Konsep Kecerdasan Emosi Daniel Goleman Dan Relevansinya Dengan Kesehatan Mental Zakiah (Ai-21)

loading...
Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dengan pesatnya, bukan spesialuntuk di bidang teknologi, informasi, kedokteran, pertanian, akan tetapi juga di bidang psikologi, yaitu wacana konsep kecerdasan manusia.

Konsep kecerdasan manusia, bila dilihat dari sejarah perkembangannya pada mulanya lahir akhir adanya banyak sekali tes mental yang dilakukan oleh banyak sekali psikolog untuk menilai insan ke dalam banyak sekali tingkat kecerdasan. Diistilahkan atau lebih dikenal dengan kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient). Tes IQ yaitu cara yang dipakai untuk menyatakan tinggi rendahnya angka yang sanggup menjadi petunjuk terkena kedudukan tingkat kecerdasan seseorang . Kaprikornus berdasarkan teori ini, semakin tinggi IQ seseorang maka semakin tinggi pula kecerdasannya.

Seiring dengan perkembangannya, tes inteligensi yang muncul pada pertama kurun ke-20 yang dipelopori oleh Alferd Binet (1980), ternyata tes inteligensi mempunyai belum sempurnanya atau kelemahan. Kekurangan itulah yang melatarbelakangi munculnya teori gres dan sebagai alat untuk menyerang teori tersebut. Teori gres ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman yang dikenal dengan istilah Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence). Menurut Daniel Goleman, EQ sama ampuhnya dengan IQ, dan bahkan lebih. Terlebih dengan adanya hasil riset terbaru yang menyatakan bahwa kecerdasan kognitif (IQ) bukanlah ukuran kecerdasan (Intelligence) yang sebenarnya, ternyata emosilah parameter yang paling memilih dalam kehidupan manusia. Menurut Daniel Goleman (IQ) spesialuntuk menyebarkan 20 % terhadap kemungkinan kesuksesan hidup, sementara 80 % lainnya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain. Ungkapan Goleman ini seolah menjadi jawabanan bagi situasi ‘guah’ yang sering terjadi di tengah masyarakat, di mana ada orang-orang yang diketahui ber-IQ tinggi ternyata tidak bisa mencapai prestasi yang lebih baik dari sesama yang ber-IQ lebih rendah.

Kelebihan lain dari kecerdasan emosi ini yaitu kenyataan bahwa kecerdasan emosi bukanlah kecerdasan statis yang diperoleh lantaran ‘warisan’ orang bau tanah menyerupai IQ. Selama ini sudah diketahui bahwa seseorang yang terlahir dengan IQ rendah tidak sanggup direkayasa untuk menjadi seorang jenius. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang dilahirkan dari orang bau tanah ber-IQ tinggi kemungkinan besar akan ‘mengikuti jejak’ orang tuanya dengan ber-IQ tinggi juga. Adapun kecerdasan emosi sanggup tumbuh dan berkembang seumur hidup dengan belajar. Cerdas tidaknya emosi seseorang tergantung pada proses pembelajaran, pengasahan, dan petes yang dilakukan sepanjang hayat.
Seseorang yang belum mempunyai kecerdasan emosi biasanya akan simpel mengalami gangguan kejiwaan, atau paling tidak kurang sanggup mengendalikan emosinya, dan simpel larut dalam kesedihan apabila mengalami kegagalan. Apabila muncul perilaku-perilaku negatif yang disebabkan oleh kurangnya kecerdasan emosi, maka tidak mengherankan bila merugikan bagi orang lain yang berada di sekitarnya. Oleh lantaran itu, kecerdasan emosi sangat diharapkan bagi setiap orang, lantaran dengan kecerdasan emosi orang akan mempunyai rasa introspeksi yang tinggi, sehingga insan tidak akan simpel marah, egois, tidak simpel putus asa, dan selalu mempunyai rasa tulus dalam menghadapi banyak sekali duduk kasus hidup.

Survey sudah menandakan terhadap orang bau tanah dan guru-guru adanya kecenderungan yang sama diseluruh dunia, yaitu generasi sekarang, lebih banyak mengalami kesusahan emosional daripada generasi sebelumnya: lebih kesepian dan pemurung, lebih brangasan dan kurang menghargai sopan santun, lebih gugup dan simpel cemas, lebih spontan dan agresif. Dan dari hasil penelitanya Daniel Goleman menemukan situasi yang disebut dengan when smart is damb, ketika orang cerdas jadi kolot . Daniel Goleman menemukan bahwa orang Amerika yang mempunyai kecerdasan atau IQ diatas 125 umumnya bekerja kepada orang yang mempunyai kecerdasan rata-rata 100. artinya, orang yang cerdas umumnya bekerja kepada orang yang lebih kolot darinya. Jarang sekali orang yang cerdas secara intelektual sukses dalam kehidupan. Melainkan orang-orang yang biasalah yang sukses dalam kehidupanya lantaran kecerdasan emosinya.
Lantas apakah yang memilih sukses dalam kehidupan ini? Bukan kecerdasan intelektual akan tetapi kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional diukur dari kemamapuan mengendalikan emosi dan menahan diri. Dalam kesehatan mental kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri disebut sabar. Orang yang paling tabah yaitu orang yang paling tinggi dalam kecerdasan emosionalnya. Ia biasanya tabah dalam menghadapi kesusahan, ketika berguru tekun sanggup menyesuaikan diri, sanggup menyebarkan potensi, dan berhasil dalam mengatasi banyak sekali gangguan dan sanggup mengendalikan emosinya. Dan faktor-faktor ini pula yang menjadikan insan sehat mentalnya.
Daniel Goleman menceritakan dalam kisah faktual betapa fatalnya orang yang tidak mempunyai kecerdasan emosional. Pada suatu ketika ada seorang anak meminta izin kepada orang tuanya untuk menginap dirumah kawanya. Sementara anak itu pergi, orangtuanyapun pergi untuk menonton opera. Taklama dari itu, anak tersebut kembali kerumah lantaran tidak betah tinggal di rumah kawanya. Pada ketika itu, orangtuanya masih menonton opera. Anak bandel itu mempunyai rencana, ia ingin membuat kejutan untuk orangtuanya ketika pulang kerumah pada waktu malam. Ia akan membisu di teile dan bila orangtuanya hadir, ia akan meloncat dari toilet itu sambil berteriak. Beberapa ketika kemudian, orangtuanya pulang dari opera menjelang tengah malam. Ketika melihat lampu toilet di rumahnya masih menyala mereka menyangka ada pencuri di rumahnya. Mereka masuk kerumah perlahan-lahan sambil membuka pintu untuk segera mengambil pistol kemudian mengendap naik ke atas loteng kawasan toilet itu berada. Ketika hingga di atas, tiba-tiba terdengar teriakan dari toilet itu. Ditembaklah orang yang berteriak itu hingga lehernya putus. Dua jam kemudian anak itu meninggal dunia.

Bisa dibayangkan betapa menyesalnya kedua orangtua itu, mereka bertindak terlalu cepat. Mereka mengikuti emosi takut dan kehawatiranya sehingga panca indranya belum sempat memberikan isu yang lengkap wacana orang yang meloncat dan berteriak itu, seharusnya mereka menganalisis doloe mereka lihat siapa orang itu. Kisah diatas menawarkan akhir kecerdasan emosi yang tidak terlatih atau kategori kecerdasan emosi rendah mereka memperturutkan emosinya dalam bertindak.
Emosi sangat mempengaruhi kehidupan insan ketika dalam mengambil keputusan, tidak jarang suatu keputusan diambil melalui emosinya. Tidak ada sama sekali keputusan yang diambil insan murni dari pemikiran rasionalnya. Karena seluruh keputusan insan mempunyai warna emosional. Jika seseorang memperhatikan keputusan-keputusan dalam kehidupan manusia, ternyata keputusannya lebih banyak ditentukan oleh emosi daripada logika sehat. Emosi yang begitu penting itu sudah usang ditinggalkan oleh para peneliti padahal tergantung kepada emosilah bergantung suka, duka, sengsara dan bahagianya manusia. Bukan kepada rasio. Karena itulah Goleman mengusulkan selain memperhatikan kecerdasan otak, insan juga harus memmperhatikan kecerdasan emosi.

Manusia secara alamiah merindukan kehidupan yang damai dan sehat baik jasmani maupun rohani. Kesehatan yang bukan menyangkut tubuh saja, tetapi juga kesehatan mental. Suatu kenyataan menawarkan bahwa peradaban insan yang semakin maju berakibat pada semakin kompleksnya gaya hidup manusia. Banyak orang terpukau dengan modernisasi, insan menyangka dengan modernisasi itu serta merta akan membawa kepada kesejahteraan. Banyak orang yang lupa bahwa di balik modernisasi yang serba gemerlap dan memukau itu ada tanda-tanda yang dinamakan ketidaksehatan mental.

Kebahagian insan tidak tergantung pada fisik melainkan pada faktor pertumbuhan emosinya. Karena emosi sebagai tenaga-tenaga penggerak dalam hidup, yang mengakibatkan insan berkembang maju, dan mundur ke belakang.. Tidak seorang pun yang tidak menginginkan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya, setiap orang akan berusaha mencarinya, meskipun tidak tiruana sanggup mencapai yang diinginkannya itu. Bermacam lantaran dan rintangan yang mungkin terjadi, sehingga banyak orang yang mengalami kegelisahan, kecemasan, ketidakpuasan dan emosi yang berlebih-lebihan.
Dapat dikatakan, semakin maju orang atau masyarakat, semakin banyak pula komplikasi hidup yang dialaminya. Persaingan, perlombaan, dan perperihalan akhir kebutuhan dan harapan yang harus tetap dipenuhi menjadikan orang susah untuk memperoleh mental yang sehat.
Sesungguhnya kesehatan mental, ketentraman jiwa, atau kecerdasan emosi tidak banyak tergantung oleh faktor-faktor luar menyerupai keadaan sosial, ekonomi, politik, akan tetapi lebih tergantung pada cara dan sikap dalam menghadapi faktor-faktor tersebut. Adapun yang memilih ketenangan dan kebahagiaan hidup di antaranya yaitu kesehatan mental dan kecerdasan emosi, yaitu cara seseorang menanggapi suatu duduk kasus dan kemampuannya untuk menyesuaikan diri. Kesehatan mental dan kecerdasan emosi pula yang memilih orang mempunyai kegairahan hidup atau bersikap pasif.

Orang yang sehat mentalnya tidak akan lekas merasa putus asa, pesimis, dan apatis lantaran beliau sanggup menghadapi tiruana rintangan atau kegagalan dalam hidup dengan damai dan wajar, serta mendapatkan kegagalan itu sebagai suatu pelajaran yang akan membawa sukses nantinya. Begitu pula yang diungkapkan Daniel Goleman bahwa kerugian eksklusif akhir rendahnya kecerdasan emosional sanggup berkisar mulai dari kesusahan perkawinan, pendidikan anak, buruknya kesehatan jasmani, kendala perkembangan intelektual, hingga ketidaksuksesan karir.
Karena adanya fenomena diatas, dan kehidupan masyarakat di sekitar, bahwa kehidupan insan tidak lepas dari konflik-konflik maupun problem-problem yang tidak jarang insan mengalami ketegangan-ketegangan, pesimis, frustasi, dan stres.

Dalam keadaan demikian, sebagaian orang lantas menyelesaikannya dengan cara emosional, dan sering kali sembrono, serampangan, lantah dan menyimpulkan atau melontarkan pernyataan yang sesungguhnya belum selesai pengkajiannya pada waktu sedang emosi. Ini tiruana dilakukan lantaran belum adanya kecerdasan emosi, dan menjadikan mental tidak sehat. Padahal dari generasi ke generasi insan semakin cerdas akan tetapi ketrampilan emosional dan sosialnya merosot tajam. Hal ini pula yang melemahkan kecerdasan emosi. Akibatnya, muncul patologi sosial yang ada dalam banyak sekali bentuk penyakit kejiwaan. Seperti krisis kepercayaan, ketidakjujuran, kebosanan, malasuai, dan kejenuhan hidup sehingga munculnya penyakit-penyakit kejiwaan yang berdampak negatif pula pada tata kehidupan eksklusif dan sosial yang menimbulkan ketidaksehatan mental atau tidak adanya kesehatan mental.

Pada duduk kasus ini, maka sangat krusial konsep Daniel Goleman diangkat sebagai solusi lantaran intinya konsep-konsep Daniel Goleman mencoba melihat aspek afeksi insan khususnya pada perasaan atau emosi manusia. Dan konsep-konsep yang ditawarkan Daniel Goleman akan mengantarkan insan untuk memperoleh mental yang sehat (kesehatan mental) lantaran perasaan sanggup mempengaruhi kesehatan mental, jadi perasaan yang ditempatkan pada tempatnya akan memperoleh mental yang sehat. konsep Zakiahpun ialah konsep yang cocok diterapkan pada zaman sekarangsss ini


Tag : Agama Islam
0 Komentar untuk "Konsep Kecerdasan Emosi Daniel Goleman Dan Relevansinya Dengan Kesehatan Mental Zakiah (Ai-21)"

Back To Top