Suatu Analisis Wacana Kurun Depan Negara Sudan Pasca Referendum (Is-13)

loading...
           Berbicara terkena negara, tentunya tidak terlepas dari kedaulatan, dimana negara diakui oleh masyarakatnya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah kawasan negara itu berada. Dalam bentuk modern negara terkait dekat dengan impian rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis.

            Sebuah pemerintahan yang menjalankan sebuah negara didiberikan obligasi untuk menjadikan aspirasi masyarakat sebagai konsiderasi dalam pembentukan sebuah kebijakan. Pelayanan publik ialah obligasi institusi pemerintahan yang bertanggung balasan untuk menyediakan banyak sekali keperluan rakyatnya. Penyediaan keamanan/ rasa kondusif ialah salah satu penggalan esensial dalam kiprah sebuah pemerintahan. Ketika muncul dikala dimana kewajiban tersebut tidak diaplikasikan, atau malah disalahgunakan oleh pemerintahan tersebut, maka pecahlah konflik.

           Konflik yang terjadi di negara Sudan, ialah konflik yang umum terjadi di beberapa negara-negara lainnya. Mulai dari konflik agama, dimana kenyataan yang kita ketahui bahwa tiruana agama yang berada di dunia mengajarkan pada setiap umatnya untuk selalu saling mencintai dan menghormati sesama pemeluk agama. Namun realita yang terjadi dalam sejarah umat insan maupun di negara Sudan, agama sering dijadikan dalih untuk membantai pemeluk agama yang lain.

            Konflik lain yang biasa terjadi di Sudan ialah konflik kesukuan atau ras, konflik ini tidak jauh tidak sama dengan konflik antar agama yang sering terjadi di banyak sekali negara dalam Afrika. Eksistensi dari banyak sekali suku dalam sebuah negara cenderung menghasilkan sebuah suku diabaikan, atau tidak didiberikan pelayanan publik yang sama dengan suku lainnya.


           Maraknya konflik dan terbentuknya negara yang tidak stabil sudah mengakibatkan beberapa perebutan kekuasaan berdarah yang terjadi, spesialuntuk demi merebut suatu jabatan atau kekuasaan. Hal inilah yang tidak terlepas juga dari proses pemerintahan di negara sudan, dimana selalu diwarnai akan  proses politik yang tidak adil bagi keseluruhan penduduk Sudan. INI proses-proses konflik yang terjadi di Sudan, dimana konflik itu terjadi secara vertikal maupun horizontal.

            Menurut Karl Marx, sumber konflik itu ada yang vertikal dan ada horizontal. Sumber utama dari konflik vertikal ialah perbedaan kepentingan ataupun kelas, sedangkan konflik horizontal ada bermacam alasannya ialah yang sanggup memicu pertikaian, kekerasaan, kekejaman hingga bahkan pemmembersihkanan etnis, antara lain, ideologi, agama, masalah pribumi dan penhadir, ras, hingga masalah etnisitas.[1]

           Konflik mempunyai banyak sekali kategorinya, dimana ada bermacam-macam kasus yang sanggup melatar belakangi terjadinya sebuah konflik dalam negara. Adanya perbedaan paham antar 2 kelompok menjadi salah satu penyebab utama terjadinya sebuah konflik. Pengertian konflik itu sendiri ialah perbedaan sosio kultural, politik, ideologi diantara banyak sekali kelompok masyarakat.  Hal itu intinya tidak bisa dipisahkan dari hakekat keberadaan insan dalam kehidupan yang begitu kolektif, dimana konflik merujuk kepada sesuatu permusuhan antara dua kelompok orang. Dalam sebuah keadaan yng kompetitif, pihak-pihak didalamnya mempunyai tujuan yang masing-masing tidak sama. Keadaan kompetitif akan secara alami mengakibatkan konflik .[2]

           Menurut J. Dwi Narwoko, definisi konflik ialah  :

“Konflik ialah pertikaian, perselisihan yang terjadi diantara dua pihak, dimana sebuah mulut heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul sebagai formula gres yang ditimbulkan oleh perubahan sosial yang muncul berperihalan dengan kendala yang diwariskan. Konflik muncul kapan saja ketika aktivitas yang tidak cocok terjadi dimana aspek instrinsiki dan mustahil dihindari dalam perubahan sosial.”[3]



           Konflik yang terjadi di negara Sudan begitu beragam, lantaran konflik yang terus bergejolak di negara Sudan ini mengakibatkan Sudan menjadi negara Afrika yang di kategorikan negara miskin dan terbelakang, dikategorikan demikian lantaran Sudan tidak mampuh untuk mengololah sumber daya yang dimilikinya, dimana menimbulkan ketidakseimbangan proses pembangunan, pertumbuhan perekonomian yang tidak merata dan siginifikan, lantaran segala aktifitas pembangunan dan pertumbuhan itu terkonsentarsi pada konflik yang selalu terjadi di negara Sudan ini.

           Konsentrasi pada konflik yang dimaksud adalah,proses konflik yang berkepantidakboleh itu mengakibatkan segala kemajuan di banyak sekali bidang yang terjadi di negara Sudan menjadi terhambat. Hal ini jugalah yang mengakibatkan ketidakpuasan sebagaian masyarakat atas sistem pemerintahan yang diberlakukan, sehingga proses sistem ini begitu menyengsarakan rakyatnya dalam kemiskinan dan ketidakberdayaan.

           Sistem pemerintahan itu membuat hak-hak sebagai masyarakat negara Sudan diberengus dan tidak memperoleh kesejahteraan yang absolut, tidak merata di masyarakat dan spesialuntuk dinikmati oleh segelintir orang yang berada di dalam lingkar kekuasaan, tidak heran bila meski mempunyai negara yang sangat luas dan jumlah penduduk mencapai 41 juta jiwa lebih,[4] Sudan  masih termasuk salah satu negara termiskin di dunia, dan rakyatnya kerap dilanda tragedi kelaparan.

            Sekilas memang konflik yang terjadi ini begitu rumit dan mengganggu tatanan kehidupan antara rakyat dan pemerintah di Sudan, keberlangsungan konflik ini sudah begitu usang yang dari pertama Sudan utara dikembangkan dan mengisolasi  Sudan wilayah selatan, dimana mereka melarang penduduk wilayah utara untuk masuk ke selatan. Di Selatan mereka mencegah penyebaran Islam dan tradisi Islam dan memperkenalkan misionaris Kristen. Inggris pun membangun kesadaran identitas penduduk Sudan wilayah selatan, bahwa mereka ialah penduduk orisinil Afrika (yang tidak sama dengan Utara), serta membangun teladan pemerintahan tradisional di bawah pimpinan para syaikh di Utara dan pemimpin suku di Selatan yang mempersembahkan andil terhadap lemahnya sistem pemerintahan Sudan dikemudian hari.[5]

           Berbicara terkena dua wilayah di Sudan ini yang selalu memanas, tentu tidak terlepas juga dari sejarah konflik antara dua wialayah ini. Dimana konflik ini bermula dari konflik bersenjata antara pemerintah Sudan dan al-Harakah al-Sya'biyyah li al-Tahrir al-Sudan (Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan/ SPLM).[6] Dimana gerakan pembebasan ini memicu persoalan-persoalan intra yang terjadi antara dua wilayah ini semakin memperkeruh keadaan yang ada.

           Konflik antara Sudan Utara dan Selatan yang berkepantidakboleh ini, kemudian masuk dalam perjanjian Naivasha yang menyetujui adanya gencatan senjata antara pihak pemberontak (SPLM) dengan pemerintahan pusat Sudan di Khartoum. [7] Perjanjian Naivasha selain terdiri dari perjanjian gencatan senjata, juga memdiberi garis besar integrasi antar kedua pihak dalam bidang ekonomi serta militer, juga memutuskan untuk melaksanakan referendum pada tahun 2011. Perundingan Darnerd Nairobi 2005 yang mengantarkan gencatan senjata untuk mengakhiri perang sipil antara Sudan Utara dan Sudan Selatan yang sudah berlangsung selama 22 tahun dan menelan korban 1,5 juta jiwa. Konflik ini tentu saja tidak sama dengan situasi di Darfur yang menjadikan  Bashir dituduh turut melaksanakan genosida terhadap masyarakat sipil setempat. Begitulah keadaan Sudan yang kompleks akan konflik pemerintahannya.

            Sudan Selatan karenanya mencoba memisahkan diri dari Sudan Utara dengan cara elegan dan konstitusional sesuai dengan kesepakatan perjanjian tenang pada tahun 2005. Bagi Sudan Selatan, pemisahan dari Utara tidak serta-merta membawa kemakmuran. Sebab, pengelola industri minyak kebanyakan ialah orang Utara, jalur pengkapalan, sebagian pengolahan, dan distribusi minyak itu juga melalui Utara. Wilayah Sudan Selatan itu ialah daratan yang terkunci (landlocked). Artinya, tidak mempunyai kanal bahari yang sangat dibutuhkan bagi jalur pengkapalan hasil minyak.[8] Untuk membangun industri minyaknya, Selatan memerlukan waktu yang panjang, kolaborasi dengan banyak sekali pihak, dan investasi dalam skala besar.

            Pada permasalahan pertama Sudan melaksanakan referendum, bergotong-royong tidak terlepas dari penjajah Inggris yang pertamanya memisahkan Sudan dari Mesir dengan mendukung deklarasi negara Sudan  merdeka pada tahun 1956, sebagai kompensasi untuk meredam kemarahan Mesir dan sekaligus memuaskan Sudan Utara dikala itu, Inggris menggabungkan Sudan Utara dan Sudan Selatan. [9] Kini setalah lebih dari 50 tahun pemisahan Mesir dan Sudan, kesatuan Sudan tidak ikut bertahan  juga.

            Referendum juga didukung karena, pecahnya konflik antara dua wilayah ini juga, tidak terlepas dari dugaan adanya pihak absurd yang selalu membuat masalah antara dua wilayah ini selalu berkobar dalam konflik yang begitu berdarah, mungkin di dorong lantaran kekuatan sumber daya alam yang dimiliki Sudan begitu besar dan sanggup menhadirkan laba yang sangat berlimpah bagi negara-negara yang memanfaatkan konflik yang terjadi di wilayah tersebut sebagai suatu laba yang patut digali keberadaannya.

            Andil dari pihak absurd ini ternyata berhasil dalam memecah konflik antara Sudan Utara dan Selatan, dimana masalah ini rawan menjadi pemicu konflik alasannya ialah kedua negara itu tidak mempunyai perbatasan alamiah yang terang dan tegas, menyerupai bahari atau pepegununganan. Apalagi perbatasan itu menyangkut beberapa kota penting menyerupai Abyei. Padahal perbatasan darat itu membentang sangat luas dari ujung timur hingga ujung barat wilayah kedua negara. Persoalan pembangunan ekonomi dan minyak juga akan menjadi masalah fokus.

            Investasi dalam skala besar inilah yang bisa dimanfaatkan pihak absurd nantinya dalam, mengelolah sumber daya alam yang terdapat di Sudan ini. INI penggambaran banyak sekali konflik di dunia yang pada umumnya terjadi di wilayah yang kaya dengan sumber daya mineral, ketika dalam suatu negara mempunyai sistem pemerintahan yang lemah, hal inilah memuluskan masuknya pihak absurd yang memecah bela negara kaya mineral, dalam hal ini begitu yang terjadi di negara Sudan, perpecahan antara Sudan Selatan dan Sudan Utara.

             Persoalan yang begitu kompleks ini, tentu saja membuat dua wilayah ini semakin berpengaruh untuk melaksanakan pemisahan dengan jalan referendum, mengingat sebagian besar ladang minyak Sudan berada di wilayah Selatan, sementara modernisasi wilayah Utara, terutama Khourtum dan sekitarnya tidak bisa dilepaskan dari hasil minyak ini. Para pejabat Sudan Utara berulang-ulang menyatakan kesiapannya dengan terpisahnya Sudan Selatan. Hal ini terkait dengan inovasi tambang emas dan sumber bumi lain di wilayah Utara. Namun, ketergantungan Utara terhadap minyak Selatan selama ini susah dipisahkan.

            Referendum yang dilaksanakan Sudan, sesungguhnya tidak terlepas dari konflik terus-menerus yang terjadi di negara tersebut. Para pejabat Sudan berharap negara mereka tetap bersatu meski dalam bentuk lain, namun hal inilah yang sangat susah dicapai dari negara Sudan tersebut, lantaran dari pertama wilayah ini sudah syarat akan konflik berkepantidakboleh yang terjadi.

            Sejarah Sudan sebagai negara bangsa tentu saja menjadi materi kajian yang menarikdanunik lantaran gagal menjaga kesatuan dan persatuannya. Bangsa Sudan yang brsifat beragam dari segi etnik dan kepercayaan  tidak mampu  mengisi kemerdekaan , dimana bangsa disini mempunyai tekad untuk hidup tolong-menolong namun ridak sanggup terwujudkan. Sebaliknya pertarungan menurut garis suku dan agama merebak luas hingga menimbulkan perang saudara secara brutal. Hal inilah yang mengakibatkan pemerintah pusat gagal dalam mengayomi kedua wilayah Sudan Selatan dan Sudan Utara.





0 Komentar untuk "Suatu Analisis Wacana Kurun Depan Negara Sudan Pasca Referendum (Is-13)"

Back To Top