Tinjauan Terhadap Teori Sikap Produsen Perbandingan Antara Ekonomi Konvensional Dan Ekonomi Syariah (Ep-06)

loading...
BAB I
PENDAHULUAN

I. 1 LATAR BELAKANG
Di tengah kemajuan pesat yang sudah dicapai ilmu ekonomi memasuki milenium ketiga ini, ilmu ekonomi dihadapkan kepada sebuah pertanyaan krusial : sejauh mana disiplin ilmu ini berhasil memainkan tugas kuncinya dalam mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas hidup bagi seluruh umat insan ? Pertanyaan ini sangat masuk akal untuk dimunculkan, lantaran dalam tataran teknis, setiap disiplin ilmu senantiasa dihadapkan pada sebesar apa bantuan atas peradaban manusia. Apa yang sudah didiberikan oleh ilmu ekonomi bagi kemanusiaan ?


Kebahagiaan insan sudah menjadi tujuan utama seluruh masyarakat di dunia. Namun ada perbedaan pandangan terkena apa yang membentuk kebahagiaan itu dan bagaimana hal itu sanggup direalisasikan. Perbedaan ini menyangkut diikutsertakan atau tidaknya aspek spiritual sebagai hal yang membentuk kebahagiaan disamping aspek material. Kebahagiaan aspek material sanggup tercapai dengan memenuhi tujuan-tujuan material, diantaranya mencakup pengentasan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan materi bagi tiruana individu, ketersediaan peluang bagi setiap orang untuk sanggup hidup secara terhormat, serta distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata .

Dalam kaitannya untuk memenuhi tujuannya mewujudkan kesejahteraan umat insan tersebut, maka berkembanglah ilmu Ekonomi Kesejahteraan (Welfare Economics) yang dirintis oleh Pigou pada tahun 1912, yang menjadi fondasi bagi perkembangan ilmu ekonomi kebijakan publik, perdagangan internasional, ekonomi industri, dan cabang ilmu ekonomi lainnya . Sehingga ilmu ekonomi tidak spesialuntuk ditampilkan spesialuntuk menjadi serangkaian persamaan dan parameter matematika, time series , regresi dan ekonometri sehingga kering dari nilai-nilai kemanusiaan .

Perekonomian dunia ketika ini mengarah menuju sistem ekonomi kapitalisme pasar dengan perekonomian Amerika Serikat sebagai acuannya . Sistem ekonomi ini menganut paham efisiensi berdasarkan Pareto Optimality yang mengasumsikan efisiensi terjadi apabila syarat-syarat diberikut tercapai :
- Setiap barang dan jasa yang mempengaruhi kepuasan seseorang yakni tersedia di pasar (complete).
- Ada banyak penjual dan pembeli dalam suatu pasar, dan mereka bebas untuk masuk dan keluar pasar tanpa ada kendala yang menghalangi, serta tidak ada seorang penjual pun yang sanggup mengontrol tingkat harga di pasar (competitive).
- Semua pelaku ekonomi mengetahui seluruh isu yang berkaitan dengan preferensi konsumen, teknologi produksi, tingkat harga, dan segala isu yang mereka butuhkan untuk mengambil suatu keputusan ekonomi (full information).
- Semua pasar dalam perekonomian yakni berada dalam keadaan keseimbangan, dimana jumlah kuantitas barang atau jasa yang diminta yakni sama dengan jumlah kuantitas barang atau jasa yang diminta (general equilibrium).

Optimalitas Pareto ini dengan baik diterima dan berkembang dalam teori sikap pelaku ekonomi konvensional, serta setiap individu bebas melaksanakan acara ekonomi dan diberinteraksi sehingga tingkat harga dan pasar akan mengikuti keadaan tanpa adanya campur tangan dari sentra atau pemerintah. melaluiataubersamaini bekerjanya invisible hand , mereka yang berusaha mencapai laba pribadinya akan secara otomatis mewujudkan kemakmuran publik , serta adanya paradigma yang berupaya melepaskan ilmu ekonomi dari tiruana kaitan transedental, kepedulian etika, agama, dan nilai-nilai moral (sekulerisme), serta berorientasi duniawi dan pragmatis turut menghiasi wajah ekonomi konvensional .

Konsep efisisiensi berdasarkan Optimalitas Pareto tidak menunjukan sama sekali tentang distribusi pendapatan. Suatu perekonomian sanggup efisien dalam pandangan Pareto dimana perekonomian tersebut mempunyai distribusi pendapatan yang merata atau bahwa seseorang yang memilki segalanya di lain pihak orang lain mengalami kelaparan yakni tetap dalam kategori efisien, selama kebahagiaan seseorang sanggup dibentuk lebih baik (better off) tanpa membuat kebahagiaan orang lain lebih jelek (worse off). Sehingga besar kemungkinan terjadinya trade off atau saling mengorbankan antara pemerataan dan efisiensi .

Adalah suatu kenyataan di dunia ini terjadinya fenomena kesentidakboleh sosial akhir tidak meratanya distribusi pendapatan, tingginya tingkat kemiskinan, dan kelaparan. Sebagai salah satu contoh, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan di Roma, 10-13 Juni 2002 memaparkan bahwa sebanyak 815 juta insan di negara berkembang masih menghadapi kelaparan, 300 juta di antaranya yakni belum dewasa yang bergulat dengan kelaparan dan rawan gizi. Dan berdasarkan keterangan produsen masakan hewan, tidak kurang dari 75% masakan anjing dan 77% masakan kucing di Amerika Serikat dipenuhi dengan masakan kaleng, yang biasanya dari daging dan omsetnya yakni empat miliar dollar per tahun .

Tentu ini menjadi ironi yang sangat parah ketika di belahan bumi yang lain insan menghadapi kelaparan dan rawan gizi, tetapi dengan jumlah besar daging digunakan untuk masakan anjing dan kucing. Padahal bekerjsama daging-daging ini sanggup digunakan sebagai masakan untuk manusia.

Dalam tataran sikap konsumen, tingkat kepuasan yang berupaya diterbaikkan sanggup diraih dengan batasan biaya tertentu. Serta sikap produsen yang memaksimumkan profit melalui fungsi produksi yang menggambarkan output terbaik yang perusahaan sanggup produksi dari setiap kombinasi input tertentu . Semua ini yakni sikap yang menggerakkan roda perekonomian konvensional yang dilakukan oleh insan sebagai homo economicus seutuhnya, sekali lagi tanpa adanya pertimbangan kepedulian etika, agama, nilai-nilai moral, maupun sifat altruistik .

Akan tetapi gambaran homo economicus ternyata tidak sepenuhnya sesuai dengan yang seringkali disaksikan oleh masyarakat tentang sikap insan pada umumnya. Orang berpartisipasi dalam pemilihan umum, mempersembahkan dukungan (charity) dan disiarkan melalui banyak sekali stasiun TV, mendonorkan sumsum tulangnya kepada penderita leukimia yang tidak dikenalnya, prajurit yang rela mengorbankan nyawanya demi keselamatan komandannya dalam peperangan, dan kegiatan lainnya yang jauh dari nilai ekonomis, yang terlihat berlawanan dengan teori self-interest standard of rationality yang ditekankan di dalam buku teori ekonomi mikro ketika ini .

misal kasus paling faktual yang terjadi di penghujung tahun 2004 yakni peristiwa gempa yang mengakibatkan gelombang Tsunami di perairan timur Aceh, yang dampaknya melanda sebagian Asia Tenggara, Asia Selatan dan Afrika Timur. Bencana kemanusiaan terbesar selama 20 tahun terakhir yang merenggut korban (sementara) meninggal 155.000 jiwa dan 107.039 jiwa diantaranya yakni korban dari Indonesia .

Banyak orang dari penjuru tanah air dan dunia berbondong-bondong mempersembahkan menolongan bagi para korban peristiwa tersebut, baik dalam bentuk uang, materi makanan, pakaian dan menolongan lainnya. Ribuan orang dari dalam dan luar negeri turut menjadi relawan dan sumbangan dari luar negeri, baik berupa hibah maupun pinjaman lunak bagi pembangunan kembali segala sesuatu yang sudah rusak akhir gempa tersebut mencapai US $ 4 milyar .

Banyak pula perusahaan berlomba-lomba mempersembahkan menolongannya bagi korban peristiwa sebagai perwujudan rasa tanggung tanggapan sosialnya yang seolah-olah tidak bertindak rasional – terlepas dari anggapan bahwa hal tersebut ialah salah satu upaya untuk meningkatkan gambaran (brand image) perusahaannya ataupun kepentingan lainnya yang akan menguntungkan perusahaan tersebut – yang seharusnya konsisten dalam perilakunya sebagai produsen, yang berupaya meterbaikkan profitnya.

Semua sikap insan ini sepertinya semakin mengatakan kenyataan berlakunya rasionalitas insan berdasarkan present-aim standard of rationality , dimana insan sebagai mahluk sosial mempunyai kecenderungan untuk berbuat baik dan mempunyai sifat altruistik.

Perilaku produsen yang tampak tidak rasional dari beling mata self-interest standard yang banyak dianut oleh ekonomi konvensional ini nampaknya bukan spesialuntuk terjadi dalam sikap produsen kekinian. Harga kendaraan beroda empat gres lebih murah daripada kendaraan beroda empat bekas, lantaran produsen kendaraan beroda empat pada ketika itu merasa cukup atau mungkin merasa aib dengan tingginya profit yang mereka raih, dan mereka merasa puas untuk tidak mengambil laba dari kelebihan usul untuk mendapat profit yang lebih besar .

Fenomena yang terjadi dalam perekonomian tersebut terjadi lantaran adanya perbedaan interpretasi kebahagiaan yang ingin diraih oleh setiap manusia, yang kebetulan juga beraktivitas dalam kegiatan ekonomi. Perilaku insan yang sepertinya berlawanan dengan sikap homo economicus dari sudut pandang self-interest standard ini sanggup dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai diberikut :
1. Kebahagiaan seseorang tidak spesialuntuk dipengaruhi oleh kesejahteraan dirinya semata, tetapi juga dipengaruhi oleh pertimbangannya untuk kesejahteraan orang lain. Dia yakin bahwa bila orang lain bahagia, maka beliau akan juga merasa bahagia. misal yang nyata yakni seorang ayah atau ibu yang rela mengorbankan kebahagiaannnya bagi kebahagiaan anaknya , lantaran kebahagiaan orang bau tanah tersebut dipengaruhi oleh kebahagiaan si anak. Lebih jauh lagi hal menyerupai ini terjadi pada tataran yang lebih luas, yakni pada kawan, kerabat, saudara sebangsa, bahkan hingga seluruh alam. misal teraktual yakni banyaknya masyarakat yang mendaftarkan diri menjadi relawan untuk mempertahankan NKRI lantaran merasa rasa nasionalismenya terusik ketika terjadi kasus memperebutan blok Ambalat di perairan Sulawesi antara Indonesia dan Malaysia baru-baru ini.
2. Preferensi sanggup tidak sama dari kesejahteraan lantaran ketidaktahuan (ignorance) akan sesuatu dan penglihatan akan masa depan (foresight) yang tidak sempurna. Ketika seseorang mungkin menyukai x daripada y dengan keyakinan beliau akan lebih baik (better off) apabila ia menentukan x daripada y, hal ini mungkin tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi .
3. Seseorang mungkin mempunyai preferensi yang irasional. Hal ini disebabkan pertama oleh kepatuhan seseorang terhadap sejumlah kebiasaan, budaya, nilai, ataupun prinsip yang diyakini dan dijalankannya. Penyebab kedua yakni ketakutan yang berlebihan dari ancaman atau rasa sakit dan godaan yang berpengaruh dari suatu kesenangan.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut serta adanya rasionalitas insan berdasarkan pandangan present-aim standard, amat beralasan terjadi perbedaan cara pandang seseorang dalam meraih kebahagiaannya dengan mempertimbangkan aspek spiritual dalam melaksanakan kegiatan ekonomi. Penggunaan aspek spiritual dalam kegiatan ekonomi yang tersentuh nilai-nilai etika, agama, dan moral ini direpresentasikan oleh ekonomi Islam atau ekonomi syariah.

Ekonomi syariah menghadirkan sudut pandang Islam dari situasi ekonomi yang dihadapi oleh manusia, yang akarnya berasal dari literatur anutan suci Islam yang menghadirkan panduan yang luas bagi sikap ekonomi insan . Ekonomi syariah juga didefinisikan dengan adanya penerapan perintah-perintah (injunctions) dan tata cara (rules) yang diterapkan oleh syariah yang mencegah ketidakadilan dalam penggalian dan penerapan sumberdaya material guna memenuhi kebutuhan insan yang memungkinkan mereka melaksanakan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat .
Definisi lain dari ilmu ekonomi Islam yakni cabang ilmu pengetahuan yang memmenolong mewujudkan kesejahteraan insan melalui alokasi dan distribusi sumber-sumber daya yang langka yang sesuai dengan maqashid syariah , tanpa mengekang kebebasan individu secara berlebihan, mengakibatkan ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi, atau melemahkan keluarga dan solidaritas sosial dan jalinan moral dari masyarakat .

Ekonomi syariah menolak pendekatan efisiensi berdasarkan Pareto Optimality, lantaran sikap altruisme yang ialah ciri dari perusahaan/ produsen Islam tidak relevan dengan kriteria Pareto . Efisiensi yang optimal dari alokasi sumber daya tercapai bila kuantitas dari barang dan jasa yang diharapkan (need-satisfying) sanggup diproduksi dengan tingkat yang layak bagi stabilitas ekonomi dan kesinambungan tingkat pertumbuhan . Distribusi pendapatan ialah belahan penting bagi pemerataan kesejahteraan bagi tiap individu dalam perekonomian. Zakat , pendermaan harta (seperti sedekah dan infak ), dan pengeluaran pemerintah ialah instrumen penting untuk menjamin pemerataan tersebut .

Perilaku produsen yang altruistik serta dijunjung tingginya upaya pemerataan distribusi kesejahteraan dan pendapatan dalam perekonomian Islam tidak relevan dengan kriteria Pareto dimana tujuan dari produsen dalam perekonomian islam yakni bukan semata-mata terbaikisasi profit di dunia. Sehingga perusahaan akan merasa puas untuk mendapat suatu tingkat profit yang ‘pantas’ atau ‘wajar’ yang memungkinkannya untuk mencapai tujuan yang lebih penting yakni ibadah kepada Tuhan . Berdasarkan contoh sikap insan yang suka menolong orang lain dengan dasar kemanusiaan menyerupai contoh kasus yang sudah di sebutkan ternyata lebih erat kepada sikap individu atau produsen dalam perekonomian Islam.

Dilatarbelakangi oleh banyak sekali fenomena dan kondisi tersebut, penulis mencoba meninjau dan membandingkan teori sikap produsen dari kedua siatem ekonomi, yakni sistem ekonomi konvensional dan sistem ekonomi syariah. Untuk itu penulis menentukan judul :

“ TINJAUAN TERHADAP TEORI PERILAKU PRODUSEN : PERBANDINGAN ANTARA EKONOMI KONVENSIONAL DAN
EKONOMI SYARIAH “


1.2 IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis mengidentifikasikan permasalahan yang ada sebagai diberikut :
1. Bagaimanakah membentuk model matematis sikap produsen yang sesuai dengan norma-norma Islam ?
2. Bagaimanakah perbedaan sikap produsen dalam pencapaian profit ditinjau dari sistem ekonomi kwonvensional dan sistem ekonomi yang sesuai dengan norma-norma Islam ?



0 Komentar untuk "Tinjauan Terhadap Teori Sikap Produsen Perbandingan Antara Ekonomi Konvensional Dan Ekonomi Syariah (Ep-06)"

Back To Top