loading...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak (right) yaitu hak (entitlement). Hak yaitu tuntutan yang sanggup diajukan seseorang terhadap orang lain hingga kepada batas-batas pelaksanaan hak tersebut. Dia tidak mencegah orang lain melaksanakan hak-haknya. Hak-hak tersebut mungkin saja dilanggar tetapi tidak pernah sanggup dihapuskan.
Hak asasi insan (HAM) ialah hak dasar yang dimiliki oleh setiap insan sejak ia lahir dan ialah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang. HAM tidak sanggup dialihkan dari satu orang kepada orang lain, selain itu HAM bersifat universal yang artinya berlaku di mana saja dan kapan saja.
Dalam perkembangan HAM dari masa ke masa, kala ke-20 ialah puncak perkembangan dan kesadaran HAM. Abad ke-20 sanggup dilihat sebagai masa di mana kesadaran wacana pentingnya hak-hak, khususnya HAM, sangat menonjol dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Hal ini terlihat dari berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kemudian membuat instrumen-instrumen aturan internasional terkena hak asasi manusia.
Adanya instrumen-instrumen aturan internasional terkena hak asasi manusia, bukan berarti pelanggaran terhadap hak asasi insan berkurang atau tidak ada lagi. Pelanggaran hak asasi insan tetap ada dan korban tetap berjatuhan, misalnya pada perang Vietnam dan terjadinya genocide di Yugoslavia dan Rwanda. Pelanggaran hak asasi insan terjadi di seluruh kepingan dunia, termasuk di wilayah Asia Tenggara salah satunya yaitu Myanmar.
Pada tahun 1988, di Myanmar terjadi demonstrasi berskala nasional yang dimulai sebagai bab dari reaksi atas tekanan terhadap tiruana hak-hak sipil dan politik oleh pemerintah Myanmar dan atas kegagalan ekonomi sebagai konsekuensi dari kebijakan pemerintah yaitu Burmese way to socialism.
Pada ketika itu banyak terjadi demonstrasi-demonstrasi yang menuntut hak-hak atas kebebasan dan demokrasi tapi tentara memakai cara kekerasan untuk membubarkan demonstrasi tersebut. Ratusan masyarakat sipil ditangkap dan banyak yang menderita cedera atau meninggal dalam perawatan di tahanan. Puncaknya yaitu ketika seorang politikus yang ialah sekretaris Jenderal Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy, NLD) ditangkap dan ditahan tanpa ada proses pengadilan yang adil dan alasan kenapa ia ditangkap, orang tersebut yaitu Aung San Suu Kyi.
Di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada Pasal 9 disebutkan bahwa tak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dimembuang dengan sewenang-wenang. Terlihat terperinci bahwa pasal tersebut melarang setiap penahanan yang secara sewenang-wenang.
Suatu penahanan sanggup dikatakan otoriter ketika tindakan penahanan tersebut melanggar mekanisme aturan domestik dan tidak sesuai dengan standar-standar internasional yang relevan ibarat diatur dalam DUHAM dan instrumen-instrumen internasional yang relevan serta sudah diterima oleh negara yang bersangkutan.
Selain di DUHAM, penahanan otoriter juga diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yaitu pada Pasal 9 yang dalam kalimat kedua menyatakan bahwa “…tak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang…”. Larangan kesewang-wenangan kesewenang-wenangan dalam kalimat kedua Pasal 9 ayat 1 ICCPR mengatakan pembatasan suplemen dalam kaitannya dengan pencabutan kebebasan, suatu pembatasan yang ditujukan kepada tubuh perundang-undangan nasional dan agen-agen penegak hukum.
Selain diatur dalam dua konvensi di atas, penahanan otoriter juga diatur dalam the Body of Principles for Protection of All Persons under any Form of Detention or Imprisonment, selanjutnya di sebut the Body of Principles. The Body of Principles menyatakan bahwa penangkapan, penahanan atau pemenjaraan spesialuntuk boleh dilaksanakan secara kaku sesuai dengan ketentuan aturan dan oleh para pejabat yang berwenang atau orang yang didiberikan wewenang untuk itu (Body of Principles, Prinsip 2). Dalam prinsip tersebut tersiratkan bahwa seseorang ditangkap atau ditahan harus sesuai dengan ketentuan aturan yang berlaku dan tidak boleh melanggar atau mengabaikan ketentuan aturan yang berlaku.
Dalam konstitusi Myanmar memang tidak disebutkan secara terperinci bahwa penahanan secara otoriter dilarang. Namun hal tersebut tersirat dalam Pasal 159 karakter b yang menyatakan bahwa “no citizen shall be placed in custody for more than 24 hours without the sanction of a competent judicial organ”. Isi pasal tersebut berarti setiap masyarakat negara tidak boleh ditahan lebih dari 24 jam tanpa adanya hukuman dari forum aturan yang berwenang. Terlihat terperinci bahwa seseorang sanggup ditahan apabila sudah dikenai hukuman oleh forum aturan yang berwenang dan yang ialah forum aturan yang berwenang di Myanmar yaitu Council of People’s Justices.
Pada tanggal 28 Mei 2004, United Nations Working Group for Arbitrary Detention mengeluarkan opini (No. 9/2004) bahwa penahanan atau pengurangan kebebasan Aung San Suu Kyi yaitu sewenang-wenang, sebagai yang disebut pada Pasal 9 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berbunyi “tak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dimembuang dengan sewenang-wenang”, dan meminta kepada pemerintah Myanmar untuk melepaskan Aung San Suu Kyi, tapi hingga kini pemerintah Myanmar tidak memperdulikan undangan tersebut.
Penahanan Aung San Suu Kyi oleh pemerintah Myanmar berdasarkan Pasal 10 1975 State Protection Act, yang sebut bahwa untuk melindungi negara dari bahaya, the Central Board memiliki hak untuk melaksanakan tindakan penahanan terhadap orang yang dianggap membahayakan negara selama 90 hari, sanggup diperpanjang menjadi 180 hari dan apabila dianggap perlu orang tersebut sanggup di tahan selama satu tahun 1975 State Protection Act di amandemen oleh State Law and Order Restoration Council (SLORC) pada tanggal 9 Agustus 1991. Amandemen ini mengubah maksimun masa penahanan pada Pasal 14 dan 22, dari tiga tahun menjadi lima tahun. Amandemen ini juga mehilangkan right to appeal pada Pasal 21.
Pada ketika masa penahanan Aung San Suu Kyi sudah habis, pemerintah Myanmar menambah lagi masa tahanan untuk beberapa tahun ke depan. Penambahan masa tahanan rumah Aung San Suu Kyi berdasarkan 1975 State Protection Act (Pasal 10 b), di mana memdiberi kekuasaan kepada pemerintah untuk menahan seseorang tanpa adanya proses pengadilan. Hingga hingga kini Aung San Suu Kyi masih berada dalam tahanan rumah dengan dibatasinya segala informasi, kegiatannya serta tamu-tamunya yang akan berkunjung.
melaluiataubersamaini melihat uraian di atas terlihat bahwa pemerintahan Myanmar tersebut melaksanakan penahanan rumah secara sewenag-wenang terhadap Aung San Suu Kyi dan melanggar hak-hak sipil dan politik Aung San Suu Kyi yang bekerjasama dengan penahanan rumah tersebut, misalnya hak untuk berbicara, hak untuk berkelompok. Penahanan rumah yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap Aung San Suu Kyi tersebut juga tidak disertai dengan alasan yang terperinci dan tidak ada peradilan yang jujur dan adil.
melaluiataubersamaini mengingat pentingnya (dianggap sebagai non-derogable rights) hak asasi insan yang berkaitan dengan kebebasan individu ibarat kebebasan berbicara, kebebasan berpikir, kebebasan berkumpul dan berserikat, serta mendapat pengadilan yang jujur dan adil.[Sic!] Serta, dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengulas problem hak asasi manusia, khususnya wacana penahanan Aung San Suu Kyi oleh pemerintah Myanmar. Oleh alasannya yaitu itu penulis mengangkat judul skripsi: Tinjauan Yuridis terhadap Penahanan atas Aung San Suu Kyi oleh Pemerintah Myanmar berdasarkan International Covenant on Civil and Political Rights.
B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas sanggup dirumuskan pokok permasalahan sebagai diberikut:
1. Apakah penahanan terhadap Aung San Suu Kyi melanggar HAM?
2. Apakah tanggung balasan pemerintah Myanmar terhadap penahanan Aung San Suu Kyi?
Tag :
Hukum
0 Komentar untuk "Tinjauan Yuridis Terhadap Penahanan Atas Aung San Suu Kyi Oleh Pemerintah Myanmar Berdasarkan International Covenant On Civil And Political Rights (Hk-17)"