loading...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penegakan aturan ialah suatu acara menyerasikan relasi nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/ pandangan-pandangan nilai yang mantap dan mengejawantahkan serta perilaku tindak sebagai rangkaian pembagian terstruktur mengenai nilai tahap final untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup baik ialah tindakan pencegahan (preventif) maupun tindakan pemberantasan (represif) (Afiah, 1989:13).
Dalam upaya penegakan hukum, selain kesadaran akan hak dan kewajiban, juga tidak kurang pentingnya akan kesadaran penerapan kewenangan-kewenangan pegawanegeri penegak hukum, alasannya penyalahgunaan kewenangan-kewenangan tersebut selain sangat memalukan dan sanggup merugikan keuangan negara juga sanggup menjadikan timbulnya kekhawatiran atau ketakutan jikalau berhadapan dengan pegawanegeri penegak hukum.
Adalah suatu kewajiban bersama untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran pada diri setiap masyarakat negara untuk ikut berperan serta menegakkan kebenaran dan keadilan. Karena tegaknya kebenaran dan keadilan dalam masyarakat ialah untuk kepentingan bersama. Kesadaran
pada setiap masyarakat sanggup tercermin dari adanya masyarakat negara yang melihat
suatu bencana atau mengetahui bencana tidak akan menghindarkan diri dari kewajiban sebagai saksi bahkan dengan suka rela dan tulus mengajukan diri sebagai saksi.
Hukum program pidana memiliki tujuan untuk mencari dan mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan aturan program pidana secara jujur dan sempurna waktu dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang sanggup didakwa melaksanakan suatu pelanggaran hukum, selanjutnya meminta investigasi dan putusan dari pengadilan guna memilih apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana sudah dilakukan oleh orang yang didakwa itu.
Penanganan suatu perkara pidana mulai dilakukan oleh penyidik setelah mendapatkan laporan dari masyarakat ataupun diketahui sendiri tentang terjadinya tindak pidana, atau sanggup juga tertangkap tangan, kemudian dituntut oleh penuntut umum dengan jalan melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan negeri. Selanjutnya hakim melaksanakan investigasi apakah dakwaan penuntut umum terhadap terdakwa terbukti atau tidak.
Bagian yang paling penting dari tiap-tiap proses pidana ialah dilema terkena pembuktian, alasannya dari hal inilah tergantung apakah tertuduh akan ditetapkan bersalah atau dibebaskan.
Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka kehadiran benda- benda yang tersangkut dalam suatu tindak pidana, sangat diperlukan. Benda- benda dimaksud lazim dikenal dengan istilah “barang bukti”.
Istilah barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang terkena mana delik dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang digunakan untuk melaksanakan delik contohnya pisau yang digunakan menikam orang. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik contohnya uang negara yang digunakan (korupsi) untuk membeli rumah pribadi, maka rumah pribadi itu ialah barang bukti, atau hasil delik (Afiah, 1989:15).
Di samping itu ada pula barang bukti yang bukan ialah obyek, alat atau hasil delik, tetapi sanggup pula dijadikan barang bukti sepanjang barang tersebut memiliki relasi pribadi dengan tindak pidana, contohnya pakaian yang digunakan korban pada dikala ia dianiaya atau dibunuh.
Dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebut bahwa tidak seorang pun sanggup dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, alasannya alat pembuktian yang sah berdasarkan undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap sanggup bertanggung jawaban, sudah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Selanjutnya ketentuan tersebut di atas ditegaskan lagi dalam Pasal
183 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dalam klarifikasi Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa ketentuan ini ialah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian aturan bagi seseorang. Adanya ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal
183 KUHAP mengatakan bahwa negara kita menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif berdasarkan undang-undang, di mana hakim spesialuntuk sanggup menjatuhkan eksekusi apabila sedikit-dikitnya terdapat dua alat bukti dalam bencana pidana yang dituduhkan kepadanya. Walaupun alat-alat bukti lengkap, akan tetapi jikalau hakim tidak yakin tentang kesalahan terdakwa maka harus diputus lepas.
Adapun yang dimaksud dengan sistem pembuktian secara negatif berdasarkan undang-undang adalah:
1. Untuk mempersalahkan seorang terdakwa dibutuhkan suatu minimum pembuktian yang diputuskan dalam undang-undang.
2. Namun demikian biarpun bukti bertumpuk-tumpuk melebihi minimum yang diputuskan dalam undang-undang tadi, jikalau hakim tidak berkeyakinan tentang kesalahan terdakwa, ia tidak mempersalahkan dan menghukum terdakwa.
Alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah:
a. Keterangan saksi. b. Keterangan ahli.
c. Surat.
d. Petunjuk.
e. Keterangan terdakwa.
Dalam program investigasi cepat, keyakinan hakim cukup didukung oleh satu alat bukti yang sah. melaluiataubersamaini kata lain, walaupun spesialuntuk didukung oleh satu alat bukti yang sah, dan hakim yakin atas kesalahan terdakwa maka terdakwa tersebut sanggup dihukum.
melaluiataubersamaini demikian hakim gres boleh menghukum seorang terdakwa apabila kesalahannya terbukti secara sah berdasarkan undang-undang. Bukti-bukti itu harus pula diperkuat dan didukung oleh keyakinan hakim. Kaprikornus walaupun alat bukti sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP terpenuhi, namun apabila hakim tidak berkeyakinan atas kesalahan terdakwa, maka terdakwa tersebut sanggup dibebaskan. Hal ini sejalan dengan kiprah hakim dalam pengadilan pidana yaitu mengadili dalam arti menerima, mengusut dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 9 KUHAP).
Undang-undang selalu menempatkan keyakinan hakim sebagai suatu kunci terakhir dalam investigasi pengadilan di persidangan. Keyakinan hakim memegang peranan yang tidak kalah pentingnya dengan upaya-upaya bukti yang diajukan di persidangan, bahkan keyakinan hakim diletakkan oleh pembuat undang-undang di tingkat teratas. Karena berapapun saja upaya bukti yang diajukan di persidangan terkena suatu tindak pidana, kalau hakim
tidak yakin atas kesalahan (kejahatan) yang dituduhkan kepada terdakwa, maka terdakwa tidak sanggup dipidana (Pasal 183 KUHAP), berarti dibebaskan atau setidak-tidaknya dilepaskan.
Faktor keyakinan itulah yang memdiberi bobot dan sekaligus ciri pada prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, peradilan yang bebas dan kebebasan hakim dalam terkena perkara yang disidangkan.
Untuk mendukung dan menguatkan alat bukti yang sah sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dan untuk memperoleh keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan penuntut umum kepada terdakwa, maka di sinilah letak pentingnya barang bukti tersebut.
melaluiataubersamaini demikian bukan tersangka (pelaku tindak pidana) saja yang harus dicari atau ditemukan oleh penyidik, melainkan materi pembuktiannyapun harus ditemukan pula . Hal ini mengingat bahwa fungsi utama dari aturan program pidana ialah tidak lain dari pada merekonstruksi kembali kejadian-kejadian dari seorang pelaku dan perbuatannya yang dilarang, sedangkan alat-alat perhiasan dari pada perjuangan tersebut ialah barang bukti.
Pelaku, perbuatannya dan barang bukti ialah suatu kesatuan yang menjadi serius dari perjuangan mencari dan menemukan kebenaran materiil.
Terhadap pelaku harus dibuktikan bahwa ia sanggup dipertanggung jawabankan secara pidana di samping bukti tentang adanya kesalahan, dan
terhadap perbuatannya apakah terbukti sifat melawan aturan dari perbuatan itu.
Bahwa peranan barang bukti dalam tindak pidana pembunuhan sangat penting dalam pembuktian perkara pidana, yaitu harus ada keterkaitan antara pelaku, perbuatan, dan barang bukti yang digunakan pelaku dalam melaksanakan tindak pidana tersebut. Barang bukti dalam tindak pidana pembunuhan menjadi penting alasannya dalam tindak pidana pembunuhan sering kali tidak ditemukan bukti-bukti yang lengkap, demikian juga saksi mata yang melihat bencana tersebut. Melihat keadaan tersebut tentu sangat menyulitkan pegawanegeri aturan dalam mengungkap pelaku dan bencana tersebut.
Bagi penyidik barang bukti dalam tindak pidana pembunuhan berperan dalam mengungkap pelaku dari tindak pidana tersebut, serta mengungkap bencana gotong royong dari perkara tersebut. Bagi penuntut umum, barang bukti dalam tindak pidana pembunuhan digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan penuntutan terhadap tersangka pelaku tindak pidana pembunuhan. Sedangkan bagi hakim, barang bukti tersebut akan menjadi dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan bagi terdakwa.
Begitu pentingnya barang bukti dalam tindak pidana pembunuhan maka penyidik harus sebisa mungkin mendapatkan barang bukti di Tempat Kejadian Perkara (TKP), alasannya pengungkapan perkara tersebut berpertama dari adanya barang bukti yang ditemukan dan kemudian disita oleh penyidik.
Dalam prakteknya, penyitaan barang bukti juga terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Barang bukti dalam tindak pidana pembunuhan ialah jenazah manusia, dalam hal ini tentunya dalam menangani perkara pembunuhan perlu ketentuan-ketentuan khusus yakni dalam hal penyitaan barang bukti apakah harus menunggu izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat atau tidak, alasannya dikhawatirkan barang bukti dan lokasi di Tempat Kejadian Perkara (TKP) akan berubah atau bahkan hilang apabila tidak dilakukan tindakan oleh penyidik.
Terkait dengan hal tersebut, peneliti mengambil judul “Pengaruh barang bukti terhadap putusan pengadilan dalam penyelesaian perkara pidana pembunuhan di Pengadilan Negeri Semarang”.
Tag :
Hukum
0 Komentar untuk "Peranan Barang Bukti Terhadap Putusan Pengadilan Dalam Penyelesaian Masalah Pembunuhan Di Pengadilan Negeri Semarang (Hk-24)"