi-institusi yang berkaitan dengan materi kekuasaan tersebut. Selain pengampunan sanksi dan rehabilitasi, amnesti dan pembatalan juga termasuk dalam kekuasaan presiden dengan konsultasi. Seperti tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945, “Presiden mempersembahkan amnesti dan pembatalan atas pertimbangan DPR”.

Kewenangan Presiden memdiberikn pengampunan sanksi terkait dengan aturan pidana dalam arti subyektif. Hukum pidana subyektif mengulas terkena hak negar untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana. Hak negara yang demikian ini ialah hak negara yang besar, sehingga perlu dicari dasar pijakannya melalui teori pemidanaan. Oleh lantaran itu, Presiden dalam mempersembahkan pengampunan sanksi harus didasarkan pada teori pemidanaan.
Masalah pengampunan sanksi mulai banyak diperbincangkan akhir-akhir ini, semenjak pertengahan 2003 kemudian presiden Megawati Soekarnoputri menolak usul pengampunan sanksi enam terpidana mati. Mereka yaitu lima orang terlibat pembunuhan, dan satu orang dalam kasus narkoba . Pemdiberian pengampunan sanksi pada masa Orde Baru bukan suatu hal yang baru. Grasi berupa perubahan status terpidana mati menjadi seumur hidup, pernah didiberikan kepada Soebandrio dan Omar Dhani. Demikian pula terhadap sembilan terpidana lain (1980), sehabis itu, tidak kurang dari 101 usul pengampunan sanksi didiberikan oleh presiden Soeharto . Tentu saja hal ini bukanlah jumlah yang sedikit, mengingat kekuasaan Orde Baru sudah bertengger selama 32 tahun.

Pada tahun 1997, hakim Pengadilan Negeri Sekayu Sumatera Selatan menjatuhkan vonis pidana mati kepada Jurit Bin Abdullah dan seorang rekannya. Jurit dan rekannya didakwa sudah melaksanakan pembunuhan berencana terhadap Soleh Bin Zaidan di Mariana, Banyuasin, Sumatera Selatan, lewat Putusan No 310/Pid B/1997 PN Sekayu. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan dengan Putusan No 30/Pid/PT, 21 April 1998, juga memvonis pidana mati kepada Jurit dan rekannya. Putusan ini sekaligus menguatkan putusan dari pengadilan sebelumnya. Kemudian mereka eksklusif mengajukan grasi, namun pengampunan sanksi ini ditolak oleh presiden. Sedangkan usul Peninjauan Kembali Jurit terdaftar di Pengadilan Negeri Sekayu pada 17 Febuari 2003. Permohonan Peninjauan Kembali itu diajukan secara pribadi oleh Jurit melalui LP Kelas I Palembang, tempat dirinya menjalani hukuman. Permohonan Peninjauan Kembali ini juga ditolak.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, Jurit juga didakwa dengan kasus pembunuhan yang lain. Yaitu pembunuhan terhadap Arpan Bin Cik Din pada 27 Agustus 1997 di Mariana, Banyuasin. Dalam kasus ini hakim Pengadilan Negeri Palembang memvonis pidana penjara seumur hidup. Peninjauan Kembali yang diajukan dalam rangka kasus ini juga ditetapkan tidak sanggup diterima.

Beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai jawaban dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim, khususnya untuk pidana terbaik menyerupai pidana mati, yaitu adanya kemungkinan terjadi sanksi terhadap innocent people. Selain itu, adanya kekhilafan dalam proses hukum, mencakup proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak sanggup dipercaya, sanggup saja terjadi . Boleh dibilang pengampunan sanksi ialah salah satu forum yang sanggup mengkoreksi dan mengatasi resiko tersebut. Itulah sebabnya mengapa pengampunan sanksi berada di luar lingkup peradilan pidana. Hal ini mempersembahkan indikasi bahwa, meskipun pengampunan sanksi ialah kewenangan presiden yang berada dalam lingkup Hukum Tata Negara, aturan pidana juga memandang wacana keberadaan pengampunan sanksi dalam hal upaya dari terpidana untuk menghindarkan dari sanksi putusan.
Berdasarkan paparan yang sudah diuraikan di atas, maka penulis diberinisiatif untuk menuangkan goresan pena ini dalam bentuk skripsi yang berjudul “EKSISTENSI GRASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA”.

B. Permasalahan
Sehubungan dengan latar belakang pemilihan judul di atas, maka timbul permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan skripsi ini, yaitu: Bagaimanakah keberadaan pengampunan sanksi dalam perspektif aturan pidana?
C. Ruang Lingkup
Untuk mendapat citra yang lebih terperinci dan menyeluruh terkena
pembahasan skripsi ini, serta untuk menghindari supaya pembahasan tidak menyimpang dari permasalahan yang diangkat, maka untuk itu penulis perlu mempersembahkan batasan ruang lingkup penulisan yaitu spesialuntuk terkena masalah keberadaan pengampunan sanksi dalam perspektif aturan pidana.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
Penulisan ini bertujuan untuk:
Mengetahui keberadaan dan kedudukan pengampunan sanksi dalam perspektif aturan pidana secara umum.
2. Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dalam skripsi ini mencakup beberapa aspek kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, sebagai diberikut:
a. Manfaat Teoritis
Penulisan ini diperlukan sanggup menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis, mahasiswa, pemerintah, maupun masyarakat umum terkena pengampunan sanksi dan eksistensinya dalam perspektif aturan pidana. Dan menambah perbendaharaan atas kepustakaan aturan pidana.

b. Manfaat Praktis
Penulisan skripsi ini diperlukan sanggup mempersembahkan sumbangan bagi pemerintah, pembentuk Undang-undang, serta masyarakat.


Tag : Hukum
0 Komentar untuk "Eksistensi Pengampunan Sanksi Dalam Perspektif Aturan Pidana (Hk-02)"

Back To Top